Jumat, 25 Desember 2009

ಬರು sunan

egala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan nikmat dan anugerah-nya kepada kita semua, sholawat dan salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada junjungan kita, hamba-Nya yang terkasih Rosuululloh Muhammad SAW, keluarga dan sahabatnya serta semua pengikut beliau hingga akhir zaman, amin.
Barang siapa mencintai Nabi Rosul Allah beserta Wali – Nya, berarti ia juga termasuk dalam mahabah kehadirot Allah SWT. Dengan kondisi yang seperti itu makanya kami ingin sedikit mengingat sejarah para Wali Allah di Tanah Jawa yang mengembangkan Agama Islam sebagai rohmatan lil ‘alamin.Telah menjadi sunatullah pada masa zaman Majapahit bergulirlah suatu perjalanan permasalahan aqidah dari Hindu – Budha menjadi Islam yang di awali dengan berdirinya Kerajaan Demak Bintoro yang dirajai oleh beliau Raden Patah. Berdirinya Kerajaan Islam di Demak Bintoro Insya Allah pada tahun 1403, yang di sponsori oleh Majelis Wali Songo yang mansyur dengan metode dakwahnya dan kearifan juga keramatnya. Dengan partisipasinya wali songo ini, Allah telah menentukan kehendaknya Kerajaan Islam Demak Bintoro menjadi Kerajaan Besar dan berpengaruh di bumi tanah jawa dan sekitarnya. Dari awal ini kami ingin mengutarakan mahabah kami terhadap wali Allah yang bernama Ki Cokrojoyo yang akhirnya terkenal dengan SunanGeseng. Pada zaman wali songo terkenallah seorang wali dari jawa yang bernama Raden Said yang terkenal dengan Sunan Kalijogo.
Pada saat itu Sunan Kalijogo syiar agama Islam di suatu daerah, beliau bertemu dengan seorang hamba Allah yang bernama Ki Cokrojoyo, istrinya bernama Rubiyah dan memiliki seorang putra bernama Joko Bedug, pekerjaan Ki Cokrojoyo menyadap gula kelapa, walau hanya dengan kehidupan yang sederhana keluarganya tentram dan bahagia, karena Ki Cokrojoyo dan keluarganya “ nrimo ing pandum ” dengan ketentramannya itu Ki Cokrojoyo senang bersenandung ( uro-uro ), dalam perjalanan syiarnya Kanjeng Sunan Kalijogo bertemu dengan Ki Cokrojoyo, yang akhirnya diajarkan Kalimat Dzikir yang dilantunkan dengan pujian.
Hari – hari Ki Cokrojoyo selalu pujian dengan kalimat yang diajarkan oleh Wali Allah Sunan Kalijogo, dan suatu saat keajaiban terjadi dengan amalan itu saat Ki Cokrojoyo mengambil hasil panennya yang dibuat gula kelapa tiba-tiba berobahlah gula kelapa itu menjadi emas, namun Ki Cokrojoyo tidak menjadi bangga malah beliau langsung bersiku dan berpamitan pada istri dan anaknya untuk mencari Kanjeng Sunan Kalijogo.Setelah ketemu Kanjeng Sunan Kalijogo menerima Ki Cokrojoyo di terima sebagai murid dan disuruhnya bertapa, yang insya allah dilakukan satu tahun. Setelah satu tahun Kanjeng Sunan Kalijogo teringat akan kondisi muridnya yang bertapa lalu dicarinya dalam pencarian tempat yang digunakan bertapa telah menjadi hutan alang-alang yang akhirnya dibakar oleh Kanjeng Sunan Kalijogo, setelah habis alang-alangnya barulah tampak Ki Cokrojoyo masih dalam kondisi bertapa dan gosong, karena terbakarnya dengan ilalang dan pada saat itu dibangunkannya Ki Cokrojoyo dengan ucapan salam Kanjeng Sunan Kalijogo yang akhirnya terbangun dan langsung sungkem ( sujud ) terhadap Gurunya, setelah itu Kanjeng Sunan Kalijogo memerintahkan untuk mandi dan menyuruh pulang menemui keluarganya, setelah ketemu keluarga diceritakannya segala kejadian pada istrinya dan anaknya. Istri dan anak ikut bersyukur kehadirat Allah atas diselamatkannya Ki Cokrojoyo atas bimbingan Kanjeng Sunan Kalijogo.
Dari perjalanan itu diangkatlah derajat Ki Cokrojoyo di hadapan Allah menjadi Wali Allah, maka Ki Cokrojoyo di beri nama oleh Kanjeng Sunan Kalijogo menjadi Sunan Geseng untuk mengingat laku dan ketawadukannya terhadap Guru sehingga bisa mencapai derajat mulia. Dan setelah itu di tugaskannya Sunan Geseng oleh Sunan Kalijogo untuk syiar Islam, khususnya mengajak masyarakat untuk bertauqid membaca dua kalimat syahadat yang terkenal ajakan Sunan Geseng yaitu masalah ( sasahidan ) membaca dua kalimah syahadat dan menjalankan ajaran Rosul Muhammad SAW.
Selain Sunan Geseng ada murid-murid Sunan Kalijogo yang terkenal lagi yaitu Sunan Bayat (Klaten), Syekh Jangkung (Pati) dan Ki Ageng Selo (Demak). Dari riwayat itulah maka kami jama’ah Dzikrurrohmah sedikit mengingat sejarah beliau karena beliau termasuk Wali Allah yang juga berjasa dalam pengembangan Islam di Tanah Jawa.METODE DAKWAH ” SUNAN GESENG ”
Sunan Geseng berdakwah dengan sangat santun dan arief, yaitu melakukan pendekatan budaya dengan masyarakat jawa. Seperti yang di lakukan Gurunya Kanjeng Sunan Kalijogo, Berda’wah dengan menggunakan wayang kulit, melakukan selamatan yang tujuannya untuk bersedekah dan muji syukur kehadirat Allah, serta memuliakan tamu-tamu santri, umat, masyarakat, pejabat yang diajak berdzikir dan puji-pujian. Dengan cara itulah masyarakat jawa yang tadinya hindu, budha diajak menyeberang ke Islam. Begitulah bijaknya Sunan Geseng Wali Allah tidak mematikan budaya-budaya yang baik dan luhur. Yang dilakukan dengan tidak melanggar aqidah dan syariat, tapi sangat ampuh untuk menyatukan, umat masyarakat.

Kematian di mata sunan geseng
"Banyak orang yang salah menemui ajalnya. mereka tersesat tidak menentu arahnya, pancaindera masih tetap siap, segala kesenangan sudah di tahan , nafas sudah di gulung, dan angan-angan sudah diikhlaskan, tetapi ketika lepas tirtanirmaya belum mau. maka ia menemukan serba indah."
"Dan ia anggap manusia yang luar biasa.padahal sesungguhnya ia adalah orang yang tenggelam daloam angan-angan yang menyesatkan yang tak nyata. budi dan daya hidupnya tidak mau mati, ia masih senang di dunia dengan segala sesuatu yang hidup, masih senang ia rasa dan pikirannya.baginya hidup didunia ini nikmat, itulah pendapat manusia yang masih terpikan akan keduniawian,pendapat orang gelandangan yang pergi kemana-mana tidak menentu dan tidak tahu bahwa besok ia akan hidup yang tiada kenal mati sesungguhnya dunia ini neraka

jalantrabas.

sakti

Kediri, suatu kawasan di wilayah Propinsi Jawa Timur,telah lama dikenal sebagai salah
satu tempat penggemblengan dan penggodogan, kawah candradimuka, pencetak
kader-kader handal dalam bidang keilmuan agama Islam. Hal ini tidak terlepas dari
banyaknya Pesantren yang tersebar di daerah ini, baik di wilayah Kota maupun
Kabupaten, di kota, dan terlebih lagi di kawasan pedesaannya. Sebutlah di antaranya
Pesantren Hidayatul Mubtadi-ien, atau yang lebih dikenal dengan sebutan Pesantren
Lirboyo, Pesantren Al-Falah Ploso, Pesantren Al-Ihsan Jampes dan lain sebagainya.
Pesantren-Pesantren tersebut umumnya memiliki kekhususan (dalam hal pengajaran
dan pengamalan) dalam bidang-bidang tertentu, walaupun akhirnya sama-sama
bermuara pada pendalaman Ilmu-ilmu Agama Islam.

Sementara itu, di sebelah barat alun-alun kota Kediri, setelah menyeberangi Kali Brantas,
terdapat suatu kawasan yang kental dengan nuansa Islami.Kawasan itu dikenal dengan
nama Bandarkidul. Di wilayah Bandarkidul ini,terdapat sediitnya lima Pesanrtren yang
berafiliasi pada RMI (Rabithatul Ma'ahid Al-Islamiyyah), suatu organisasi/Asosiasi
Perhimpunan Pesantren di bawah naungan NU (Nahdlatul Ulama). Salah satu diantara
lima Pesantren itu adalah Pondok Pesantren Tahfidhul Qur-an Ma'unah Sari.

Sesuai dengan nama yang disandangnya,Pesantren ini adalah merupakan suatu
Lembaga Pendidikan yang menyediakan program menghafalkan al-Qur-an (bil-Ghaib),
disamping juga tersedia program pengajian Al-Qur-an Bin-Nadhar (tidak menghafal).
Pesantren ini diharapkan mampu menelorkan alumnus-alumnus yang merupakan
generasi-generasi penghafal Al-Qur-an,yang berjiwa dan berakhlaq Qur-any.
Atau dengan kata lain, insan hafidh al-Qur-an, lafdhan wa ma'nan wa 'amalan.
Sanad / Silsilah Alqur-an-nyapun muttashil kepada Nabi Muhammad SAW.
Dari berbagai sumber informasi yang ada, Pesantren ini didirikan pada tahun 1967
oleh KH.M.Mubassyir Mundzir, seorang ulama kharismatik dan terkenal pada masa itu.
Pada awal berdirinya, Pesantren ini lebih mengkhususkan diri pada bidang Tashawwuf,
terutama peng-'Istiqomah'-an sholat berjamaah dan wirid/dzikir. Hal ini berjalan kurang lebih
selama lima tahun. Pesantren inipun pada saat itu hanya menerima santri Putera.

Barulah, pada tahun 1973, setelah beliau menikah, Pesantren ini menerima santri puteri.
Dan mulai pada tahun itu pula, Pesantren ini mulai membuka Program Pengajian Al-qur-an
Bil-Ghoib (hafalan). Hal ini adalah karena isteri beliau,ibu Nyai Hj.Zuhriyyah adalah merupakan
seorang Hafidhah(penghafal) Al-Qur-an.Lebih dari itu, beliau juga merupakan puteri dari
Ulama terkenal, KH.Munawwir Krapyak Jogjakarta,yang selain seorang Hafidh, juga termasyhur
sebagai Perintis Pesantren Tahfidh al-Qur-an di Indonesia, seorang kampiun dalam bidang
Ilmu-Ilmu Al-Qur-an dan seorang ahli Qira-ah Sab'ah.

Seiring dengan berjalannya sang waktu, Pesantren Ma'unah Sari pun terus berkembang,
baik dari segi jumlah santri, program pengajian, dan juga lingkungan pendidikan yang
semakin representatif.Namun begitu,khusus untuk Pengajian Al-Qur-an bil-Ghaib, masih terbatas
pada kalangan Santri Puteri, dibawah asuhan Ibu Nyai Hj. Zuhriyyah Mundzir.

Pada tahun 1989,muassis (pendiri) Pesantren, KH. M. Mubasyir Mundzir wafat.
Dengan iringan tangis pilu para santri dan khalayak masyarakat yang merasa sangat
kehilangan, beliau dimakamkan di belakang masjid Pesantren Ma'unah Sari.

Sebelum wafat, karena beliau tidak dikaruniai putera, beliau telah memberikan wasiat
yang berkaitan dengan regenerasi Pengasuh Pesantren. Dan sesuai dengan wasiat beliau,
yang disaksikan oleh Ulama-ulama sepuh, tongkat estafet Pengasuh diamanatkan kepada
K. R. Abdul Hamid Abdul Qadir yang saat itu dikenal dengan sebutan Gus Hamid. Beliau adalah
putera dari KHR.Abdul Qadir Munawwir, Krapyak, kakak dari Ibu Nyai Hj.Zuhriyyah.
Dengan kata lain, K. R.Abdul Hamid adalah keponakan Ibu Nyai Hj.Zuhriyyah Mundzir.
Dan dengan demikian,tercapailah cita-cita dari Pendiri,yang menginginkan Pesantren
yang didirikannya kelak tumbuh dan berkembang menjadi tempat bagi para santri yang
ingin menghafal Al-Qur-an. Hal ini adalah karena Kyai Abdul Hamid juga merupakan
seorang penghafal Al-Qur-an (Hafidh) dan menguasai pula Qira-ah Sab'ah.

Selanjutnya,dibawah asuhan dan bimbingan Kyai Abdul Hamid bersama Ibu Nyai Hj.Zuhriyyah,
Pondok Pesantren Tahfidhul Qur-an Ma'unah Sari-pun semakin tumbuh dan berkembang.
Latar belakang dan asal para santri juga terdiri dari berbagai lapisan masyarakat, dan berasal
dari berbagai pelosok Nusantara, termasuk Papua (Irian Jaya), Kalimantan, Sulawesi,
Maluku, Sumatera, dan lebih-lebih dari Pulau Jawa. Mulai saat itu pula, dibuka Program
Pengajian Al-Qur-an bil-Ghaib untuk santri Putera.

Diantara para santri ini,banyak pula diantara mereka yang merupakan alumnus Pesantren-Pesantren
kenamaan,seperti Pesantren Lirboyo dan Ploso, keduanya di Kediri , Pesantren Tegalrejo Magelang,
Pesantren Langitan Tuban, dan lain sebagainya. Dengan berkumpulnya para alumnus
Pesantren-pesantren tersebut,tidaklah mengherankan apabila selain mengikuti
kegiatan-kegiatan wajib, terutama menghafal al-Qur-an, kerapkali terjadi diskusi-diskusi
ala Bahtsul Masa-il, sebagai salah satru wujud pengembangan dari Ilmu-ilmu yang mereka
peroleh di Pesantren mereka sebelumnya. Namun begitu, bagi mereka yang kebetulan
belum pernah mengenyam pendidikan Pesantren sama sekali, tidak perlu berkecil hati,
karena dari para alumnus Pesantren tadi, mereka bisa memperoleh arahan dan bimbingan,
melalaui Madrasah Al-Mundziriyyah di Pesantren ini, yang mengajarkan pelajaran dasar
yang sangat penting, sebagai bekal kelak di kemudian hari. Kalaupun masih kurang puas,
mereka bisa mengaji di Pesantren-pesantren sekitar, termasuk di Pesantren Lirboyo.

Selain itu, diantara para santri juga tidak sedikit yang merupakan jebolan Perguruan Tinggi,
sehingga mereka bisa menularkan ilmu dan pengalaman positif kepada rekan-rekan mereka
sesama santri. Hal ini dirasa penting, terutama dalam kaitannya untuk menata dan mengatur

kiai sakti bogor

Bagi ibu-ibu atau bapak-bapak atau muda mudi yang suka jalan-jalan ke kota Jakarta, pasti kita sering menemukan beberapa pengemis mengais rizki di kota ini. Dengan kemampuan alamiah para pengemis seolah menjadi aktor di jalanan bersaing dengan pedagang asongan. Terlihat beberapa pengemis dalam menjalankan tugasnya tidak seragam dalam bertindak, mungkin ada yang seperti orang pincang, berwajah kumal, memanfaatkan anak kecil, orang buta, dan bentuk lainnya bermacam-macam ditemukan disana. Aneka peran mereka mainkan namun, sayang mereka berbuat seperti itu bukan membuat sadar untuk berpikir kreatif, malah dijadikan nafkah keseharian mereka, sepertinya tak pernah ada niatan untuk berubah atau mengubah hidupnya yang lebih mulya.

Kemiskinan yang terjadi pada penyandang cacat atau karena tak mampu mengatasi kehidupan, saya yakin bukan jalan yang dianggap mulus untuk jadi pengemis atau dianggap nasib miskin. Saya pernah menonton beberapa acara di televisi yang memuncukan ide kreatif para penyandang cacat untuk mengubah hidup dengan tidak jadi pengemis. Contoh di acara yang saya tonton namun sayang, saya lupa nama acaranya. Seorang penyandang cacat mampu menciptakan lapangan kerja dengan menciptakan home Industry membuat kaligrafi yang dibuat dari kaleng-kaleng minuman. Pera pekerja yang membatu pembuatan kaligrafi Al-Quran itu para pekerja yang keadaan fisiknya normal, dalam artian ia seorang penyandang cacat, mampu memberikan kehidupan pada orang-orang yang keadan fisiknya mungkin lebih lengkap tinimbang dia selaku bosnya.

Inilah salah satu palajaran atau hikamah pada kita bahwa, Allah memberikan kekurangan pada hambanya, tidak semata-mata ia tidak bisa berpikir untuk maju atau berubah dari keadannya pada saat itu. Mungkin lebih tepatnya kita selaku hamba Allah, kalau mau berpijak pada ayat yang berbunyi “Allah tidak akan mengubah suatu kaum kalau kaum tersebut tidak akan mengubahnya” kalimat ini bukan selogan tapi bisa menjadi sumber inspirasi bagi manusia di muka bumi ini, untuk terus inovasi dalam hidupnya, sekalipun kegagalan atau ketak mungkinan itu terjadi. Tapi satu usaha memerlukan sebuah pengorbanan yang kelak akan jadi tolak ukur, bagi manusia yang hendak merenungkan perjuangan diri dalam meraih kesuksesannya.

Saya yakin seorang penyandang cacat yang saya ceritakan di atas tidak lantas sukses menjadi pengusahan kaligrafi Al-Quran, Ia dalam awal hidupnya tidak semulus yang kita bayangkan. Ia dalam menjalankan hidupnya penuh dengan hinan, comoohan dan lain sebagainya, tapi bagi ia sendiri hal seperti itu dijadikan pembawa semangat hidupnya untuk mengubah hidupnya. Bagaimana ketika ia hidup di pesantren, ia mencoba belajar membaca, menghapal, dan menulis bahkan sampai ia mampu mefisualisasikan imajinasinya, lewat kaleng bekas minuman. Ketika hasil karyanya selesai, ternyata bisa terjual dengan harga Rp.100 ribu per kaligrafinya bahkan lebih.

Bahkan dari keteranganya ia dalam memasarkan karyanya, ia tidak sampai menjual langsungkepembeli, ada tetangganya yang bertindak sebagai penjual melalui si pemesan. Ini juga salah satu ruang kehidupan atau nafkah bagi masyarakat setempat. Sungguh indah sekali apabila kita rasakan dengan menikmati kemampuan si penyandang cacat tersebut. Ia bukan saja sanggup memberikan rizki bagi pekerjanya, tapi ia mampu memberikan rizki pada tetangganya yang bukan pekerjanya. Seandainya semua orang bisa menerima keadanya yang dianggap kurang, tapi tidak menutup ruang usaha yang lebih mulya dari orang yang apabila kita lihat lengakapn keadaan fisiknya, entah keadaan mentalnya. Disnilah kita bisa memetik hikmah tentang kedahsyatan ruang pikir manusia, sanggup menembus batas dimensi runag fisik yang lengkap. Mungkin ini keagungan Allah dalam menciptakan makhluknya yang musti direnungkan makhluknya.

Sungguh kemampuan yang sangat mulya, kemampuan yang dahsyat seorang penyandang cacat sanggup mengubah roda perekonomian orang. tapi, saya pernah menonton sebuah tayangan kebohongan pengemis yang berpura-pura menjadi orang cacat dengan berbagai teknik dan gaya ia mainkan di kota pengais rezki. Awalnya mungkin orang-orang akan memandang iba dan pasti akan memberi, tapi setelah diperlihatkan pada khalayak bahwa yang menjadi orang cacat itu, bukan orang cacat, melaikan orang yang kalau dibuka kedoknya ia adalah orang yang mempunyai fisik normal. Ini salah satu penyakit manusia yang sempit dalam menyisikapi hidup dan tak pernah berkaca pada kehidupan orang yang sukses. Walaupun sulit untuk berusaha, seharusnya belajar dari kesulitan tersebut artinya kenapa sulit? Pasti aka nada pertanyaan tentang kemudahan yang mulya dimata Allah dan makhluk Allah.

Tuna Netra Sanggup Melahirkan Para Hafizd

Di pesantren tepatnya di wilayah Bogor, dikutip di Majalah Sabili seorang ulama tunanetra. Nama pesantren adalah Mambul Furqan, sebuah pondok pesantren tradisionil yang sangat sederhana. Terletak dipematang sawah yang terbentang luas sepanjang mata memandang. Tepatnya di desa Bojong Kerekhel, Leuwiliang, Bogor, Jawa Barat. Dari pondok ini telah lahir dan bermunculan sekian banyak huffaz al-Quran ternyata hasil dari manajemen dan bibanaan langsung seorang dai tuna netra, yaitu KH. Abdullah Ma’shum.

Salah seorang santrinya, sebut saja Wahyudi, yang berasal dari Banten sudah tiga tahun mondok di pesantren ini punya kesan tersendiri pada gurunya, Abdullah Ma’shun. Santri hafizh tamatan STM ini berkomentar, “Alhamdulillah, berkat bimbingan KH. Abdullah Ma’sum saya dapat menyempurnakan hafalan al-Qur’an saya dengan baik. Sebelumnya saya beberapa kali mondok di pesantren, tapi kerap kali tidak berhasil. Di pondok ini inspirasi untuk merampungkan hafalan hingga 30 juz penuh selalu menguat”

Kepercayaan masyarakat atas kemampuan KH. Abdullah Ma’shum mencetak kader-kader dai muda semakin tumbuh. Beberapa lembaga pendidikan Islam di sekitarnya, bahkan juga dari luar kota berkali-kali meminta bantuan SDM dalam bidang penghafalan al-Qur’an. Tidak berlebihan bila dai kita yang satu ini dikatakan sebagai aset umat. Keberhasilannya dalam menjalankan roda dakwahtidak hanya sebatas internal, tapi juga eksternal. Sudah enam orang nonmuslim diislamkan olehnya. Keikhlasan dalam menjalankan kiprahnya patut dijadikan teladan.

Dai yang berusia 52 tahun ini memiliki keluarga yang sangat sederhana dengan seorang istri dan empat orang anak. Walau kondisinya cacat, ia mampu melaksanakan kewajibannya sebagai kepala rumah tangga yang bertanggung jawab dengan memberikan nafkah keluarganya dari rizki yang halal. Padahal ia tak pernah memungut bayaran dari para orang tua santri atau mendapat bantuan dari lembaga dakwah nasional maupun iternasional. Untuk menutupi kebutuhan keluarga, ia merasa cukup dengan hasil olah sebidang tanahnya yang dimanfaatkan senagai garapan sawah. Hingga kini ia tetap kuat memegang prinsip bahwa manusia harus hidup dengan izzah, tidak boleh menghinakan diri dengan meminta-minta. (dilutip utuh dari majalah Sabili tanggal 19 Juni 2003).

Olimpiade Olahraga Penyandang Cacat

Malam itu saya berkumpul di rumahnya pak Pras dalam pengayaan bisnis keling, dengan mengudang pemateri dari Jakarta. Awalnya bisa-biasa saja, karena pengayaan tersebut tak jauh dengan bisnis serupa keling lainnya, tapi ketika salah satu pemateri dari bapak-bapak menampilkan CD olimpiade penyandang cacat dunia. Saya merasa ada yang berbeda dengan tempilan CD tersebut, dalam hati. Mereka saja sanggup mengubah diri mereka sampai titik harapan mereka. Apalagi kita yang mempunyai fisik lebih lengkap tinimbang mereka.

yang membuat terenyuh penulis mengenai tampilan olimpiade tersebut, peserta olimpiade renang kalau tidak salah ada salah satu peserta yang tak memiliki kaki, tapi dia sanggup menuju finish dengan kecepatan renang melebihi orang normal. Bergitupun denga peserta olimpiade lari penulis menyaksikan penyandang cacat yang tidak bisa menatap dunia ini. Tapi ia sanggup mengcapai garis finish dengan mulus bahkan menempati urutan pertama. Penulispun sempat menonton penyandang cacat yang tak memiliki kaki satu. Dengan kaki satu ia berlari, serupa loncatan kecil persis seperti orang yang lari dalam keadaan pincang dan melompat ke galang yang begitu tinggi.

Jangan Cemas Dengan Anak Cacat

Para ibu yang diberikan amanah oleh Allah untuk mengurus anak-anaknya jangan lah kecewa, ingat pepetah Khalil Gibran “anak-anak adalah laksana panah dan para orang tua dalam cinta, keindahan, kesunyian adalah busur panah. Busur panah yang membidik an kemana anak panah akan meluncur. Namun Gibran juga mengingatkan bahwa anak-anak mu bukan sepenuhnya milikmu. Mereka akan melangkah ke mana mereka mau. Kemana mereka punya cita-cita tentunya dengan dorongan para pengasuh atau orang tuanya.

Sungguh saya menulis ini tidak ada niatan untuk menyinggung tapi, harapan saya menulis ini agar dapat dijadikan pelajaran oleh manusia yang mau berpikir maju kedepan. Saya juga mohon maaf apabila ada yang tersinggung, tapi, walaupun ada yang tersinggung, semoga ketersinggungan ini bisa menjadikan motivasi hidup kedepan.

pesantren liwiliang bogor

Bagi ibu-ibu atau bapak-bapak atau muda mudi yang suka jalan-jalan ke kota Jakarta, pasti kita sering menemukan beberapa pengemis mengais rizki di kota ini. Dengan kemampuan alamiah para pengemis seolah menjadi aktor di jalanan bersaing dengan pedagang asongan. Terlihat beberapa pengemis dalam menjalankan tugasnya tidak seragam dalam bertindak, mungkin ada yang seperti orang pincang, berwajah kumal, memanfaatkan anak kecil, orang buta, dan bentuk lainnya bermacam-macam ditemukan disana. Aneka peran mereka mainkan namun, sayang mereka berbuat seperti itu bukan membuat sadar untuk berpikir kreatif, malah dijadikan nafkah keseharian mereka, sepertinya tak pernah ada niatan untuk berubah atau mengubah hidupnya yang lebih mulya.

Kemiskinan yang terjadi pada penyandang cacat atau karena tak mampu mengatasi kehidupan, saya yakin bukan jalan yang dianggap mulus untuk jadi pengemis atau dianggap nasib miskin. Saya pernah menonton beberapa acara di televisi yang memuncukan ide kreatif para penyandang cacat untuk mengubah hidup dengan tidak jadi pengemis. Contoh di acara yang saya tonton namun sayang, saya lupa nama acaranya. Seorang penyandang cacat mampu menciptakan lapangan kerja dengan menciptakan home Industry membuat kaligrafi yang dibuat dari kaleng-kaleng minuman. Pera pekerja yang membatu pembuatan kaligrafi Al-Quran itu para pekerja yang keadaan fisiknya normal, dalam artian ia seorang penyandang cacat, mampu memberikan kehidupan pada orang-orang yang keadan fisiknya mungkin lebih lengkap tinimbang dia selaku bosnya.

Inilah salah satu palajaran atau hikamah pada kita bahwa, Allah memberikan kekurangan pada hambanya, tidak semata-mata ia tidak bisa berpikir untuk maju atau berubah dari keadannya pada saat itu. Mungkin lebih tepatnya kita selaku hamba Allah, kalau mau berpijak pada ayat yang berbunyi “Allah tidak akan mengubah suatu kaum kalau kaum tersebut tidak akan mengubahnya” kalimat ini bukan selogan tapi bisa menjadi sumber inspirasi bagi manusia di muka bumi ini, untuk terus inovasi dalam hidupnya, sekalipun kegagalan atau ketak mungkinan itu terjadi. Tapi satu usaha memerlukan sebuah pengorbanan yang kelak akan jadi tolak ukur, bagi manusia yang hendak merenungkan perjuangan diri dalam meraih kesuksesannya.

Saya yakin seorang penyandang cacat yang saya ceritakan di atas tidak lantas sukses menjadi pengusahan kaligrafi Al-Quran, Ia dalam awal hidupnya tidak semulus yang kita bayangkan. Ia dalam menjalankan hidupnya penuh dengan hinan, comoohan dan lain sebagainya, tapi bagi ia sendiri hal seperti itu dijadikan pembawa semangat hidupnya untuk mengubah hidupnya. Bagaimana ketika ia hidup di pesantren, ia mencoba belajar membaca, menghapal, dan menulis bahkan sampai ia mampu mefisualisasikan imajinasinya, lewat kaleng bekas minuman. Ketika hasil karyanya selesai, ternyata bisa terjual dengan harga Rp.100 ribu per kaligrafinya bahkan lebih.

Bahkan dari keteranganya ia dalam memasarkan karyanya, ia tidak sampai menjual langsungkepembeli, ada tetangganya yang bertindak sebagai penjual melalui si pemesan. Ini juga salah satu ruang kehidupan atau nafkah bagi masyarakat setempat. Sungguh indah sekali apabila kita rasakan dengan menikmati kemampuan si penyandang cacat tersebut. Ia bukan saja sanggup memberikan rizki bagi pekerjanya, tapi ia mampu memberikan rizki pada tetangganya yang bukan pekerjanya. Seandainya semua orang bisa menerima keadanya yang dianggap kurang, tapi tidak menutup ruang usaha yang lebih mulya dari orang yang apabila kita lihat lengakapn keadaan fisiknya, entah keadaan mentalnya. Disnilah kita bisa memetik hikmah tentang kedahsyatan ruang pikir manusia, sanggup menembus batas dimensi runag fisik yang lengkap. Mungkin ini keagungan Allah dalam menciptakan makhluknya yang musti direnungkan makhluknya.

Sungguh kemampuan yang sangat mulya, kemampuan yang dahsyat seorang penyandang cacat sanggup mengubah roda perekonomian orang. tapi, saya pernah menonton sebuah tayangan kebohongan pengemis yang berpura-pura menjadi orang cacat dengan berbagai teknik dan gaya ia mainkan di kota pengais rezki. Awalnya mungkin orang-orang akan memandang iba dan pasti akan memberi, tapi setelah diperlihatkan pada khalayak bahwa yang menjadi orang cacat itu, bukan orang cacat, melaikan orang yang kalau dibuka kedoknya ia adalah orang yang mempunyai fisik normal. Ini salah satu penyakit manusia yang sempit dalam menyisikapi hidup dan tak pernah berkaca pada kehidupan orang yang sukses. Walaupun sulit untuk berusaha, seharusnya belajar dari kesulitan tersebut artinya kenapa sulit? Pasti aka nada pertanyaan tentang kemudahan yang mulya dimata Allah dan makhluk Allah.

Tuna Netra Sanggup Melahirkan Para Hafizd

Di pesantren tepatnya di wilayah Bogor, dikutip di Majalah Sabili seorang ulama tunanetra. Nama pesantren adalah Mambul Furqan, sebuah pondok pesantren tradisionil yang sangat sederhana. Terletak dipematang sawah yang terbentang luas sepanjang mata memandang. Tepatnya di desa Bojong Kerekhel, Leuwiliang, Bogor, Jawa Barat. Dari pondok ini telah lahir dan bermunculan sekian banyak huffaz al-Quran ternyata hasil dari manajemen dan bibanaan langsung seorang dai tuna netra, yaitu KH. Abdullah Ma’shum.

Salah seorang santrinya, sebut saja Wahyudi, yang berasal dari Banten sudah tiga tahun mondok di pesantren ini punya kesan tersendiri pada gurunya, Abdullah Ma’shun. Santri hafizh tamatan STM ini berkomentar, “Alhamdulillah, berkat bimbingan KH. Abdullah Ma’sum saya dapat menyempurnakan hafalan al-Qur’an saya dengan baik. Sebelumnya saya beberapa kali mondok di pesantren, tapi kerap kali tidak berhasil. Di pondok ini inspirasi untuk merampungkan hafalan hingga 30 juz penuh selalu menguat”

Kepercayaan masyarakat atas kemampuan KH. Abdullah Ma’shum mencetak kader-kader dai muda semakin tumbuh. Beberapa lembaga pendidikan Islam di sekitarnya, bahkan juga dari luar kota berkali-kali meminta bantuan SDM dalam bidang penghafalan al-Qur’an. Tidak berlebihan bila dai kita yang satu ini dikatakan sebagai aset umat. Keberhasilannya dalam menjalankan roda dakwahtidak hanya sebatas internal, tapi juga eksternal. Sudah enam orang nonmuslim diislamkan olehnya. Keikhlasan dalam menjalankan kiprahnya patut dijadikan teladan.

Dai yang berusia 52 tahun ini memiliki keluarga yang sangat sederhana dengan seorang istri dan empat orang anak. Walau kondisinya cacat, ia mampu melaksanakan kewajibannya sebagai kepala rumah tangga yang bertanggung jawab dengan memberikan nafkah keluarganya dari rizki yang halal. Padahal ia tak pernah memungut bayaran dari para orang tua santri atau mendapat bantuan dari lembaga dakwah nasional maupun iternasional. Untuk menutupi kebutuhan keluarga, ia merasa cukup dengan hasil olah sebidang tanahnya yang dimanfaatkan senagai garapan sawah. Hingga kini ia tetap kuat memegang prinsip bahwa manusia harus hidup dengan izzah, tidak boleh menghinakan diri dengan meminta-minta. (dilutip utuh dari majalah Sabili tanggal 19 Juni 2003).

Olimpiade Olahraga Penyandang Cacat

Malam itu saya berkumpul di rumahnya pak Pras dalam pengayaan bisnis keling, dengan mengudang pemateri dari Jakarta. Awalnya bisa-biasa saja, karena pengayaan tersebut tak jauh dengan bisnis serupa keling lainnya, tapi ketika salah satu pemateri dari bapak-bapak menampilkan CD olimpiade penyandang cacat dunia. Saya merasa ada yang berbeda dengan tempilan CD tersebut, dalam hati. Mereka saja sanggup mengubah diri mereka sampai titik harapan mereka. Apalagi kita yang mempunyai fisik lebih lengkap tinimbang mereka.

yang membuat terenyuh penulis mengenai tampilan olimpiade tersebut, peserta olimpiade renang kalau tidak salah ada salah satu peserta yang tak memiliki kaki, tapi dia sanggup menuju finish dengan kecepatan renang melebihi orang normal. Bergitupun denga peserta olimpiade lari penulis menyaksikan penyandang cacat yang tidak bisa menatap dunia ini. Tapi ia sanggup mengcapai garis finish dengan mulus bahkan menempati urutan pertama. Penulispun sempat menonton penyandang cacat yang tak memiliki kaki satu. Dengan kaki satu ia berlari, serupa loncatan kecil persis seperti orang yang lari dalam keadaan pincang dan melompat ke galang yang begitu tinggi.

Jangan Cemas Dengan Anak Cacat

Para ibu yang diberikan amanah oleh Allah untuk mengurus anak-anaknya jangan lah kecewa, ingat pepetah Khalil Gibran “anak-anak adalah laksana panah dan para orang tua dalam cinta, keindahan, kesunyian adalah busur panah. Busur panah yang membidik an kemana anak panah akan meluncur. Namun Gibran juga mengingatkan bahwa anak-anak mu bukan sepenuhnya milikmu. Mereka akan melangkah ke mana mereka mau. Kemana mereka punya cita-cita tentunya dengan dorongan para pengasuh atau orang tuanya.

Sungguh saya menulis ini tidak ada niatan untuk menyinggung tapi, harapan saya menulis ini agar dapat dijadikan pelajaran oleh manusia yang mau berpikir maju kedepan. Saya juga mohon maaf apabila ada yang tersinggung, tapi, walaupun ada yang tersinggung, semoga ketersinggungan ini bisa menjadikan motivasi hidup kedepan.

Jumat, 07 Agustus 2009

kiai kholil 2

SILSILAH NASAB Kyai Kholil Bangkalan

Syekh Kholil adalah titisan beberapa wali yang tergabung dalam Walisongo, Yaitu Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Gunung Jati dan Sunan Kudus, yang mana mereka bermarga Azmatkhanâ dan bersambung pada Sayyid Alawi Ammil Faqih bin Muhammad Shahib Mirbath. Beliau juga bernasab pada keluarga Basyaiban yang bersambung pada Al-Imam Muhammad Al-Faqih Al-Muqaddam bin Ali bin Muhammad Shahib Mirbat Al-Alawi Al-Husaini.
Berikut ini adalah silsilah nasab Syekh Syekh Kholil, terlebih dahulu saya tulis silsilah jalur laki-laki yang bersambung pada Suanan Kudus, untuk menunjukkan hak beliau dalam menggunakan nama belakang (marga/fam) Azmatkhan Al-Alawi Al-Husaini, sesuai dengan adat dan istilah pernasaban bangsa Arab.

Jalur Sunan Kudus
1. Syekh Muhammad Kholil Bangkalan.
2. Kiai Abdul Lathif. Dimakamkan di Bangkalan.
3. Kiai Hamim. Dimakamkan di Tanjung Porah, Lomaer, Bangkalan.
4. Kiai Abdul Karim.
5. Kiai Muharram. Dimakamkan di Banyo Ajuh, Bangkalan.
6. Kiai Abdul Azhim. Dimakamkan di Tambak Agung, Sukalela, Labeng, Bangkalan.
7. Kiai Sulasi. Dimakamkan di Petapan, Trageh, Bangkalan.
8. Kiai Martalaksana. Dimakamkan di Banyu Buni, Gelis, Bangkalan.
9. Kiai Badrul Budur. Dimakamkan di Rabesan, Dhuwwek Buter, Kuayar, Bangkalan.
10. Kiai Abdur Rahman (Bhujuk Lek-palek). Dimakamkan di Kuanyar, Bangkalan.
11. Kiai Khatib. Ada yang menulisnya ratib. Dimakamkan di Pranggan, Sumenep.
12. Sayyid Ahmad Baidhawi (Pangeran Ketandar Bangkalan). Di makamkan di Sumenep.
13. Sayyid Shaleh (Panembahan Pakaos). Dimakamkan di Ampel Surabaya.
14. Sayyid Jaâkfar Shadiq (Sunan Kudus). Dimakamkan di Kudus.
15. Sayyid Utsman Haji (Sunan Ngudung). Di makamkan di Kudus.
16. Sayyid Fadhal Ali Al-Murtadha (Raden Santri /Raja Pandita). Dimakamkan di Gresik.
17. Sayyid Ibrahim (Asmoro). Dimakamkan di Tuban.
18. Sayyid Husain Jamaluddin. Dimakamkan di Bugis.
19. Sayyid Ahmad Syah Jalaluddin. Dimakamkan di Naseradab, India.
20. Sayyid Abdullah. Dimakamkan di Naserabad, India.
21. Sayyid Abdul Malik Azmatkhan. Dimakamkan di Naserabad, India.
22. Sayyid Alawi âkAmmil Faqih. Dimakamkan di Tarim, Hadramaut, Yaman.
23. Sayyid Muhammad Shahib Mirbath. Dimakamkan di Zhifar, Hadramaut, Yaman.
24. Sayyid Ali Khaliâ Qasam. Dimakamkan di Tarim, Hadramaut, Yaman.
25. Sayyid Alawi. Dimakamkan di Bait Jabir, Hadramaut, Yaman.
26. Sayyid Muhammad. Dimakamkan di Bait Jabir, Hadramaut, Yaman.
27. Sayyid Alawi. Dimakamkan di Sahal, Yaman.
28. Sayyid Abdullah/Ubaidillah. Dimakamkan di Hadramaut, Yaman.
29. Al-Imam Ahmad Al-Muhajir . Dimakamkan di Al-Husayyisah, Hadramaut, Yaman.
30. Sayyid Isa An-Naqib. Dimakamkan di Bashrah, Iraq.
31. Sayyid Muhammad An-Naqib. Dimakamkan di Bashrah, Iraq.
32. Al-mam Ali Al-Uradhi. Dimakamkan di Al-Madinah Al-Munawwarah.
33. Al-Imam Jaâkfar Ash-Shadiq. Dimakamkan di Al-Madinah Al-Munawwarah.
34. Al-Imam Muhammad Al-Baqir. Dimakamkan di Al-Madinah Al-Munawwarah.
35. Al-Imam Ali Zainal Abidin. Dimakamkan di Al-Madinah Al-Munawwarah.
36. Sayyidina Husain bin Ali bin Abi Thalib. Dimakamkan di Karbala, Iraq.
37. Sayyidatina Fathimah Az-Zahraâ binti Sayyidina Muhammad Rasulillah SAW.
Dimakamkan di Madinah Al-Munawwarah
Maka, dari jalur Sunan Kudus, Syekh Kholil adalah generasi ke-37 dari Rasulullah SAW.

Jalur Sunan Ampel
1. Syekh Muhammad Kholil Bangkalan.
2. Kiai Abdul Lathif. Dimakamkan di Bangkalan.
3. Kiai Hamim. Dimakamkan di Tanjung Porah, Lomaer, Bangkalan.
4. Kiai Abdul Karim.
5. Kiai Muharram. Dimakamkan di Banyo Ajuh, Bangkalan.
6. Kiai Abdul Azhim. Dimakamkan di Tambak Agung, Sukalela, Labeng, Bangkalan.
7. Nyai Tepi Sulasi (Istri Kiai Sulasi). Dimakamkan di Petapan, Trageh, Bangkalan.
8. Nyai Komala. Dimakamkan di Kuanyar, Bangkalan.
9. Sayyid Zainal Abidin (Sunan Cendana). Dimakamkan di Kuanyar, Bangkalan.
10. Sayyid Muhammad Khathib (Raden Bandardayo). Dimakamkan di Sedayu Gresik.
11. Sayyid Musa (Sunan Pakuan). Dimakamkan di Dekat Gunung Muria Kudus. Dalam sebagian catatan nama Musa ini tidak tertulis.
12. Sayyid Qasim (Sunan Drajat). Dimakamkan di Drajat, Paciran Lamongan.
13. Sayyid Ahmad Rahmatullah (Sunan Ampel). Dimakamkan di Ampel, Surabaya.
14. Sayyid Ibrahim Asmoro Tuban. Disini nasab Nyai Sulasi dan Kiai Sulasi bertemu.
Maka, melalui jalur Sunan Ampel, Syekh Kholil adalah generasi ke-34 dari Rasulullah SAW.
Jalur Sunan Giri
1. Syekh Muhammad Kholil Bangkalan.
2. Kiai Abdul Lathif. Dimakamkan di Bangkalan.
3.Kiai Hamim. Dimakamkan di Tanjung Porah, Lomaer, Bangkalan.
4. Kiai Abdul Karim.
5. Kiai Muharram. Dimakamkan di Banyo Ajuh, Bangkalan.
6. Kiai Abdul Azhim. Dimakamkan di Tambak Agung, Sukalela, Labeng, Bangkalan.
7. Nyai Tepi Sulasi (Istri Kiai Sulasi). Dimakamkan di Petapan, Trageh, Bangkalan.
8. Nyai Komala. Dimakamkan di Kuanyar, Bangkalan.
9. Sayyid Zainal Abidin (Sunan Cendana). Dimakamkan di Kuanyar, Bangkalan.
10. Nyai Gede Kedaton (istri Sayyid Muhammad Khathib). Dimakamkan di Giri, Gresik.
11. Panembahan Kulon. Dimakamkan di Giri, Gresik.
12. Sayyid Muhammad Ainul Yaqin (Sunan Giri). Dimakamkan di Giri, Gresik.
13. Maulana Ishaq. Dimakamkan di Pasai.
14. Sayyid Ibrahim Asmoro Tuban. Disini nasab Nyai Gede Kedaton dan Sayyid Muhammad Khathib bertemu.
Maka, melalui jalur Sunan Giri, Syekh Kholil adalah generasi ke-34 dari Rasulullah SAW.

Jalur Sunan Gunung Jati
1. Syekh Muhammad Kholil Bangkalan.
2. Kiai Abdul Lathif. Dimakamkan di Bangkalan.
3. Nyai Khadijah (Istri Kiai Hamim). Dimakamkan di Bangkalan.
4. Kiai Asror Karomah.
5. Sayyid Abdullah.
6. Sayyid Ali Al-Akbar.
7. Sayyid Sulaiman. Dimakamkan di Mojo Agung, Jombang.
8. Syarifah Khadijah.
9. Maulana Hasanuddin. Dimakamkan di Banten.
10. Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). Dimakamkan di Cirebon.
11. Sayyid Abdullah Umdatuddin.
12. Sayyid Ali Nuruddin/Nurul Alam.
13. Sayyid Husain Jamaluddin Bugis. Disini nasab Nyai Khadijah dan Kiai Hamim Kholil bertemu.
Maka, melalui jalur Sunan Gunung Jati, Syekh Kholil adalah generasi ke-32 dari Rasulullah SAW.

Jalur Basyaiban
1. Syekh Muhammad Kholil Bangkalan.
2. Kiai Abdul Lathif. Dimakamkan di Bangkalan.
3. Nyai Khadijah (Istri Kiai Hamim). Dimakamkan di Bangkalan.
4. Kiai Asror Karomah.
5. Sayyid Abdullah.
6. Sayyid Ali Al-Akbar.
7. Sayyid Sulaiman. Dimakamkan di Mojo Agung, Jombang.
8. Sayyid Abdurrahman (Suami Syarifah Khadijah binti Hasanuddin).
9. Sayyid Umar.
10. Sayyid Muhammad.
11. Sayyid Abdul Wahhab.
12. Sayyid Abu Bakar Basyaiban.
13. Sayyid Muhammad.
14. Sayyid Hasan At-Turabi.
15. Sayyid Ali.
16. Al-Imam Muhammad Al-Faqih Al-Muqaddam.
17. Saayid Ali.
18. Sayyid Muhammad Shahib Mirbat. Disini nasab keluarga Azmatkhan dan Basyaiban bertemu.
Maka, melalui jalur Sayyid Abdurrahman Basyaiban, Syekh Kholil adalah generasi ke-32 dari Rasulullah SAW.
Demikianlah nasab Syekh Kholil dengan berbagai jalur yang saya dapatkan sampai saat ini, bisa jadi suatu hari nanti kita menemukan nama-nama baru daripada istri-istri jalur laki-laki yang ada itu.
Dalam hal pencatatan nasab, ada satu hal yang cukup membanggakan bagi Kiai-kiai Jawa dan Madura. Berkat gabungan antara adat Arab dalam menjaga silsilah dan adat Jawa/Madura yang tidak membeda-bedakan garis laki-laki dan perempuan, akhirnya Kiai-Kiai Jawa/Madura banyak yang memliki silsilah lengkap dari berbagai jalur.
Saya pernah menunjukkan sebuah silsilah seperti ini pada seorang Syekh dari Yaman, beliau merasa kagum karena banyak jalur perempuan yang juga dicatat dalam silsilah itu selain jalur laki-laki, karena pada umumnya, orang Arab tidak tahu nama-nama kakek-buyutnya yang dari jalur ibu atau jalur nenek, mereka hanya mengenal yang jalur ayah keatas dengan garis laki-laki.
Diambil dari catatan Syekh Kholil sendiri pada akhir terjemah beliau atas kitab Alfiyah Ibnu Malik pada tahun 1294 H. Beliau menulis nama beliau dengan: Muhammad Kholil bin Hamim bin Abdul Karim bin Muharrom. Lihat lampiran Banyak orang yang tidak mencatat nama Abdul Karimâ dan Muharromâ dalam silsilah Syekh Kholil.
Padahal sudah jelas tertera pada kitab tulisan tangan Syekh Kholil. Nasab ini juga diperkuat oleh penuturan Kiai Faqih Konang (Loamer Bangkalan). Kiai Faqih meninggal pada tahun 2006 dalam usia lebih dari 120 tahun. Setahun sebelum meninggal, saya bertemu dengan beliau untuk mengambil riwayat tentang kiai-kiai keturunan Sunan Cendana Kuanyar. Kami pun berbincang-bincang selama kurang lebih empat jam dalam dua kali pertemuan, sampai membuat tamu-tamu yang lain mengantri lama di luar. Beliau sangat gembira dengan kedatagan saya, apalagi dalam rangka mengumpulkan riwayat Kiai-kiai sepuh, sehingga beliaupun memaksa untuk berbicara banyak walapun kondisi tubuh beliau sangat lemah, biasanya beliau menerima tamu hanya sekitar lima menit. Waktu itu saya ditemani oleh Kiai Khozin Bungkak.
Sebagian perbincangan itu sempat saya rekam dan saya tulis. Diantara yang beliau sebutkan adalah bahwa Nyai Sulasi (cucu Sunan Cendana) dengan Kiai Sulasi memiliki putra bernama Kiai Abdul Fattah, Kiai Abdul Fattah mempunyai beberapa putra diantaranya bernama Kiai Abdul Azhim, dan di antara putra Kiai Abdul Azhim adalah Kiai Muharrom yang menurunkan Syekh Kholil Bangkalan.
Sampai saat ini saya belum menemukan catatan yang mencantumkan nama Abdul Fattah, maka dari itu dalam silsilah ini saya tidak memasukkanya, karena saya lebih menguatkan yang ada catatannya. Malah saya punya perkiraan bahwa Abdul Fattah itu adalah nama asli Kiai Sulasi, barangkali saja Kiai Faqih salah dengar atau salah ucap. Sulasi itu bukan nama orang, melainkan nama tempat yang asalnya adalah Selase. Di juluki Kiai Sulasi karena tinggal di Selase itu.
Nah, mungkin saja Abdul Fattah adalah nama asli beliau sehingga riwayat Kiai Faqih menjadi rancu antara Kiai Sulasi dan Kiai Abdul Fattah. Riwayat Kiai Faqih tentang Kiai Muharrom ini lebih menguatkan catatan yang ada dalam kitab Syekh Kholil.
Berdasarkan riwayat Kiai Faqih.
Nama-nama mulai dari Kiai Abdul Azhim sampai ke Raden Santri saya dapatkan dari Kiai Fauzi Lomaer. Beliau mendapatkan dari catatan keluarga Bani Muqiman bin Hamim. Menurut catatan Kiai Fauzi, beliau inilah yang terkenal dengan julukan Mbah Sholeh murid Sunan Ampel.
Ada yang menulis Sunan Kudus sebagai putra Sunan Ampel, terasuk Sayyid Dhiya Syihab dalam taâkliq kitab Syams Azh-Zhahirahâ. Namun yang saya lihat dalam banyak catatan silsilah yang dipegang Kiai-kiai di berbagai tempat adalah bahwa ibu Sunan Kudus bernama Nyai Anom Manyuran binti Nayi Ageng Manyuran binti Sunan Ampel.
Sampai saat ini banyak kalangan tertentu yang terlalu fanatik dengan kitab Syams Azh-Zhahirahâ dan takliqnya, sehingga ada semacam pemahaman bahwa kalau tidak ada dalam kitab tersebut atau bertentangan dengan kitab tersebut berarti tidak sah. Padahal, saya lihat kitab itu banyak kelemahan riwayatnya ketika berbicara tentang Walisongo yang dari keluarga Azmatkhan. Hal itu sebenarnya dapat dimaklumi, karena kitab tersebut dutulis tidak berdasarkan kumpulan riwayat yang tersebar di berbagai tempat. penulis taâkliq kitab tersebut hanya menulis berdasarkan riwayat beberapa orang yang sempat beliau temui, karena beliau tidak banyak waktu untuk mengunjungi semua Kiai dan menanyai silsilah mereka.
Namun begitu, beliau telah melakukan hal yang besar dengan memperkenalkan Sunan-sunan keluarga Azmatkhan pada Alawiyyin di Arab. Hanya saja, sangat disayangkan karena kemudian tidak ada dari kalangan mereka yang menindaklanjuti langkah beliau dengan menulusuri keturunan Sunan-sunan itu.
Hal ini kemudian menimbulkan suatu asumsi yang tidak ilmiyah di kalangan awam mereka, yaitu dengan menganggap bahwa yang tidak tercatat dalam taâkliq Syams Azh-Zhahirahâ berarti tidak sah. Apalagi sering terdengar komentar sinis dari kalangan awam itu bahwa Sunan-sunan tidak punya keturunan laki-laki, karena anak-anak mereka yang laki-laki meninggal sebelum punya anak. Padahal, Sayyid Dhiyaâ Syihab dalam taâliq Syams Azh-Zhahirahâ jelas menulis nama-nama Kiai yang beliau ambil riwayatnya dengan mengatakan bahwa mereka masih keturunan Sunan.
Demikian pula dengan Sayyid HMH Al-Hamid, dalam buku Pembahasan Tuntas Tetang Khilafiahâ, beliau juga menyatakan bahwa banyak sekali Kiai-kiai yang bernasab pada Sunan-sunan Azmatkhan dengan garis laki-laki.
Dalam Taliq Syams Azh-Zhahirahâ, Sunan Ngudung ditulis sebagai putra Ali Nuruddin bin Husain Jamaluddin. Berarti Sunan Ngudung adalah saudara kandung ayah Sunan Gunung Jati. Sementara keraton Cirebon tidak mengenal nama Sunan Ngudung sebagai kerabat dekat. Seandainya Sunan Ngudung adalah paman kandung Sunan Gunung Jati, maka tentu bangsawan Cirebon akan mencatat nama beliau sebagaimana nama Falatehan yang menjadi menantu Sunan Gunung Jati. Ditambah lagi dengan riwayat masyhur dalam catatan silsilah Kiai-kiai yang menyatakan bahwa Sunan Ngudung adalah mantu cucu Sunan Ampel. Selain itu, Sunan Ngudung populer di zaman Kesultanan Demak sepeninggal Sunan Ampel, maka hitungan tahunnya lebih layak kalau Sunan Ngudung menjadi keponakan Sunan Ampel daripada menjadi paman Sunan Gunung Jati. Mengingat Taâkliq Syams Azh-Zhahirahâ tidak menyebut referensinya, maka saya lebih menguatkan silsilah yang menyebut Sunan Ngudung bin Raden Santri, karena silsilah ini ditulis dengan jelas dalam banyak catatan Kiai-Kiai. Mungkin saja, yang membuat rancu referensi Syams Azh-Zhahirahâ adalah nama Ali, karena nama Raden santri dan kakek Sunan Gunung Jati sama-sama ada Alinya. Kalau Raden Santri bernama asli âFadhal Ali Al-Murtadhaâ sedangkan kakek Sunan Gunung Jati bernama Ali Nuruddin atau yang oleh sebagian orang ditulis Ali Nurul Alam.
Nama ini sering dibuat rancu oleh banyak orang. Mereka menganggap bahwa Ibrahim ini adalah Maulana Malik Ibrahim. Adapun Maulana Malik Ibrahim adalah putra Barakat Zainul Alam bin Husain Jamaluddin.
Banyak orang menyebutnya Syekh Jumadil Kubro. Dan ada banyak makam yang dinisbatkan pada Syekh Jumadil Kubro. Maka boleh jadi Syekh Jumadil Kubro itu adalah tahrif (salah ucap) dari beberapa nama. Adapun yang paling shahih adalah makam yang di Bugis, karena di sekitar makam itu terdapat banyak keluarga bangsawan yang bernasab pada beliau.
Banyak yang menulisnya Abdullah Khana. Ini adalah suatu kesalahan. Marga Khana itu bukan marga Sayyid, melainkan marga bangsawan Pakistan yang mengadopsi dari nama belakang penguasa-penguasa Mongol. Sejarah mencatat meratanya serbuan dan perampasan bangsa Mongol di belahan Asia. Diantara nama yang terkenal dari penguasa-penguasa Mongol adalah Khubilai Khan. Setelah Mongol menaklukkan banyak bangsa, maka muncullah Raja-raja yang diangkat atau diakui oleh Mongol dengan menggunakan nama belakang Khana, termasuk Raja Naserabad, India. Ketika Sayyid Abdul Malik (ayah Sayyid Abdullah) menjadi menantu bangsawan Naserabad, mereka bermaksud memberi beliau gelar Khanâ agar dianggap sebagai bangsawan setempat sebagaimana keluarga yang lain. Hal ini persis dengan cerita Sayyid Ahmad Rahmatullah ketika diberi gelar Raden Rahmat setelah menjadi menantu bangsawan Majapahit.
Namun karena Sayyid Abdul Malik dari bangsa syarif (mulia) keturunan Nabi, maka mereka menambah kalimat Azmat yang berarti mulia (dalam bahasa Urdu India) sehingga menjadi Azmatkhan. Dengan huruf arab, mereka menulis bukan dengan huruf latin mereka menulis Azmatkhan, bukan Adhomatu Khon atau dhimat Khona seperti yang ditulis sebagian orang. Tentang sejarah keluarga Azmatkhan mulai dari leluhur Sayyid Abdul Malik hingga Sunan-sunan Walisongo, saya telah menulisnya dengan panjang lebar dalam buku Dari Kanjeng Nabi Sampai Kanjeng Sunan.
Di Madura banyak silsilah dengan nama Khathib, termasuk ayah Sunan Cendana ini. Ketika orang-orang menemukan nama Khathib dan belum dapat bin siapanya, mereka cenderung mencari-cari nama Khathib dalam silsilah lain. Hal ini mengakibatkan adanya banyak kerancuan silsilah keatas seorang Khathib, termasuk Khathib ayah Sunan Cendana ini. Saya menguatkan nasab Sunan Cendana dengan silsilah Khathib bin Musa bin Qasim (Sunan Drajat), karena silsilah yang ini dipegang oleh banyak keluarga dari bani Sunan Cendana. Setahu saya, ada dua Khathib yang pernah terselip pada silsilah Sunan Cendana selain yang dipegang juru kunci, yaitu Khathib bin Syaab bin Sunan Ampel dan Khathib Panjang bin Panembahan Kidul bin Sunan Giri.
Kemudian ada satu hal yang perlu saya bicarakan mengenai silsilah antara Sunan Cendana dan Sunan Drajat. Ada seorang Arab yang dikenal ahli nasab dan kemudian mengusik nasab Sunan Cendana. Hal ini saya anggap perlu dibahas agar pembaca mengerti persoalannya kalau-kalau suatu saat mendengar omongan miring itu.
Awalanya begini, suatu ketika saya menunjukkan nasab seseorang yang bersambung pada Sunan Cendana. Ia pun merasa keberatan melihat catatan silsilah itu menunjukkan bahwa pemiliknya adalah keturunan ke-35 dari Rasulullah SAW. Sementara dia sendiri (si ahli nasab) yang lebih tua dari pemilik silsilah itu adalah keturunan ke-40. Kemudian si ahli nasab itu mengatakan bahwa silsilah itu meragukan sehingga sulit untuk menembus pengesahan Rabithah Alawiyah (Persatuan Alawiyyin keturuan Al-Hasan dan Al-Husain), karena saksi-saksi yang mengetahui langsung hubungan anak-beranak dari nama-nama dalam silsilah itu sudah meninggal semua. Tidak beberapa lama kemudian saya bertemu dengan Kiai Hannan (juru kunci makam Sunan Cendana). Ketika berbincang-bincang tentang nasab Sunan Cendana, Kiai Hannan berkata bahwa beberapa bulan yang lalu beliau berbincang-bincang dengan si ahli nasab itu, dia bilang bahwa antara Sunan Cendana dan Sunan Drajat itu ada sekitar empat nama yang hilang, mestinya bukan Sunan Cendana bin Khathib bin Sunan Drajat, melainkan setidaknya Sunan Cendana bin Khathib bin fulan bin fulan bin fulan bin fulan bin Sunan Drajat. Dengan cerita Kiai Hannan itu, saya baru paham mengapa si ahli nasab itu keberatan dengan silsilah keturunan Sunan Cendana, yaitu karena nasab keturunan Sunan Cendana kebanyakan sangat tinggi dibanding si ahli nasab, nampaknya ia keberatan untuk kalah tinggi dengan keturunan Sunan Cendana, sehingga ia pun berani berbohong meyakini ada sedikitnya empat nama yang hilang. Untuk itu saya kemukakan beberapa hal berikut:
1. Megenai saksi-saksi yang diminta itu, saya rasa itu adalah sangat berlebihan. Itsbat (membenarkan) nasab itu tidak harus ada saksi yang tahu langsung hubungan anak-beranak antara seseorang dengan ayahnya. Jangankan untuk orang lain, untuk kakek saya sendiri saja saya tidak bisa mendatangkan saksi yang tahu langsung bahwa kakek adalah putra buyut saya, saksi yang tahu langsung sudah meninggal semua, saya tahu itu dari ayah dan keluarga saya lainnya yang pernah bertemu kakek, sebagaimana mereka tahu tentang buyut mereka dari kakek. Itsbat itu cukup dengan riwayat, bahwa apabila ada riwayat tentang sebuah nasab yang diriwayatkan oleh orang-orang yang tsiqah (bisa dipercaya) secara turun temurun, apalagi sampai ada catatannya, maka hal itu sudah sangat cukup untuk itsbat nasab. Sedangkan catatan silsilah atas-bawah Sunan Cendana tersebar pada ratusan keluarga keturunan beliau yang rata-rata keluarga ulama besar.
Apakah kita masih menyangsikan catatan yang dipegang oleh semisal keluarga Syekh Kholil Bangkalan, Syekh Syamsuddin Ombhul (Sampang), Kiai Asad Syamsul Arifin (Asembagus), Kiai Hasan Genggong (Probolinggo), Kiai Abdur Rahim Sarang (Rembang Jawa Tengah) dan yang lain-lain? Mereka semua adalah ulama-ulama besar. Mereka adalah keturunan Sunan Cendana dan masing-masing memegang silsilah yang diterima turun temurun.
2. Kesimpulannya, silsilah antara keturunan Sunan Cendana yang sekarang hingga Sunan Cendana sama sekali tidak ada masalah. Maka masalahnya tinggal antara Sunan Cendana dan Sunan Drajat. Tadi disebutkan bahwa si ahli nasab menuduh ada sekitar empat nama yang hilang antara Sunan Cendana dan Sunan Derajat. Coba kita perhatikan berikut ini: Sejarah mencatat bahwa Sunan Derajat lahir sekitar tahun 1470 M. (+ 930 H.) Sedangkan menurut catatan turun temurun, Sunan Cendana hidup pada zaman Cakraningrat I Bangkalan, kira-kira tahun 1625. Berarti jarak antara Sunan Cendana dan Sunan Drajat sekitar 155 tahun. Nah, jarak itu sangat layak untuk diisi empat generasi, yaitu Sayyid Musa, Sayyid Muhammad Khathib, Sayyid Zainal Abidin dan putra-putra beliau, karena beliau berusia panjang.
Dari pernyataan dan kesimpulan itu, saya kemudian menarik kesimpulan bahwa keberatan yang dikemukakan oleh si ahli nasab itu hanya karena keberatan untuk dianggap nasabnya kalah tinggi dengan keturunan Sunan Cendana. Iapun beruasaha untuk menciptakan kesangsian terhadap silsilah keluarga Sunan Cendana.
Mengingat dari Sunan Cendana kebawah tidak ada celah untuk dituduh kurang nama, karena kebanyakan keturunan Sunan Cendana telah menjaga silaturrahim, maka iapun melemparkan tuduhan itu pada antara Sunan Cendana dan Sunan Drajat. Sayangnya, ia tidak memperhatikan tahun kelahiran mereka, sehingga tuduhan itupun berbalik menjadi hal yang memalukan bagi dirinya.
Hendaknya dipahami, bahwa ketaqwaan itu lebih mendekatkan seseorang pada leluhurnya yang shaleh, bukan hitungan nasabnya. Cucu Siti Fathimah yang ke-33 tidak lebih mulia daripada cucu yang ke-40. Apabila lebih bertaqwa dan lebih berprestasi, maka cucu ke-40 akan lebih dekat dengan Siti Fathimah daripada cucu ke-33. Kesalahpahaan mengenai hal ini cenderung membuat orang merasa gengsi untuk mengakui kedekatan nasab orang lain, apalagi ketika yang bernasab lebih dekat itu lebih muda atau dianggap orang biasa.
Ada yang menulisnya Hasyim, seperti Takliq Syams Azh-Zhahirah. Saya menguatkan Qasim karena nama itu yang saya temukan dalam semua catatan yang saya temui di tangan Kiai-kiai keturunan Sunan Drajat.
Ada yang menulisnya Ali Rahmatullah, seperti Takliq Syams Azh-Zhahirah. Saya menguatkan Ahmad Rahmatullah karena nama itu yang saya temukan dalam semua catatan yang saya temui di tangan Kiai-kiai keturunan Sunan Ampel.
Kiai Hamim adalah menantu Kiai Asror. Sebagian silsilah mencatat Hamim bin Asror. Kerancuan itu sebenarnya berawal dari kalimat Syekh Kholil putra Kiai Hamim dan cucu Kiai Asror. Orang yang tidak tahu persis menjadi salah paham. Adapun lebih menisbatkan Syekh Kholil sebagai cucu Kiai Asror daripada sebagai cucu Kiai Abdul Karim (ayah Kiai Hamim) itu berawal dari adat orang Jawa dan Madura yang tidak membeda-bedakan garis laki-laki dan perempuan, sehingga ketika memilih kakek, mereka akan memilih kakek yang paling keramat walaupun dari garis ibu. Syekh Kholil dinisbatkan sebagai cucu Kiai Asror karena Kiai Asror lebih terkenal daripada Kiai Abdul Karim. Akibat Syekh Kholil lebih dikenal sebagai cucu Kiai Asror, maka beliaupun lebih dikenal sebagai cucu Sunan Gunung Jati, padahal Kiai Asror juga cucu Sunan Gunung Jati dari garis perempuan. Sebelum ini, jarang orang yang tahu bahwa nasab Syekh Kholil yang garis laki-laki bersambung pada Sunan Kudus, sedangkan beberapa jalur perempuan beliau juga bersambung pada Sunan Ampel dan Sunan Giri.
Banyak catatan yang saya temukan kehilangan nama ini. Padahal nama ini sudah masyhur di kalangan keluarga Basyaiban dan telah disahkan Robithoh Alawiyah.
Sebagian silsilah yang tidak mencatat nama ini. Mungkin kelewatan itu berangkat dari kalimat Sayyid Sulaiman adalah keturunan Sunan Gunung Jati dari pihak ibu. Keturunan bisa cucu dan bisa cicit. Ketika kalimat itu dimaksudkan cicit, maka yang mendengar mengira cucu, sehingga langsung saja ia menyimpulkan Sulaiman bin putri Sunan Gunung Jati. Wallahu alam.
Ada yang menulis bahwa Hidayatullah adalah nama lain dari Fatahillah yang berasal dari aceh, termasuk HAMKA yang kemudian dinukil oleh kitab Syams Azh-Zhahirah. Adapun yang benar adalah bahwa Hidayatullah dan Fatahillah itu dua orang yang berbeda. Adapun Fatahillah adalah putra Sayyid Ibrahim bin Abdul Ghafur bin Barakat bin Husain Jamaluddin. Fatahillah dikenal dengan panggilan Falatehan, pernah menjadi Panglima Perang Kerajaan Demak, kemudian menjadi Panglima Perang Kesultanan Cirebon di masa Sunan Gunung Jati dan menaklukkan Sunda Kelapa. Setelah itu beliau menikah dengan putri Sunan Gunung Jati.
PESANTREN DEMANGAN
Pada tahun 1280 (+1863), lahirlah putri Syekh Kholil yang bernama Nyai Khotimah. Sementara itu Nyai Maryam (kakak Syekh Kholil) dengan Kiai Kaffal memiliki putra bernama Kiai Muntaha yang lahir pada tahun 1266 H. Saat Nyai Khotimah lahir, Kiai Muntaha berusia 14 tahun. Muntaha muda diberangkatkan ke Makkah untuk menuntut ilmu. Pada tahun 1288, Kiai Muntaha yang telah berubah nama menjadi Muhammad Thoha pulang ke Madura, saat itu beliau berusia 22 tahun. Maka Syekh Kholil menikahkan Kiai Thoha dengan Nyai Khotimah yang masih berusia 8 tahun. Namun Kiai Thoha dan Nyai Khotimah tidak langsung dipertemukan, melainkan Kiai Thoha berangkat lagi ke Makkah untuk melanjutkan pendidikan hingga tujuh tahun lamanya. Ada yang mengatakan hingga sembilan tahun.
Setelah Kiai Thoha pulang, beliau telah menjadi seorang ulama muda yang mumpuni dalam berbagai bidang ilmu keislaman. Maka Syekh Kholilpun menyerahkan Pesantren Jangkibuan pada Kiai Thoha, sementara Syekh Kholil sendiri pindah dan mendirikan pesantren di Demangan.
Dalam buku Surat Kepada Anjing Hitam, Saifur Rahcman menulis: Dari Pesantren Demangan inilah Kiai Kholil bertolak menyebarkan agama Islam di Madura hingga Jawa. Kiai Kholil mula-mula membina agama Islam di sekitar Bangkalan. Baru setelah dirasa cukup baik, mulailah merambah ke pelosok-pelosok jauh, hingga menjangkau ke seluruh Madura secara merata.
Pulau Jawa yang merupakan pulau terdekat dengan pulau Madura menjadi sasaran dakwah Kiai Kholil. Jawa yang telah dirintis oleh pendahulunya yaitu Sunan Giri, dilanjutkan oleh Kiai Kholil dengan metode dakwah yang sistematis. Tidak jarang Kiai Kholil dalam dakwahnya terjun langsung ke masyarakat lapisan terbawah di pedesaan Jawa. Saat ini masih nyata bekas peninggalan dakwah Kiai Kholil baik berupa naskah-naskah, kitab Al-Quran, maupun monument atau tugu yang pernah dibangunnya. Sebuah tugu penunjuk arah kiblat dan tanda masuknya sholat lima waktu masih dapat dilihat sampai sekarang di Desa Pelalangan, Bondowoso. Demikian juga beberapa kenangan berupa hadiah tasbih kepada salah satu masyarakat di daerah Bondowoso.
Masih banyak bekas jejak dakwah yang dapat kita temui sekarang, seperti musholla, sumur, sorban, tongkat Kiai Kholil.
MURID-MURID SYEKH KHOLIL
Berikut saya nukil tulisan Saifur Rachman dalam buku Surat Kepada Anjing Hitam:
Hampir ulama besar di Madura dan Jawa adalah murid Kiai Kholil. Selain itu, murid Kiai Kholil rata-rata berumur panjang, banyak diatas 100 tahun. Berikut ini sebagian murid Kiai Kholil yang mudah dikenal saat ini :
1. KH. Hasyim Asyari : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Tebu Ireng Jombang. Beliau juga dikenal sebagai pendiri organisasi Islam Nahdlatul Ulama (NU) Bahkan beliau tercatat sebagai Pahlawan Nasional.
2. KHR. Asad Syamsul Arifin : Pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah, Sukorejo Asembagus, Situbondo. Pesantren ini sekarang memiliki belasan ribu orang santri.
3. KH. Wahab Hasbullah: Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Tambak Beras Jombang. Pernah menjabat sebagai Rais Aam NU (1947 1971).
4.KH. Bisri Syamsuri: Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Denanyar, Jombang.
5.KH. Maksum : Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Rembang, Jawa Tengah
6. KH. Bisri Mustofa : Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Rembang, Beliau juga dikenal sebagai mufassir Al Quran. Kitab tafsirnya dapat dibaca sampai sekarang, berjudul Al-Ibriz sebanyak 3 jilid tebal berhuruf jawa pegon.
7. KH. Muhammad Siddiq : Pendiri, Pengasuh Pesantren Siddiqiyah, Jember.
8. KH. Muhammad Hasan Genggong : Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Zainul Hasan, Genggong. Pesantren ini memiliki ribuan santri dari seluruh penjuru Indonesia.
9. KH. Zaini Munim : Pendiri, Pengasuh Pesantren Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo. Pesantren ini juga tergolong besar, memiliki ribuan santri dan sebuah Universitas yang cukup megah.
10. KH. Abdullah Mubarok : Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Suryalaya, kini dikenal juga menampung pengobatan para morphinis.
11. KH. Asyari : Pendiri, pengasuh pondok Pesantren Darut Tholabah, Wonosari Bondowoso.
12. KH. Abi Sujak : Pendiri, pengasuh pondok Pesantren Astatinggi, Kebun Agung, Sumenep.
13. KH. Ali Wafa : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Temporejo, Jember. Pesantren ini mempunyai ciri khas yang tersendiri, yaitu keahliannya tentang ilmu nahwu dan sharaf.
14. KH. Toha : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Bata-bata, Pamekasan.
15. KH. Mustofa : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Macan Putih, Blambangan.
16. KH Usmuni : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Pandean Sumenep.
17. KH. Karimullah : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Curah Damai, Bondowoso.
18. KH. Manaf Abdul karim : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo Kediri.
19. KH. Munawwir : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta.
20. KH. Khozin : Pendiri, pengasuh pondok Pesantren Buduran, Sidoarjo.
21. KH. Nawawi : Pendiri, pengasuh pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan. Pesantren ini sangat berwibawa. Selain karena prinsip salaf tetap dipegang teguh, juga sangat hati-hati dalam menerima sumbangan. Sering kali menolak sumbangan kalau patut diduga terdapat subhat.
22. KH. Abdul Hadi : Lamongan.
23. KH. Zainudin : Nganjuk
24. KH. Maksum : Lasem jawa tengah
25. KH. Abdul Fatah : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Al Fattah, Tulungagung
26. KH. Zainul Abidin : Kraksan Probolinggo.
27. KH. Munajad : Kertosono
28. KH. Romli Tamim : Rejoso jombang
29. KH. Muhammad Anwar : Pacul Bawang, Jombang
30. KH. Abdul Madjid : Bata-bata, Pamekasan, Madura
31. KH. Abdul Hamid bin Itsbat, banyuwangi
32. KH. Muhammad Thohir jamaluddin : Sumber Gayam, Madura.
33. KH. Zainur Rasyid : Kironggo, Bondowoso
34. KH. Hasan Mustofa : Garut Jawa Barat
35. KH. Raden Fakih Maskumambang : Gresik
36. KH. Sayyid Ali Bafaqih : Pendiri, pengasuh Pesantren Loloan Barat, Negara, Bali.

SEPULANG DARI MAKKAH
Saya membaca catatan Syekh Kholil dalam kitab Hasyiyah Al-Bajuri tulisan tangan beliau yang ada pada Kiai Thoha Kholili Jangkibuan, di situ tertulis pernyataan berbahasa Arab yang artinya: Aku membaca (mengaji) kitab ini pada tahun 1274 H pada. Nama guru ngaji beliau tidak jelas karena tulisannya rusak seperti terkena basah.
Kemudian, dalam catatan Kiai Kholili Jangkibuan, tertulis bahwa Syekh Kholil menikah dengan Nyai Assek binti Ludrapati pada tahun 1278. Maka kita bisa memastikan bahwa kepulangan Syekh kholil dari Makkah adalah antara tahun 1274 dan 1278 (+ 1857-1861).
Sepulang dari Makkah, Syekh Kholil tidak langsung mengajar, beliau baru mulai berpikir bagaimana caranya agar dapat mengajarkan ilmunya pada masyarakat. Beliau masih tinggal bersama kakak beliau, Nyai Maryam, di Keramat. Sambil mencari peluang untuk mengamalkan ilmunya, Syekh Kholil mengisi waktu dengan bekerja di kantor pejabat Adipati Bangkalan. Selain untuk mencari nafkah, sepertinya beliau juga bermaksud untuk mencari banyak teman dan kenalan, karena hanya dengan begitulah beliau dapat bergaul.
Di kantor pejabat Adipati Bangkalan itu, Syekh Kholil diterima sebagai penjaga dan kebagian jaga malam. Maka setiap bertugas malam, Syekh Kholil selalu membawa kitab, beliau rajin membaca di sela-sela tugas beliau. Akhirnya beliaupun oleh para pegawai Adipati dikenal ahli membaca kitab, sehingga berita itupun sampai pada Kanjeng Adipati. Kebetulan, leluhur Adipati sebenarnya adalah orang-orang alim, mereka memang keturunan Syarifah Ambami Ratu Ibu yang bersambung nasab pada Sunan Giri.
Maka tidak aneh kalau di rumah Adipati banyak terdapat kitab-kitab berbahasa Arab warisan leluhur, walaupun Adipati sendiri tidak dapat mebaca kitab berbahasa Arab. Adipatipun mengizinkan Syekh Kholil untuk membaca kitab-kitab itu di perpustakaan beliau. Syekh Kholil merasa girang bukan main, karena pada zaman itu tidak mudah untuk mendapatkan kitab, apalagi sebanyak itu.
Setelah yakin bahwa Syekh Kholil betul-betul ahli dalam ilmu keislaman dan bahasa Arab, maka Kanjeng Adipati mengganti tugas Syekh Kholil, dari tugas menjaga kantor berubah tugas mengajar keluarga Adipati. Pucuk dicinta ulampun tiba, demikianlah yang dirasa oleh Syekh Kholil, beliaupun memanfaatkan kesempatan itu untuk mengembangkan ilmunya dengan mengajar keluarga bangsawan. Beliaupun telah memiliki profesi baru sebagai pengajar ilmu agama.
Sejak saat itu, Syekh Kholil memiliki tempat yang terhormat di hati Kanjeng Adipati dan keluarga bangsawan lainnya. Mereka mulai menghormati dan mencintai beliau sebagai ulama. Maka tertariklah seorang kerabat Adipati untuk bermenantukan Syekh Kholil, yaitu Raden Ludrapati yang memiliki anak gadis bernama Nyai Assek. Setelah proses pendekatan, maka diputuskanlah sebuah kesepakatan untuk menikahkan Syekh Kholil dengan Nyai Assek. Pernikahanpun berlangsung pada tanggal 30 Rajab 1278 H (+1861 M).
Setelah menikah dengan Nyai Assek, Syekh Kholil mendapatkan hadiah dari sang mertua, Ludrapati, berupa sebidang tanah di desa Jangkibuan. Beliaupun membangun rumah dan pesantren di tanah itu. Beliau mulai menerima santri sambil masih mengajar di keraton Adipati. Tidak ada riwayat tentang sampai kapan Syekh Kholil mengajar di keraton Adipati, namun yang pasti, Pesantren Jangkibuan semakin hari semakin ramai, banyak santri berdatangan dari berbagai penjuru, baik dari sekitar Bangkalan maupun daerah lain di Madura dan Jawa.
Syekh Kholil mengukir prestasi dengan cepat, nama beliau cepat dikenal oleh masyarakat, khususnya masyarakat pesantren, baik di Madura maupun di Jawa. Cepatnya nama beliau terkenal membuat banyak teman mondok beliau tidak percaya. Diantara mereka ada seseorang yang pernah berteman dengan beliau sewaktu mondok di Cangaan, orang ini tidak percaya bahwa Kholil yang ia kenal telah menjadi ulama besar.
Ketika ia mendengar bahwa Syekh Kholil itu adalah Kholil temannya di Cangaan, maka iapun berkata: Masa, sih, dia Kholil yang dulu suka main kelereng dengan saya itu?. Karena penasaran, orang itupun datang ke Bangkalan. Setibanya di bangkalan, orang itu bertanya pada seseorang, mana rumah Syekh Kholil? Orang yang ditanya menunjukkan arah rumah Syekh Kholil, namun ternyata orang Jawa itu justru melihat banyak binatang buas di tempat yang ditunjuk itu. Iapun kembali menemui orang yang ditanya tadi, tapi tetap saja ia menunjuk tempat yang sama. Demikian sampai tiga kali.
Tapi tempat itu bukan rumah, kok, pak. Di situ saya lihat banyak binatang buasnya. Ah, masa? Baiklah, mari saya antar.
Setelah ketiga kalinya, orang Jawa itupun diantar dan begitu tiba di tempat ternyata ia melihat sebuah rumah yang dikerumuni binatang buas, bersamaan dengan itu keluarlah Syekh Kholil dan binatang-binatang itupun langsung pergi. Melihat yang keluar adalah benar-benar Kholil yang ia kenal, maka orang Jawa itupun langsung mencium tangan Syekh Kholil dan meminta maaf. Sejak saat itu, orang Jawa yang dulunya berteman dengan Syekh Kholil di Cangaan itupun kemudian berguru pada Syekh Kholil.

tarekat

Tak Ajarkan Ilmu yang Belum Dikerjakan Pengasuhnya

Di wilayah Kabupaten Bangkalan, Pondok Pesantren (Ponpes) As Sadiliyah merupakan "rujukan" bagi mereka yang mendalami aliran tarekat. Itu karena pengasuhnya adalah ketua Jamiyah Tarekat Al Mubarok Bangkalan.

Bancaran merupakan salah satu kelurahan di wilayah Kecamatan Kota Bangkalan. Lokasinya berada persis di utara Kota Bangkalan. Di salah satu sudut kelurahan dimaksud, berdiri Ponpes As Sadiliyah yang diasuh oleh KH Abd. Wahab Jazuli. Pengasuh ponpes yang satu ini dikenal luas tak mau bersentuhan langsung dengan dunia politik.

Ditilik dari jumlah santri yang menetap, (mukimin), As Sadiliyah tergolong pesantren kecil. Sebab hanya dihuni 22 santri. Yakni 15 laki-laki dan 7 perempuan. Meski begitu, para santri yang mengaji di pondok seluas 3850 m2 ini merupakan santri jempolan. Ini karena mereka betul-betul memiliki niatan yang kuat untuk mendalami ilmu tarekat.

Terkait jumlah santrinya ini, pengasuh Ponpes As Sadiliyah melalui Ketua Yayasan Ponpes As Sadiliyah, H Masduki sempat berkelakar. "Santri yang menetap memang hanya 22 orang. Sedang yang tidak tetap ribuan. Kalau tidak percaya, Anda bisa lihat pada pengajian rutin minggu pagi," ujar H Masduki.

Benar saja, Minggu (19/10) lalu halaman pondok pesantren As Sadiliyah yang berlokasi di sisi barat ruas Jalan Raya Bancaran penuh sesak. Yang hadir pun dari beragam kalangan. Mulai masyarakat awam, tokoh masyarakat, ulama hingga pejabat negara. Ini karena di tengah-tengah jamaah, terlihat Wakil Gubernur Jawa Timur H Soenarjo yang didampingi Bupati Bangkalan RKH Fuad Amin.

Kehadiran mereka di pondok pesantren yang berdiri tahun 1997 ini dalam rangka mengikuti Haul Akbar tokoh tarekat asal Maroko, Syech Ali Hasan Assadily yang ke 620. Kebetulan di Bangkalan, Ketua Jamiyah Tarekat Al Mubarok tak lain adalah pengasuh ponpes As Sadiliyah, KH Abd. Wahab Jazuli.

Dari sisi makna kata, Mubarok berarti ada sambungan atau sanadnya hingga ke Rasullah dan tidak menyimpang. Di Indonesia, jumlahnya hanya 42, dan di Kabupaten Bangkalan hanya ada enam.

Yang cukup menarik, acara yang dihadiri sekitar 3 ribu orang tersebut merupakan yang pertama kalinya digelar. Ini tak karena KH Abd. Wahab Jazuli dianjurkan oleh ketua seluruh ajaran tarekat di Indonesia, Al Habib M. Lutfi Bin Yahya untuk menggelar haul akbar tersebut.

Dalam pengajian rutin mingguan, biasanya dibuka dengan wacana tanya jawab dengan jamaah. Utamanya terkait ibadah dan keseharian yang dirasakan langsung oleh para jamaah.

Kusus santri mukimim, kesehariannya mendapat ilmu dari para ustad yang ditunjuk. Namun tak jarang juga menerima ilmu langsung dari sang pengasuh, KH Abd. Wahab Jazuli.

Setiap harinya, KH Abd. Wahab Jazuli memiliki jadwal mengajar yang cukup padat. Usai salat Subuh membaca wiridan tarekat. Selepas salat Dluhur mengajar ilmu fiqhdan ilmu hadist. Sedang selesai salat Ashyar memberi pelajaran baca kitab Syafiinah. Setelah salat Maghrib mengajar Alquran. Serta, usai salat Isya’ memberi materi pelajaran kitab sullam atau tasawuf.

Selain santri, ponpes As Sadiliyah juga kerap dikunjungi ulama-ulama lokal yang berniat mencari rujukan ke pengasuh. Seperti dalam hal hukum Islam dan penetapan hukum Islam. Sedangkan masyarakat pun juga banyak yang melakukan konsultasi bidang keagamaan, baik yang datang langsung ke pondok maupun lewat telepon.

Sebagai seorang penganut ajaran tarekat yang inti ajarannya ialah jalan menuju kebersihan hati, KH Abd. Wahab Jazuli memiliki keyakinan bahwa apa yang diajarkannya tersebut merupakan pengalaman pribadi alias sudah dijalaninya. "Kalau saya memberi ilmu pada jamaah, berarti ilmu itu pernah saya amalkan. Kalau saya sendiri belum pernah menjalaninya, tidak akan saya sampaikan ke orang lain dan jamaah," tutur KH Abd. Wahab Jazuli.

Pada siapa saja ilmu ini diberikan? "Ilmu ini akan saya berikan pada orang yang tidak membutuhkan dan membutuhkan. Dan yang membutuhkan itu juga ada dua, pada dirinya sendiri dan untuk diberikan pada orang lain," tukas suami Hj Sakiyah ini.

Dari ajaran yang diberikannya pada para santri dan masyarakat yang membutuhkan adalah sikap amanah. Yakni amanah dalam segala bidang utamanya pada Allah SWT

Kamis, 14 Mei 2009

muhammadiyah

Bagi orang Muhammadiyah, nama tokoh Islam, perintis organisasi Muhammadiyah ini tidak akan ada yang belum mengenalnya. Apalagi bagi mereka yang pernah mengenyam pendidikan Muhammadiyah. Di setiap lembaga pendidikan Muhammadiyah diberikan mata pelajaran atau mata kuliah Ke-Muhammadiyahan. Dalam materi mata pelajaran itu di antaranya diperkenalkan pendiri dan pertis Muhammadiyah, yaitu KH.Achmad Dahlan. Selain itu, biasanya di gedung atau kantor amal usaha Muhammadiyah dan bahkan juga di rumah-rumah para pimpinan Muhammadiyah di pasang photo pimpinan organisasi ini. Tidak beda dengan itu, di sekolah-sekolah yang dirintis dan dibina oleh Nahdlatul Ulama’ dipasang gambar KH.Hasyim Asy’ari, tokoh pendiri organisasi Islam ini.
Ada cerita menarik, dari pendidikan yang dikembangkan oleh KH.Achmad Dahlan. Cerita itu menggambarkan bagaimana KH Achmad Dahlan ingin menjadikan pelajaran agama Islam yang diberikan kepada para siswa relevan dengan kehidupan nyata sehari-hari. Dalam cerita itu, KH Achmad Dahlan sedemikian telaten dan tekun memberikan pelajaran kepada para siswanya tentang surat Ma’un. Surat itu diajarkan berbulan-biulan tidak pernah ganti. Setiap Kyai datang ke tempat belajar bagi anak-anak, hanya mengajarkan surat kesenangan Kyai itu, hingga para santri-santrinya pun bosan.
Di mana-mana kiranya sama, apa saja yang diulang-ulang menjadikan para murid bosan. Demikian juga santri-santri Kyai pendiri Muhammadiyah ini, merasakan bosan tatkala pada setiap hari, dalam waktu yang lama hanya diberikan mata pelajaran itu. Sampai-sampai, menurut cerita yang pernah saya dapatkan, apa yang dilakukan oleh Kyai Dahlan itu menjadi bahan mainan para santrinya. Sebelum Kyai datang, para santri menebak apa yang akan diajarkan, yakni surat al Ma’un, dan ternyata betul. Kyai mengajarkan lagi surat al Ma’un itu.
Apa yang dilakukan oleh para santri itu, ternyata pada suatu ketika ditangkap oleh Kyai. Sudah barang tentu Kyai tidak menjadi marah, apalagi menghukumnya. Kyai tidak pernah mengukum para santri yang mengakibatkan para santri meningalkan para gurunya. Mendengar nada bosan yang diungkap oleh santri, tentang bahan yang diajarkan tetap sama----surat al Ma’un, lalu kemudian kyai justru mengajak dialog para santrinya.
Kyai setelah mendengar gejala kebosanan yang dialami oleh para santri, kemudian menanyakan kepada para santri, apakah surat al Ma’un yang dimaksud itu sudah dihafal dan diamalkan. Para santri menjawab, bahwa surat itu telah dihafal dan diamalkan. Para santri menjelaskan bahwa salah satu surat pendek dalam al Qur’an itu telah dijadikan bahan bacaan pada setiap kali sholat. Atas jawaban itu, kyai lalu menjelaskan maksud daripada istilah mengamalkan itu. Yaitu melaksanakan isi pesan surat itu dalam kehidupan sehari-hari.
Selanjutnya, agar jelas maksudnya, dan tidak salah paham lagi, maka Kyai Dahlan mengajak para santrinya agar besuk hari ke sekolah membawa apa saja yang bisa diberikan kepada orang miskin di kota Yogyakarta. Misalnya, uang, pakaian, sembako, dan lain-lain. Selanjutnya, besuk harinya itu juga, tidak sebagaimana sehari-hari santri harus belajar tentang Surat al Ma’un, tetapi dengan barang berharga yang telah dikumpulkan itu, bersama-sama menemui orang miskin, pengemis atau gelandangan di sekitar kota. Kemudian, apa yang dibawa para santri itu diserahkan kepada mereka.
Setelah mengajak para santri membagi-bagikan apa yang telah dikumpulan bersama itu, maka Kyai menjelaskan bahwa itulah sesungguhnya yang dimaksud telah mengamalkan surat al Ma’un tersebut. Istilah mengamalkan bukan saja sebatas memnghafal dan menjadikan surat pendek dalam al Qur’an itu dibaca dalam setiap sholat, melainkan menjadikannya sebagai pedoman dan sekaligus dijalankan dalam kehidupan sehari-hari.
Cerita pendek tentang bagaimana pendiri Muhammadiyah itu mengajarkan para santrinya, rasanya masih sangat relevan dengan tuntutan sekarang ini. Pada saat ini, betapa sudah semakin semarak ayat-ayat al Qur’an dijadikan bahan pelajaran, didiskusikan dan bahkan juga dijadikan bahan kajian di kampus-kampus. Tetapi ternyata, selepas kegiatan itu belum tampak gerakan secara signifikan untuk mengimplementasikan. Misalnya, dalam bentuk pengentasan kemiskinan sebagaimana dilakukan oleh Kyai Aschmad Dahlan tersebut. Memang, boleh-boleh saja ayat al Qur’an dan hadits Nabi dijadikan bahkan diskusi, wacana atau kajian, tetapi lebih dari itu, semestinya harus ditindak lanjuti dengan bentuk pengamalan secara nyata.
Memang Islam itu harus disampaikan kepada siapapun dan selanjutnya agar melahirkan kebahagiaan yang sebenarnya harus diamalkan. Mengajarkannya lewat penjelasan, perintah, pesan-pesan memang penting. Tetapi agar lebih efektif hal itu memang harus diajarkan melalui uswah hasanah. Islam tidak cukup dijadikan bahan ceramah, diskusi atau apa saja namanya, tetapi harus diamalkan. Apa yang dicontohkan oleh Kyai Dahlan tatkala mengajarkan Surat al Ma’un, yakni sebuah surat pendek dalam juz terakhir dari al Qur’an., rasanya masih sangat relevan, yakni mengajarkan lewat cont

jiwa besar

Bukti-bukti bahwa Islam mengajarkan agar umatnya berpikir dan berjiwa besar sesungguhnya bisa dilihat dari berbagai aspek, baik dari doktrin yang bersumber dari ajaran Islam, yakni al QAur’an, sejarah kehidupoan rasul maupun sejarah hidup para pemimpin dan umatnya, termasuk juga dari bacaan-bacaan spiritualnya.

Seseorang disebut sebagai telah berjiwa dan berpikir besar manakala yang bersangkutan pada aktivitasnya tidak saja diorientasikan untuk kepentingan diri sendiri melainkan juga untuk pihak-pihak lain, dan tidak saja untuk mereka yang disini malainkan untuk yang di sana, serta bukan saja untuk mereka yang hidup sekarang, melainkan juga yang hidup pada masa yang akan datang.

Melalui al Qur’an, Islam berbicara tentang keselamatan, keadilan, kedamaian, kemenangan, kebahagiaan baik di dunia maupun di akherat. Seseorang dipandang sudah masuk menjadi muslim, tatkala yang bersangkutan telah bersedia melakukan kesaksian terhadap dua hal, yaitu kesaksian atau bersyahadah terhadap Ke-Maha Esa-an Allah dan kesaksian bahwa Muhammad adalah Rasul Nya. Sebagai konsekuensi dari kesaksiannya itu, maka yang bersangkutan telah mengakui atas kebenaran apa yang diucapkan itu, tanpa ragu sedikit pun.

Kekuatan syahadah itu mestinya mampu menjadikan seseorang memulai berpikir dan berjiwa besar. Dengan bersyahadah seseorang mengenal Dzat Yang Maha Agung, Maha Pengasih dan Penyayang, Maha Adil, Maha Mulia dan seterusnya. Kesaksiannya itu semestinya melahirkan pandangan besar dan luas tentang dunia ini. Dengan bersyahadah, seseorang telah mengenal siapa sesungguhnya pencipta dirinya, serta berbagai macam sifat mulia yang disandang oleh Sang Maha Pencipta itu. Selain Dzat Yang Maha Pencipta, maka seluruh jagad raya dan seisinya adalah makhluk, termasuk dirinya. Semua makhluk adalah berkedudukan sama, kecuali manusia yang telah dimuliakan oleh-Nya. Kemuliaan itu tetap diberikan karena keimanan, akhlak dan amal sholehnya.

Pandangan seperti ini, membawa pikiran dan jiwa pemeluk Islam menjadi besar. Kebesaran pikiran dan jiwa itu semestinya tidak boleh berkurang, apalagi hilang oleh hal-hal yang sederhana sifatnya. Pandangan Islam seperti itu, dalam sejarah telah melahirkan manusia-manusia besar yang mampu menggerakkan dunia. Manusia-manusia yang telah meraih pikiran dan jiwa besar yang tumbuh karena ajaran Islam, ada dan hidup di mana-mana dan berkarya atau beramal sholeh di berbagai bidang kehidupan.

Dengan Islam, manusia diharapkan menjadi abdun sekaligus khalifah di muka bumi. Manusia boleh menjadi abdi, tetapi hanya terhadap Allah swt. Kaum muslimin tidak boleh mengabdi kepada selain kepada Allah. Ketaatan dan loyalitas dalam sebuah komunitas, bukan ditujukan kepada orang yang kebetulan menjadi pemimpinnya, melainkan terhadap komitmen sebagai bagian bentuk dari pengabdiannya terhadap Tuhan. Sebagai khalifah, manusia dalam konsep Islam, adalah pihak yang mendapatkan amanah untuk mengatur dan memakmurkan bumi. Mengikuti konsep ini, posisi manusia adalah sangat mulia, melebihi posisi makhluk lain manapun.

Namun aneh, di hadapan umat lainnya, selama ini kaum muslimin masih belum menemukan kemuliaannya itu. Dalam berbagai bidang kehidupan, baik politik, ekonomi, social dan juga ilmu pengetahuan, masih kalah dan bahkan tertinggal dari umat lainnya. Kekalahan itu bukan karena mereka memeluk Islam, melainkan disebabkan karena dalam memahami dan memposisikan Islam, tampak kurang sempurna. Dalam sejarahnya Islam pernah mengalami kejayaan, sejak kepemimpinan Rasulullah saat itu. Rasulullah pernah membangun masyarakat yang benar-benar damai. Masyarakat itu dibangun di atas sendi tauhid, kejujuran, keadilan kesetaraan, memuliakan orang-orang berilmu dan beriman, beramal sholeh dan berakhkul karimah. Sebaliknya, bukan menindas dan menganiaya, melainkan sebaliknya justru menolong, dan memberdayakan terhadap siapapun baik terkait kehidupan social, ekonomi maupun ilmu pengetahuan.

Tidak pernah habis berbicara tentang keindahan Islam sebagai konsep kehidupan manusia baik secara individu maupun bermasyarakat. Terkait dengan perbincangan Islam dan kaitannya membangun pikiran dan jiwa besar, dalam artikel pendek ini, saya hanya ingin mengajak pembaca membayangkan bagaimana dalam kegiatan ritual sekalipun, Islam mengajak umatnya berpikir dan berjiwa besar itu.

Kegiatan ritual yang bersifat rutin dan harus dilakukan oleh kaum muslimin, berisi kalimat atau kata tentang kebesaran, kesucian, puji-pujian, kasih sayang, jalan lurus, hari akhir, dan sejarah kemanusiaan. Berapa kali sehari semalam, kaum muslimin diwajibkan untuk mengucapkan kalimah Allahu akbar, subhanallah, alhamdulillah dan kalimat-kalimat lain yang mulia. Kalimat-kalimat yang harus diucapkan dari waktu ke waktu, dari hari-ke hari selamanya tanpa putus, sepanjang waktu, memberikan kesadaran dan training tentang sifat-sifat itu yang seharusnya kemudian dimiliki dan bahkan merasuk dalam relung-relung pribadi kaum muslimin.

Di pagi buta, kaum muslimin sejak saat bangun tidur, dibiasakan mendengar kalimah suci itu, melalui adzan dan iqomah, bacaan-bacaan mulia di dalam sholat, semuanya itu, jika dilihat dari perspektif pendidikan atau tarbiyah, merupakan cara Islam menjadikan umatnya menyandang pribadi yang mulia, yakni di antaranya berpikir dan berjiwa besar itu. Hanya kemudian, pertanyaannya adalah benarkah seluruh kaum muslimin, telah memahami dan menyadari bahwa kegiatan ritual dengan mengucap kalimah-kalimah mulia itu, sesungguhnya adalah sebagai bagian dari proses menjadikan dirinya meraih kemuliaan itu. Atau, kegiatan ritual itu hanya dipandang dan dirasakan sebagai beban, karena semua yang dilakukan bukan untuk kesempurnaan dirinya, yakni sebagai abdun dan sekaligus sebagai khalifah, melainkan untuk selainnya itu.

Selama ini, saya belum pernah menemukan suatu ajaran yang sedemikian sempurna, selain Islam. Ajaran yang jika dikaji secara mendalam baik melalui kitab suci al Qur’an maupun tauladan kehidupan rasulullah, sungguh benar mengantarkan pemeluknya menjadi selamat. Keselamatan itu diraih karena yang bersangkutan menyandang keyakinan yang kokoh, atau keimanan, berpegang pada Islam dan ikhsan. Berangkat dari konsep itu kemudian melahirkan amal sholeh dan akhlakul karimah sebagai dasar dalam membangun masyarakat yang dihiasi oleh pikiran-pikiran dan jiwa besar. Agar menjadi lebih jelas, bandingkan dengan berbagai ajaran yang berseliweran di dunia ini, yang semuanya itu hanya memperbincangkan tentang perebutan ekonomi dan kekuasaan yang tidak pernah mengenal henti. Ekonomi dan kekuasaan bagi Islam, dipandang penting. Tetapi dua hal itu bukan untuk diperebutkan melainkan untuk kemaslahatan dan kebaikan bagi seluruh umat manusia. Konsep rahmatan lil alamien, yakni kesediaan menebarkan sifat kasih sayang kepada semua, ------termasuk ekonomi dan kekuasaan, adalah menggambarkan adanya pikiran dan jiwa besar it

etos kerja

Dalam abstraksi disertasinya, Guru MAN Salatiga, Drs. Badaruddin, M. Ag. (58 tahun) menyatakan, setiap agama mengajarkan umat manusia untuk selalu bekerja dengan etos kerja yang tinggi. Etos kerja merupakan mekanisme yang bersifat batin, yang akan menggerakkan ruh untuk rela bekerja keras dan pantang menyerah bersumber pada keimanan. Tanpa pencerahan iman, etos kerja akan mendorong manusia pada perbuatan-perbuatan yang berlawanan dengan moralitas. Orang-orang Protestan misalnya, memiliki etos kerja yang bersumber pada etika Protestan, yang menganggap kerja adalah panggilan suci. Etika Protestan terbukti bisa memberikan spirit bagi orang-orang Protestan untuk selalu bekerja keras, melakukan inovasi-inovasi sebagai upaya pencapaian kemakmuran hidup dan kesejahteraan spiritual. Etika Protestan merupakan hasil penelitian yang dilakukan Max Weber terhadap sekelompok penganut sekte Protestan Calvinist. Hasil penelitian Max Weber dibukukan dalam bukunya yang berjudul ”The Protestant Ethic and The Spirit Capitalsim” Berpijak pada hasil penelitian Max Weber, salah satu penelitian terhadap sekelompok masyarakat di Jerman menunjukkan bahwa, tokoh bisnis modern, , pemilik modal, para karyawan perusahaan yang memiliki keahlian tinggi, para staf terdidik yang memiliki keahlian profesional, baik di bidang teknis maupun komersial dalam sampel penelitia tersebut sebagian besar adalah orang-orang protestan.
Sementara, realitas dalam perkembangan peradaban dunia menunjukkan bahwa masih banyak umat Islam di belahan dunia yang dianggap sebagai umat yang lemah dalam kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Padahal Islam juga memiliki falsafah hidup terkait dengan kerja yang bersumber dari al Qur’an, yakni : Bekerja bertujuan meraih ridha Allah SWT (inilah yang disebut etos kerja muslim). Berpijak pada realita tersebut, Badaruddin mengangkat permasalahan mengapa masih banyak umat Islam yang dalam realitas kehidupannya terlihat menyerah pada takdir (lepas dari upaya-upaya melakukan kerja keras dan berinovasi)? Permasalahan itu diangkat dalam disertasinya, dengan melakukan penelitian terhadap para wirausahawan muslim cor logam yang ada di wilayah kecamatan Batur, Kabupaten. Klaten. Hasil penelitian disertasi untuk memperoleh gelar Doktor Bidang Ilmu Agama Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga yang berjudul ”Etos Kerja Wirausahawan Muslim di Batur Klaten” dipresentasikan, Senin, 4 April kemarin di ruang promosi kampus setempat.
Hasil Penelitian putra kelahiran Wonogiri ini dipresentasikan di hadapan Promotor : Prof. Dr. H. Musya asy’arie da Prof. Dr. H. Djam’annuri, MA., serta tim penguji : Dr. Munrochim Misanam, M. Ec., Ph.D., Dr. Ahmad Janan Asifuddin, MA., Prof. Dr. H. Syamsul Anwar, MA., Prof. Dr. H. Nasrudin Harahap, SU. Sidang promosi dipimpin Prof. Dr. H.M. Amin Abdullah, dengan sekretaris Dr. H. Sukamto, MA.
Menurut promovendus, dari hasil penelitiannya dengan metode kualitatif dan pendekatan antropologi agama, terhadap 325 pengusaha cor logam di Batur yang mempekerjakan tidak kurang dari 3.187 pekerja, bisa digeneralisasikan bahwa masih banyak umat Islam yang memahami ibadah terbatas pada ibadah mahdah. Mereka berkecenderungan memisahkan antara kewajiban ibadah dengan kerja. Ibadah menurut mereka sebatas pada salat, zakat, puasa dan haji, tidak termasuk bekerja. Pemahaman seperti ini, kata promovendus, akan membentuk etos kerja umat Islam menjadi rendah dan keadaan jiwa yang pasrah pada takdir. Etos kerja umat Islam (dilihat dari etos kerja para wirausahawan) yang memahami ibadah dalam arti sempit ini berpengaruh negatif terhadap kultur kerja. Akibatnya perusahaan mereka juga sangat sulit untuk berkembang.
Sementara mereka yang memahami makna bahwa bekerja adalah suatu perjuangan untuk meraih ridha Allah SWT, akan tercermin juga pada etos kerja mereka yang bisa menyatukan makna ”manusia sebagai khalifah” di bumi yang harus berjuang untuk memakmurkan bumi dan seisinya, dengan makna ”manusia sebagai ’Abd” yang harus tunduk - patuh kepada pencipta-Nya melalui bekerja dan berfikir.
Umat Islam yang bisa memaknai ibadah dalam arti luas inilah yang ternyata juga memiliki etos kerja yang tinggi, mampu bekerja keras pantang menyerah, penuh tanggungjawab, giat belajar sehingga memiliki kecerdasan yang lebih, bisa melahirkan inovasi-inovasi baru, mampu mensinergikan antara daya pikir dan dzikir untuk mengekplorasi alam. Etos kerja yang berdasarkan keimanan dan pemahaman agama secara holistik proporsional ini pula yang ternyata bisa semakin memajukan perusahaan-perusahaan dimana mereka berkecimpung.
Paparan di atas bermakna bahwa al Qur’an sebagai pedoman hidup umat Islam hendaknya tidak hanya dilafalkan dan dimengerti maknanya, tetapi juga harus menjadi spirit dan sumber inspirasi ilmiah dalam mengeksplorasi bumi dan seisinya untuk meraih kemakmuran lahiriah dan kesejahteraan ruhaniah, demikian jelas promovendus. Oleh tim penguji Drs. Badaruddin, M. Ag., dinyatakan lulus dengan predikat ”Memuaskan” dan dirinya merupakan Doktor ke-221 yang telah berhasil diluluskan Program Pascasarjana UIN Sunan K

gender

hmad Badaowi, S.Ag., M.si. (40 tahun), mengatakan dewasa ini kaum feminis muslim giat melakukan perjuangan kesetaraan gender melalui rekonstruksi penafsiran al-Qur’an dan menumbuhkannya dalam konteks kekinian. Bagi feminis muslim, al-Qur’an sejak dini, sesungguhnya sudah mengapresiasi kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Namun pembacaan (penafsiran) yang dikembangkan oleh para mufassir konserfatif dinilai oleh para feminis muslim hanya dilakukan secara literal dan cenderung memperkuat peneguhan pemahaman yang bervisi patriarki. Dengan mengawinkan kajian hermeneutik al-Qur’an dan feminisme, para feminis muslim berhasil mengubah persepsi tentang perempuan yang sangat berbeda secara diametral dari pemahaman para mufasir konserfatif tentang perempuan. Amina Wadud dan Nasr Hamid Abu Zaid adalah salah satu pejuang feminis muslim yang melakukan penafsiran ulang al-Qur’an terkait tentang kesetaraan gender.
Hal tersebut disampaikan oleh Dosen Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga saat mempresentasikan disertasinya untuk memperoleh gelar doktor dalam bidang Ilmu Agama Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Jumat,17 April 2009 di Ruang Promosi kampus setempat. Disertasi yang berjudul “Tafsir Feminis (Studi Pemikiran Amina Wadud dan Nasr Hamid Abu Zaid)” dipertahankan dihadapan promotor Prof. Dr. H. Khoiruddin Nasution, M.A. dan Dr. Phil H.M Nur Kholis Setiawan, M.A., dengan Tim Penguji: Dr. Siti Syamsiyatun, M.A., Prof. Dr. Hj. Chamamah Soeratno, Dr. Hamim Ilyas, M.A., Dr. Phil Sahiron Syamsuddin, M.A. Sidang promosi dipimpin oleh Prof. Dr. H.M. Amin Abdullah dan Dr. H. Sukamta, M.A.
Menurut Ahmad Baidowi disertasinya ini bermaksud menguraikan gagasan Amina Wadud dan Nasr Hamid Abu Zaid dengan menggunakan pendekatan filosofis hermeneutis untuk mengungkap asumsi-asumsi filosofis mengenai penafsiran feminis. Dari analisis disertasinya, promovendus mengungkap bahwa kedua tokoh feminis muslim ini memahami tafsir bukan sebagai tindakan menjelaskan teks-teks al-Qur’an secara aktual sebagaimana yang lazim dilakukan para penafsir tradisional. Keduanya memahami penafsiran sebagai upaya mengaitkan teks al-Qur’an dengan problem realitas kontemporer dalam rangka menemukan solusi yang Qur’ani atas berbagai problem masyarakat saat ini, terutama yang sangat menyudutkan eksistensi wanita.
Dari pemahaman terhadap pemikiran Amina Wadud dan Nasr Hamid Abu Zaid, Ahmad Baidowi berpendapat bahwa untuk membangun pemahaman al-Qur’an yang berkeadilan gender hendaknya disepakati prinsip depatriarkalisasi (membuang pemahaman yang bersifat patriarkhis dan membangun penafsiran yang adil), prinsip pembebasan perempuan serta prinsip empati terhadap pengalaman perempuan. Dari prinsip ini kata Baidowi, pemikiran Amina Wadud dan Nasr Hamid Abu Zaid mengenai feminis, dalam batas tertentu memang relevan dengan gagasan penegakan hak asasi manusia dan sejalan dengan kritik terhadap ideologi patriarkhi. Namun gagasan baru kedua tokoh ini perlu juga dikritisi sehingga terbentuk pemikiran-pemikiran yang benar-benar adil antara eksistensi laki-laki dan perempuan. Karena animo Wadud dalam penafsirannya, diliputi kecurigaan berat yang menganggap penafsiran-penafsiran al-Qur’an yang bias gender dilakukan oleh mufasir laki-laki sehingga penafsiran yang dibangun pun bernuansa kelaki-lakian, menempatkan kaum laki-laki sebagai superior dan sebaliknya perempuan sebagai imperior. Laki-laki menjadi diri (the self), sedangkan perempuan menjadi liyan (the other). Untuk mengatasi penafsiran yang dinilai patriarki, Anima Wadud menawarkan gagasan perlunya suara perempuan untuk menafsirkan al-Qur’an. Pemikiran Anima Wadud ini, menurut promovendus dikelompokkan dalam pemikiran yang subyektif ideoligis. Sementara Nasr Hamid Abu Zaid justru mengkhawatirkan terjadinya talwin, bila dalam penafsiran nilai-nilai feminis dalam al-Qur’an menekankan perlunya melibatkan pengalaman perempuan. Karena bisa saja apa yang dianggap pengalaman perempuan tidak dipahami oleh laki-laki bahkan tidak bisa ditranfer ke dalam pemikiran laki-laki, sehingga laki-laki juga tidak mampu berempati terhadap apa yang dialami perempuan berupa ketidakadilan, penindasan, marginalisasi, dan sebagainya. Abu Zaid menegaskan , sesungguhnya problem perempuan bukanlah problem perempuan an sich, namun problem sosial kemanusian yang tidak bisa dipisahkan dari problem laki-laki juga. Pembebasan perempuan oleh karenanya tidak terpisahkan dari pembebasan laki-laki secara menyeluruh. Menurut promovendus pemikiran Abu Zaid seperti ini dikelompokkan ke dalam pemikiran kritis-obyektif. Terlepas dari perbedaan dan persamaan pemikiran kedua tokoh ini, kajian-kajiannya telah memunculkan madzhab baru dalam penafsiran al-Qur’an yang menjadi salah satu alternatif bagi perjuangan kesetaraan gender di kalangan umat Islam. Namun tentunya masih perlu ujian-ujian lebih lanjut mengenai penerapannya. Mengingat situasi dan kondisi masyarakat kontemporer yang sangat beragam dan memerlukan penafsiran-penafsiran yang komprehensif, sehingga benar-benar mengayomi rasa keadilan gender kedua belah pihak (laki-laki dan perempuan), jelas Baidowi.
Oleh Tim Penguji, Ayah 1 putra dari Istri Yuni Ma’rufaf, S. Ag, MA., ini dinyatakan lulus dengan predikat ‘cumlaude’ dan merupakan Dok

sufi qodiri

Ainul Gani, S. Ag., SH., M. Ag. (36 tahun) mengatakan, ajaran tasawuf Syaikh ’Abd. al-Qadir al-Jailani sampai saat ini masih berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat Indonesia. Selain masih diajarkan dan dikembangkan di Pondok-pondok Pesantren (Ponpes Suryalaya di Tasikmalaya, Ponpes Mranggen di Semarang, Ponpes Rejoso dan Ponpes Tebu Ireng di Jombang, Ponpes Pagentongan di Bogor), banyak juga masyarakat menjadikan ajaran tasawuf al-Jailani sebagai tradisi keagamaan. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya kelompok kelompok tarekat Qadiriyyah wa Naqsabandiyyah, kelompok-kelompok tausiyah, kelompok-kelompok khataman, dzikir bersama dan sebagainya. Dalam moment-moment tertentu pemerintah juga sering menggandeng para ulama dan masyarakat untuk mengadakan dzikir bersama atau istighasah berjamaah yang bertujuan untuk menyelamatkan bangsa dan negara dari krisis dan bencana.
Dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Raden Intan Bandar Lampung ini menyampaikan saat mempertahankan disertasinya untuk untuk memperoleh gelar Doktor bidang Ilmu Agama Program Pascasarjana UIN Sunan kalijaga, di ruang Promosi Doktor kampus setempat, Jum’at, 1 Mei 2009. Disertasinya yang berjudul ”Ajaran Tasawuf Syaikh ”Abd. al-Qadir al-Jailani (470-561 H/1077-1166 M)” dipresentasikan di hadapan Promotor Prof. Dr. H. Djam’annuri, MA., dan Dr. Syaifan Nur, MA., serta Tim Penguji antara lain : Prof. Dr. H. Agussalim Sitompul, Prof. Dr. H. Djoko Suryo, Dra. Syafa’atun al-Mirzanah, MA., Ph.D., Dr. Sekar Ayu Aryani, MA. Sidang Promosi dipimpin Prof. Dr. H.M. Amin Abdullah, dengan sekretaris Dr. H. Sukamto, MA. Menurut Gani, dari penelitian disertasinya melalui studi kepustakaan (Library Risearch) yang mengambil teknik analisa isi (Content analaysis), menunjukkan bahwa praktek-praktek tarekat yang bersifat massif, diikuti secara berjamaah dan terstruktur/terorganisasi dengan baik, ternyata sesuai dengan ajaran al-Jailani. Karena sebelum al-Jailani, spiritualitas Islam masih bersifat individual dan belum terstruktur.
Menurut promovendus, secara historis, di kalangan kaum sufi, Syaikh ’Abd. Al-Qadir al-Jailani memang diakui sebagai sosok yang menempati hirarki mistik tertinggi (al-Ghawts al-A’zham) yang menduduki tingkap kewalian tertinggi. Karena masuknya Islam di Indonesia ditengarai disebarkan oleh para sufi yang berfaham tasawuf Syaikh ’Abd. Al-Qadir al-Jailani yakni tarekat Qadiriyyah. Al-Jailani juga dianggap memiliki garis keturunan yang dekat dengan Nabi Muhammad SAW. Kata Gani, hakekat tasawuf yang diajarkan al-Jailani berpuncak pada ajaran ma’rifatullah. Untuk menuju pada tataran ma’rifatullah setiap orang harus berupaya menjadi ahli ibadah, ahli dzikir, ahli riadlah, ahli mujahadah. Sementara prosesnya melalui fase-fase magamat dan ahwal, taubat, zuhud, tawakal, syukur, ridha, shidiq, wara dan istiqamah. Sementara itu, terdapat empat dimensi dalam ma’rifatullah versi al-Jailani yakni: Memperteguh keimanan (tauhid), melaksanakan syari’at Islam dengan baik, melaksanakan thareqat dengan lurus dan bersih, serta selalu mengkaji hakekat dari setiap pelaksanaan syari’at Islam. Corak ajaran tasawuf al-Jailani bertumpu pada aliran Ghazalian (sunni), dilihat dari konsep spiritualitas yang berpuncak pada tataran ma’rifatullah, yakni pendekatan diri kepada Allah SWT, tanpa harus merasa menjadi satu dengan-Nya/tanpa diikuti penyatuan dengan-Nya, tetapi selalu melakukan upaya-upaya yang memadukan ilmu dan amal.
Mengapa ajaran al-jailani diminati dan masih sangat berpengaruh di kalangan masyarakat modern? Menurut putra kelahiran Lampung ini, di satu sisi ajaran tasawuf al-Jailani yang berfaham fatalisme seperti taubat, zuhud, tawakal, syukur, ridha, shidiq, wara, dan istiqamah bisa menjadi obat bagi masyarakat yang mengalami kegersangan batin akibat kesenangan hedonisme yang tanpa batas. Di sisi lain, al-Jailani mengembangkan ajaran neo-sufisme yang mempertautkan antara syari’ah dengan tasawuf dan memberi kemudahan kepada masyarakat dalam menyelaminya. Al-Jailani juga memberi ruang gerak bagi individu dan masyarakat untuk senantiasa aktif, kreatif, selalu melakukan andil usaha, melakukan perbuatan-perbuatan produktif-dinamis untuk kepentingan duniawi dan tanggungjawab sosial.
Minat dan pengaruh ajaran tasawuf Syaikh Abd. Al-Qadir al-Jailani ini menunjukkan perkembangan yang cukup meningkat, bila dilihat dari banyaknya penyebaran karya-karya tertemahan al-Jailani dari para penerbit di negeri ini yang selalu best seller dan mengalami cetak ulang. Disamping itu semakin banyak kelompok-kelompok masyarakat yang mengembangkan langkah-langkah ajarannya dengan membentuk gerakan organisasi dzikir (tarekat) secara sistematis dan komprehensif. Malihat fenomena ini, promovendus berharap, hendaknya ajaran al-Jailani tidak mengalami pemaknaan yang sempit dalam fungsinya. Maksud Gani, memahami kitab-kitab asli Syaikh ’Abd. Al-Qadir al-Jailani berarti memahami ajaran tasawufnya dan mengambil suri tauladan sosok al-Jailani, kemudian menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Bukan menjadikannya hanya sebagai alat rutinitas ritual keagamaan dengan segala implikasinya seperti pemujaan wali dan pengkultusan individu, yang justru akan membatasi kerinduan kita kepada Rusulullah dan Sang Khaliq, Jelas Gani.
Oleh Tim Penguji, promovendus dinyatakan lulus dengan predikat ‘sangat memuaskan’ dan merupakan Doktor Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga ke-220

Sabtu, 28 Maret 2009

KH achmad sidiq 2

KH. Achmad Shiddiq yang nama kecilnya Achmad Muhammad Hasan, lahir di Jember pada hari Ahad Legi 10 Rajab 1344 (tanggal 24 Januari 1926). Beliau adalah putra bungsu Kyai Shiddiq dari lbu Nyai H. Zaqiah (Nyai Maryam) binti KH. Yusuf

Achmad ditinggal abahnya dalam usia � 8 tahun. Dan sebelumnya pada usia � 4 tahun, Achmad sudah ditinggal ibu kandungnya yang wafat ditengah perjalanan di laut, ketika pulang dari menunaikan ibadah haji. Jadi, sejak usia anak-anak, Kyai Achmad sudah yatim piatu. Karena itu, Kyai Mahfudz Shiddiq kebagian tugas mengasuh Achmad, sedangkan Kyai Halim Shiddiq mengasuh Abdullah yang masih berumur � 10 tahun. Ada yang menduga, bahwa bila Achmad terkesan banyak mewarisi sifat dan gaya berfikir kakaknya (Kyai Mahfudz Shiddiq). Kyai Achmad memiliki watak sabar, tenang dan sangat cerdas. Wawasan berfilkirmya amat luas baik dalam ilmu agama maupun pengetahuan umum.

Kyai Achmad belajar mengajinya mula-mula kepada Abahnya sendiri, Kyai Shiddiq. Kyai Shiddiq sebagaimana uraian-uraian sebelumnya, dalam mendidik terkenal sangat ketat (strength) terutama dalam hal sholat. Beliau wajibkan semua putra-putranya sholat berjama'ah 5 waktu. Selain mengaji pada abahnya, Kyai Achmad juga banyak menimba ilmu dari Kyai Machfudz, banyak kitab kuning yang diajarkan oleh kakaknya,

Sebagaimana lazimnya putra kyai, lebih suka bila anaknya dikirim untuk ngaji pada kyai-kyai lain yang masyhur kemampuannya. Kyai Mahfudzpun mengirim Kyai Achmad menimba i1mu. di Tebuireng. Semasa di Tebuireng, Kyai Hasyim melihat potensi kecerdasan pada Achmad, sehingga, kamarnya pun dikhususkan oleh Kyai Hasyim. Achmad dan beberapa putra-putra kyai dikumpulkan dalam satu. kamar. Pertimbangan tersebut bisa dimaklumi, karena para putra kyai (dipanggil Gus atau lora atau Non) adalah putra mahkota yang akan meneruskan pengabdian ayahnya di pesantren, sehingga pengawasan, pengajaran dan pembinaannyapun cenderung dilakukan secara, khusus/lain dari santri urnumnya.

Pribadinya yang tenang itu. menjadikan Kyai Achmad disegani ol eh teman-temannya. Gaya bicaranya yang khas dan memikat sehingga dalam setiap khitobah, banyak santri yang mengaguminya. Selain itu, Kyai Achmad juga seorang kutu buku/ kutu kitab (senang baca). Di pondok Tebuireng itu pula, Kyai Achmad berkawan dengan Kyai Muchith Muzadi. Yang kemudian hari menjadi mitra diskusinva dalam merumuskan konsep-konsep strategis, khususnya menyangkut ke-NU-an, seperti buku Khittah Nandliyah, Fikroh Nandliyah, dan sebagainya.

Kecerdasan dan kepiaNvaiannya berpidato, menjadikan Kyai Achmad sangat dekat hubungannya dengan Kyai Wahid Hasyim.

Kyai Wahid telah membinbing Kyai Achmad dalam Madrasah Nidzomiyah. Perhatian Gus Wahid pada. Achmad sangat besar. Gus Wahid juga mengajar ketrampilan mengetik dan membimbing pembuatan konsep-konsep.

Bahkan ketika Kyai Wahid Hasyim memegang jabatan ketua. MIAI, ketua NU dan Menteri Agama, Kyai Achmad juga yang dipercaya sebagai sekretaris pribadinya. Bagi Kyai Achmad Shiddiq, tidak hanya ilmu KH. Hasyim Asy'ari yang diterima, tetapi juga ilmu dan bimbingan Kyai Wachid Hasyim direnung�kannya secara mendalam. Suatu pengalaman yang sangat langka, bagi seorang santri.

B. KETOKOHAN KYAI AHMAD
Ketokohan Kyai Achmad terbaca masyarakat sejak menyelesaikan belajar di pondok di Tebuireng, Kyai Achmad Shiddiq muda mulai aktiv di GPII (Gabungan Pemuda Islam Indonesia) Jember. Karirnya di GPII melejit sampai di kepengurusan tingkat Jawa Timur, dan pada Pemilu 1955, Kyai Achmad terpilih sebagai anggota DPR Daerah sementara di Jember.

Perjuangan Kyai Achmad dalam mempertahankan kemerde�kaan '45 dimulai dengan jabatannya sebagai Badan Executive Pemerintah Jember, bersama A Latif Pane (PNI), P. Siahaan. (PBI) dan Nazarudin Lathif (Masyumi). Pada saat itu, bupati dijabat oleh "Soedarman, Patihnya R Soenarto dan Noto Hadinegoro sebagai sekretaris Bupati.

Selain itu, Kyai Achmad juga berjuang di pasukan Mujahidin (PPPR) pada tahun 1947. Saat itu Belanda. melakukan Agresi Militer yang pertama. Belanda merasa kesulitan membasmi PPPR, karena anggotanya adalah para Kyai. Agresi tersebut kemudian menimbulkan kecaman internasional terhadap Belanda sehingga muncullah Perundingan Renville. Renville memutuskan sebagai berikut:

1. Mengakui daerah-daerah berdasar perjanjian Linggarjati
2. Ditambah daerah-daerah yang diduduki Belanda lewatAgresi harus diakui Indonesia.

Sebagai konsekwensinya perjanjian Renville, maka pejuang�-pejuang di daerah kantong (termasuk Jember) harus hijrah. Para pejuang dari Jember kebanyakan mengungsi ke Tulung Agung. Di sanalah Kyai Achmad mempersiapkan pelarian bagi para pejuang yang mengungsi tersebut.

Pengabdiannya di pemerintahan dimulai sebagai kepala KUA (Kantor Urusan Agama) di Situbondo. Saat itu di departemen Agama dikuasai oleh tokoh-tokoh NU. Menteri Agama adalah KH. Wahid Hasyim (NU). Dan karirnya di pemerintahan melonjak cepat. Dalam waktu singkat, Kyai Achmad Shiddiq menjabat sebagai kepala, kantor Wilayah Departemen Agama di Jawa Timur.

Di NU sendiri, karir Kyai Achmad bermula di Jember. Tak berapa lama, Kyai Achmad sudah aktiv di kepengurusan tingkat wilayah Jawa Timur, sehingga di NU saat itu ada 2 bani Shiddiq yaitu: Kyai Achmad dan Kyai Abdullah (kakaknya). Bahkan pada Konferensi NU wilayah berikutnya, pasangan kakak beradik tersebut dikesankan saling bersaaing dan selanjutnya Kyai Achmad Shiddiq muncul sebagai ketua wilayah NU Jawa Timur

Tetapi Kyai Achmad merasa tidak puas dengan kiprahnya selama ini. Panggilan suci untuk mengasuh pesantren (tinggalan Kyai Shiddiq) menuntut kedua Shiddiq tersebut mengadakan komitmen bersama. Keputusannya adalah Kyai Abdullah Shiddiq lebih menekuni pengabdian di NU Jawa Timur, sedangkan Kyai Achmad Shiddiq mengasuh pondok pesantrennya,

Kyai Achmad Shiddiq termasuk ulama yang berpandangan moderat dan unik sebagai tokoh NU dan kyai, ia tidak hanya alim tetapi juga memiliki apresiasi seni yang mengagumkan. Beliau tidak hanya menyukai suara Ummi Kultsum, bahkan juga suka suara musik Rock seperti dilantunkan Michael Jackson. "Manusia itu memiliki rasa keindahan, dan seni sebagai salah-satu jenis kegiatan manusia tidak dapat dilepaskan dari pengaturan dan penilaian agama (Islam). Oleh karena itu, apresiasi seni hendaknya ditingkatkan mutunya. "Apresiasi seni itu harus diutamakan mutu dari seni yang hanya mengandung keindahan menuju seni yang mengandung kesempurnaan, lalu menuju seni yang mengandung keagungan.Selanjutnya Kyai Achmad memberikan penjelasan sebagai berikut, Seni itu sebaiknya :

1 . Ada seni yang diutamakan seperti sastra dan kaligrafi.
2. Ada seni yang dianjurkan seperti irama lagu dan seni suara.
3. Ada seni yang dibatasi seperti seni tari.
4. Ada seni yang dihindari seperti pemahatan patung dan seni yang merangsang nafsu

Dalam memberikan nama untuk anak-anak-nya, Kyai Achmad senantiasa mengkaitkan calon nama yang bernuansa seni dengan pengabdian atau peristiwa-penstiwa penting. Seperti kelahiran putranya yang lahir bersamaan dengan karimya sebagai anggota DPR Gotong-Royong, yaitu Mohammad Balya Firjaun Barlaman, demikian juga Ken Ismi Asiati Afrik Rozana, lahir bertepatan dengan konferensi Asia Afrika.

Kyai Achmad menikah dengan Nyai H. Sholihah binti Kyai Mujib pada tanggal 23 Juni 1947, dan dikaruniai 5 orang anak, yaitu:
1. KH. Mohammad Farid Wajdi (Jember)
2. Drs. H. Mohammad Rafiq Azmi (Jember)
3. Hj. Fatati Nuriana (istri Mohammad Jufri Pegawai PEMDA Jember).
4. Mohammad Anis Fuaidi (wafat kecil), clan
5. KH. Farich Fauzi (pengasuh pondok pesantren Al-Ishlah Kediri).

Nyai Sholihah tidak berumur panjang, Allah memanggilnya ketika putra-putrinya masih kecil. Sehingga keempat anaknya itu di asuh oleh Nyai Hj. Nihayah (adik kandung ketiga Nyai Sholihah). Melihat eratnya hubungan anak-anak dengan bibinya, maka Nyai Zulaikho (kakaknya) kemudian mendesak Kyai Achmad agar melamar Nihayah. Dan Kyai Mujib pun menerima lamaran tersebut. Pernikahan Kyai Achmad Shiddiq dengan Nyai Hj. Nihayah binti KH. Mujib (Tulung Agung) memnpunyai 8 orang putra, yaitu:
1. Asni Furaidah (isteri Zainal Arifin, SE.)
2. Drs. H. Moh. Robith Hasymi (Jember).
3. Ir. H. Mohammad Syakib Sidqi (Dosen di Sumatra Barat)
4. H. Mohammad Hisyarn Rifqi (suami Tahta Alfina Pagelaran, Kediri).
5. Ken Ismi Asiati Afrik Rozana, BA (istri Drs. Nurfaqih, guru SMA Jember).
6. Dra. Nida, Dusturia (istri Tijani Robert Syaifun Nuwas bin Kyai Hamim Jazuli).
7. H. Mohammad Balya Firjaun Barlaman (pengasuh PP. Al Falah Ploso Kediri).
8. Mohammad Muslim Mahdi (wafat kecil)

Aktivitas pengajian Kyai Achmad mendapatkan sambutan hangat di masyarakat. Pesan-pesan agama disampaikannya dengan bahasa dan logika yang sederhana sehingga mudah dicerna. semua kalangan. Pengajian-pengajiannya dikemas secara khusus, seperti yang peruntukkan untuk masyarakat umum (kalangan awam) pada setiap malam senin sudah dirintisnya sejak tahun 1970-an dan tetap berlangsung hingga sekarang, Pengajian setiap malam Selasa, yang diperuntukkan bagi kalangan intelektual, sarjana, dosen dan tokoh-tokoh masyarakat membahas secara, kontemporer dan apresiatif kitab Ihya� Ulumiddin karangan Imam Ghozali.

Pengajian-pengajian Kyai Achmad banyak bernuansa Tasawwuf. Ada 3 unsur utarna dari tasawwuf yang dapat menuntun seseorang untuk bertasawwuf dari tingkat rendah menuju peningkatan diri secara bertahap, yaitu:
1. Al Istiqomah: yang berarti; tekun, telaten, terus-menerus tidak bosan-bosan mengamalkan apa saja yang dapat diamalkan Mungkin baca Yasin tiap malam Jum'at, mungkin baca Istighfar sekian kali dalam setiap malam, dan sebagainya.
2. Az Zuhd: yang berarti terlepas dari ketergantungan hati /batin dengan harta benda kekuasaan, kesenangan, dan sebagainya, yang ada, di tangannya sendiri, apalagi yang ada di tangan orang lain. Tidak tergantung berbeda dengan tidak memiliki, berbeda, dengan tidak punya. Seorang "Zahid" bisa saja kaya, tetapi hatinya tidak tergantung pada kekayaannya. Barang siapa yang tidak berputus asa karena sesuatu yang terlepas dari tangannya dan tidak bergembira, (melewati batas) dengan sesuatu yang diterimanya dari Allah maka dia sudah mendapatkan zuhud pada, kedua belah ujungnya.
3. Al Faqir: artinya, selalu menyadari kebutuhan diri kepada Al�lah. Kesadaran yang mendalam dan terus-menerus, tentang "dirinya membutuhkan Allah" tidak selalu ada pada setiap or�ang. Pada suatu saat kesadarannya, akan tinggi tetapi saat lain kesadarannya menurun.

C. DZIKRUL GHOFILIN
Pengajian malam Senin tersebut itu dinamakan "Majlis Dzikrul Ghofilin" yang artinya, majlis dzikirnya orang-orang lupa. Maksudnya orang-orang yang lupa adalah sifat relatif pada manusia yang selalu lupa. (agar selalu ingat Allah) sehingga perlu selalu diingatkan melalui Dzikir tersebut. Pada acara-acara tersebut, selain mengamalkan sholat tasbih, dzikir, Kyai Achmad biasanya mendahului menyampaikan ceramah agamanya.

Majlis Dzikrul Ghafilin yang dirintis pada awal tahun 1970-an tersebut 20 tahun berikutnya telah dilkuti oleh sekitar 20.000 orang Jamaah yang tersebar diseluruh Jawa, dan selanjutnya Jamaah pada setiap daerah mengembangkannya lebih lanjut dikawasan masing-masing.Secara historis, pada tahun 1973 Kyai Achmad mendapat ijazah dari Kyai Hamid untuk membaca Fatihah 100 kali setiap hari. Selanjutnya. Kyai Achmad mengadakan riyadlah di PPI. Ashtra beberapa tahun, baru setelah itu bacaan fatihah 100 kali dipadukan dengan bacaan lain untuk diwiridkan bersama-sama. Kemudian cara mernbacanya bisa dibagi dan dicicil dengan ketentuan: Subuh 30 kali, Dhuhur 25 kali, Ashar 20 kali, Maghrib 15 kali dan Isya' 10 kali. Dzikrul Ghafilin paling afdhal jika dibaca setelah sholat dan dibaca dengan hati yang talus ikhlas. Ada ceritera menarik antara Kyai Achmad dan Kyai Hamid: "Setiap memasuki tapal batas Pasuruan, Kyai Achmad selalu mengucapkan salam kepada Kyai Harnid. Ketika bertemu, Kyai Hamid menyatakan bahwa beliau selalu menjawab salam Kyai Achmad".

Dzikrul Ghafilin yang namanya diambil dari Al-Qur'an surat Al-A�raf 172 dan 265 menurut Kyai Achmad adalah wirid biasa, bukan wirid. thariqat. Jika tariiqat dengan bai'at, kalau tidak menegakkan pasti dosa, sedang dzikrul ghafilin adalah dengan ijazah. Pengamalannya tanpa menimbulkan efek camping dan isi bacaannya terdiri dari Al-Fatihah, Asmaul Husna, Ayat Kursi, Istighfar, Sholawat dan tahlil

Ada 3 orang Kyai yang ikut meramu bacaan-bacaan dalam dzikrul ghafilin, yaitu: KH. Abdul Hamid bin Abdullah (Pasuruan), KH. Achmad Shiddiq (Jember) dan KH. Hamim Jazuli (Gus Mik, Kediri). Bahkan menurut Gus Mik, ada tiga tokoh lagi yang ikut andil dalam wirid dzikrul ghafilin, yaitu Mbah Kyai Dalhar (Gunung Pring Muntilan Magelang), Mbah Kyai Mundzir (Banjar Kidul Kediri), dan Mbah Kyai Hamid (Banjar Agung Magellang).

Tawashul bil Fatihah, dalam kitab dzikrul ghafilin ditujukan kepada:
1 . Rasulullah Muhammad Saw.
2. Malaikat Jibril, Mikail, Isrofil, Izroil, Penjaga Arsy, dan Malaikat Muqorrobin.
3. Nabi-nabi dan Rasul-rasul
4. Ulul Azmi (Nabi Nuh As, Nabi lbrohim As, Nabi Musa As, Nabi Isa dan Nabi Muhammad saw)
5. Istri-istri Nabi (Siti Aisyah, Siti Hafsoh. Siti Sa'udah, Siti Shofiayh, Siti Maimunah, Siti Roulah, Siti Hindun, Siti Zainab, dan Siti Zuwairiyah)
6. Putra-putri Nabi (Qosyim, Abdullah, Ibrohim, Fatimah, Zainab, Ruqoyyah dan Ummi Kultsum).
7. Keturunan (Dzurriyah) Nabi saw.
8. KeluargaNabi saw.
9. Shahabat Nabi saw, khususnya Ahli Badar (yang wafat saat perang Badar, dari Muhajirin dan Anchor)
10. Pengikut Nabi saw yaitu para Syuhada', 'ulama, 'auliya', sholihin, mushonniffin, muallifin, Mbah-mbah, orang tua (bapak dan ibu) dan orang-orang yang benar.
11. Nabi Khodliri Abi Abbas Balya bin Malkan As.
12. Sultonil' Auhya' Awwal yaitu:
a. Abi Muhammad Sayyidina Hasan bin Ali bin Abi Tholib
b. Sayyidina Husein ra.
c. Sayyidina Ali bin Abi Tholib ra.
d. Sayyidatina. Fatimah Az-Zahro ra,
13. Sayyid Syech Muhyiddin Abu Muhammad (Sultonil' Auliya� Syech Abdul Qodir Al-Jilani ra) bin Abi Sholih Musa jangkadusat
14. Sayyid Syech Ali Muhammad Bahauddin Naqsabandi ra.
15. Sayyid Syech Abu Hamid Muhammad Al-Ghozali ra.
16. Sayyid Syech Achmad Ghozali (adik Imam Ghozali)
17. Sayyid Syech Abi Bakar As-Syibbli ra.
18. Sayyid Syech Qutub Ghowtsi Habib Abdillah bin Alwi Haddad ra.
19. Sayyid Syech Abi Yazid Toymuri bin lsa Bustomi ra.
20. Sayyid Syech Muhammad Hanafi.
21. Sayyid Syech Yusuf bin Ismail A-Nabhani ra.
22. Sayyid Syech Jalaluddin As-Suyuti ra.
23. Sayyid Syech Abu Zakariya Yahya bin Sarafinnawawi ra.
24. Sayyid Syech Abdul Wahhab As-Syaroni ra.
25. Sayyad Syech Ali Nuruddin Asy-Syowni ra.
26. Sayyid Syech Abi Abbas Achmad bin Ali Al-Buni ra.
27. Sayyid Svech Ibrohim bin Adhama ra.
28. Sayyid Syech Ibrohim. Ad-Dasuqi ra.
29. Sayyid Syech Abu Abbas Syihabuddin Achmad bin Umar Anshori Al-Anshori Al-Mursiy
30. Sayyid Syech Sa'id Abdul Karim Al-Bushiri.
31. Sayyid Syech Abu Hasan Al-Bakri.
32. Sayyid Syech Abu Abdillah Muhammad bin Ismail Al-Bucho�ri.
33. Sayyid Syech Zainuddin Abdul Aziz Al-Malibari Al-Fanani.
34. Sayyid Syech Tajuddin bin Athoillah Al-Askandari ra.
35. Mazhab Ernpat, Khususnya:
a Sayyid Syech Imam Muhammad bin Idris As-Syafi�i
b. Sayyid Syech Abu Hafsin Umar As-Suhrawardi
c. Sayyid Syech Abi Madyan
d- Sayyid Syech Ibnu Maliki Al-Andalusi
e. Sayyid Syech Abu Abdulloh Muhammad bin SulaimanAl� Jazuli
f Sayyid Syech Muhyiddin bin Al-Arabi
g. Sayyid Syech Imon bin Husayni ra.
36. Al Qutub Al Kabir Sayyid Syech Abdussalam 1bnu Masyisyi
37. Sayyid Syech Abu Hasani. Ali bin Abdillah bin Abdul Jabbar As-Syadzi1i
38. Sayyid Syech Abi Mahfudz Ma'ruf Al-Karkhiy
39. Sayyid Syech Abi Hasani Sari As-Saqofi
40. Sayyid Syech Abu Qosim Al-Imam Junaidi Al-Baghdadi
41. Sayyid Syech Abu `Abbas Ahmad Badawi
42. Sayyid Syech Abu Husain Rifa'i
43. Sayyid Syech Abu Abdillah Nu' man
44. Sayyid Syech Imam Hasani bin Abu Hasani Abi Sa'id Bashri
45. Sayyidati Robi'ah Al-Adawiyah ra.
46. Sayyidati Ubaidah binti Abi Kilab ra
47. Sayyid Syech Abu Sulaiman Ad-Daroni ra
48. Sayyid Syech Abu Abdillah Al-Harits bin Asadi Al-Muhasibi ra.
49. Sayyid Syech Abi Faydl dzinnun Al-Misry ra,
50. Sayyid Syech Abi Zakariyya. Yahya bin Mu'adz Ar-Rozy ra
51. Sayyid Syech Abi Sholih Hamdun an-Naisabur.
52. Sayyid Syech Husaini bin Mansur Al-Hallaj ra.
53. Sayyid Syech Jalaluddin Ar-Rumy ra.
54. Sayyid Syech Abi Hafsin Syarafiddin Umar bin Farid Al- Hamawiy Al-Mirsi ra.
55. Ikhwan Dzikrul Ghafilin
56. Orang yang hidup dan mati baik itu:
a. Orang-orang shalihin
b. Auliya Rijalillah
c. Orang-orang yang Arif
d. Ulama Amilin
e. Para Auliya Jawa dan Madura khususnya Wali Songo
f. Kaum Sufi Muhaqiqin

Tentang "Tawassul", Kyai Achmad memberikan penjelasan bahwa do' a tawashul ada dua macam:

1. Doa yang harus "dikatrol", yaitu. Yaitu orang yang tidak faham dan tidak maqbul do' anya akan dikatrol (ditolong) oleh orang faham dan khusyu' dalam berdo'a Hal ini sama dengan sholat berjama'ah tersebut. Bila salah satu diterima amal sholatnya maka diterima semua yang berjama'ah tersebut. Karena itu sholat berjama'ah lebih baik dari sholat sendiri. Bahkan Imam Hambali menghukumi Fardlu Ain. Ada Hadits Nabi sebagai berikut: "Nabi didatangi seorang sahabat. Sahabat menyampaikan bahwa ia sering lupa do'a yang sudah diajarkan Nabi. Lalu Nabi mengatakan, "Bacalah do'a di bawah ini" maka nilainya sama".
"Ya Allah aku tidak tabu apa yang di doakan oleh Nabi Tapi aku juga ikut mohon doa itu. Dan apa yang diminta NAbi untuk dijauhkan dari bahaya, aku juga mohon ya Allah".

4. Doa yang bersifat "dorongan" yaitu: orang yang berdoa tidak maqbul karna jiwanya tidak bersih, sehingga perlu didorong atau di amini oleh orang yang maqbul doanya dan bersih hatinya�Ada hadits sebagai berikut "Ada tiga orang sahabat yang sedang berzikir di masjid. Salah satunya adalah Abu Hurairah yang masih muda usia. Lalu masuklah Nabi sambil bersabda: berdoalah kamu dan aku mengamininya. Satu persatu mereka berdoa dan di amini oleh Nabi. Giliran ketiga pada Abu Hurairah berdoa sebagai berikut: "Ya Allah semua yang diminta sahabat yang pertama, aku mohon juga. Begitu pula yang diminta sahabat yang kedua aku mohon juga Sekarang aku mohon untuk diriku sendiri. Ya Allah sejak kecil aku ini pelupa, aku mohon agar dapat hafal semua yang diajarkan Nabi". Doa Abu Hurairah inipun di amini Nabi, maka sejak itulah la menjadi penghafal/perawi Hadits terbanyak. Ini karena dorongan amin Nabi yang langsung di terima Allah".

Pengajian Dzikrul Ghafilin ini semakin lengkap dan dilkuti oleh ribuan muslimin/muslimat, setelah digabung dengan sema'an Al-Qur'an Mantab" yang dirintis oleh Gus Mik, dan kini dikoordinasi oleh KH. Farid Wajdi (putra Sulung Kyai Achmad). Pengajian "Dzikrul Ghafillin dan Istima'ul Qur'an" ini tidak hanya dilakukan di Jember, bahkan hampir semua Kabupaten di Jawa Timur dan Jawa Tengah (ternasuk Kraton Yogya dan kantor�kantor pemerintah pun) sudah mengadakan kegiatan ini secara rutin.

Kedekatan KH. Achmad Shiddiq dengan Gus Mik tidak hanya pada penggabungan Dzikrul Ghofilin dengan sema' an Qur' an Mantab saja. Bahkan eratnya hubungan itu terikat rapat setelah kedua tokoh itu "besanan". Putra Kyai Achmad (Gus Hisyam Rifqi) menikah dengan putri Gus Mik (Tahta Alfina Pagelaran) sedang Ning Nida Dusturia (Putri Kyai Achmad) Dinikahkan dengan Gus Robert Syaifun Nuwas (putra Gus Mik), lebih dari itu Gus Firjaun (putera Bungsu Kyai Achmad) menikah dengan Ning Sofratul Lailiyah (Ponaan Gus Mik).

Dengan dzikrul ghafilin Kyai Achmad berikhtiar menciptakan suasana religius guna membentengi masyarakat dalam memasuki kehidupan modern, karena modernisasi menurut Kyai Achma cenderung membawa mudirrunisasi. yakni suatu proses yan mengarah kepada sesuatu yang memudharatkan, sehingga pengembangan suasana religius merupakan kondisi yang harus mendapatkan prioritas.

D. BINTANG KYAI ACHMAD
Pada Munas Ulama NU di Situbondo pada bulan Desember 1983, KH. Achmad Shiddiq menjelaskan makalahnya tentang "Penerimaan Azas Tunggal Pancasila bagi NU". Beliau menyampaikan pokok-pokok fikiran dan berdialog tanpa kesan apolog: Beliau ungkap argumentasi secara mendasar dan rasional dari segi agama, historis maupun politik. "Pancasila dan Islam adalah hal yang dapat sejalan dan saling menunjang. Keduanya tidak bertentangan dan jangan dipertentangkan",kata Kyai Achmad.

Lebih lanjut ditegaskan: "NU menerima Pancasila berdasar pandangan syari�ah. bukan semata-mata berdasar pandangan politik. Dan NU tetap berpegang pada ajaran aqidah dan syariat Islam. Ibarat makanan, Pancasila itu sudah kita makan selama 38 tahun, kok baru sekarang kita persoalkan halal dan haramnya katanya setengah bergurau penuh diplomatic. Sungguh luar biasa, ratusan kyai yang sejak awal menampik Pancasila sebagai satu�-saatunya Azas organisasi, berangsur-angsur berobah sikap dan menyepakatinya. Sejak saat itulah, sejarah mencatat NU menjadi ormas keagamaan yang pertama menerima Pancasila sebagai satu-satunya Azas.

Nama Kyai Achmad melejit bak "Bintang Kejora", dalam Munas NU itu. Dan tak heran, dalam Muktamar NU ke 27 di Situbondo itu, Kyai Achmad Shiddiq terpilih sebagai Ro'is Aam PBNU, sedang KH. Abdurrahman Wahid sebagai Ketua Umum Tanfidziahnya, bentuk pasangan yang, ideal.

Duet Kyai Achmad dan Gus Dur temyata marnpu mengangkat pamor NU ke permukaan. Beberapa. kali NU bisa selamat ketika menghadapi setiap persoalan besar dan pelik berkat kepemim�pinan keduanya. Semisal goncangan, ketika Kyai As' ad yang kharismatik mengguncang NU dengan sikap mufaroqohnya terhadap kepemimpinan Gus Dur. Dalam Munas NU di cilacap tahun 1987, Kyai As' ad menginginkan Gus Dur dijadikan agenda Munas, dan diganti. Namur demikian, Kyai Achmad Shiddiq dan Kyai Ali Ma'shum tampil membelanya.

Kyai Achmad dalam posisi sulit dan menentukan itu mampu meyakinkan warga NU untuk tetap kukuh dengan khittah NU 1926. Pada Muktamar ke-28 di Yogyakarta pada tahun 1989 Kyai Achmad menegaskan pendiriannya tentang Khittah. "NU ibarat kereta, api, bukan taksi yang bisa, dibawa, sopirya, ke mana, saja. Rel NU sudah tetap", ujarnya bertamsil. Dengan tamsil ini pula Muktamar Yogyakarta dapat mempertahankan duet Kyai Achmad dengan Gus Dur.

Dan kepulangan Kyai Achmad dari Muktamar Yogyakarya, Kyai Achmad sakit Diabetes Melitus (kencing manis yang parsh). Kyai Achmad dirawat di RS. Dr. Sutomo, Surabaya.
"Tugasku di NU sudah selesai", kata Kyai Achmad Shiddiq pada rombongan PBNU yang membesuknya di RSU Dr. Sutomo, Ternyata isyarat itu benar. Tanggal 23 Januari 1991, Kyai Achmad Shiddiq wafat. Rois Aam PBNU yang berwajah sejuk itu menanggalkan beberapa jabatan penting:
1. Anggota DPA (Dewan Pertimbanzan Agung)
2. Anggota BPPN (Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional)

KH Achmad Shiddiq dimakamkan di kompleks makam Auliya, Tambak Mojo, Kediri. Di makam itu juga sudah dimakamkan 2 orang Auliya sebelumnya. "Aku seneng di sini Besok kalau aku mati dikubur sini saja", wasiat Kyai Achmad pada istri dan anak-anaknya. Walaupun berat hati karena jauhn dari Jember, keluarganyapun merelakannya sebagai penghormatan pada bapak yang sangat di cintainya

Ribuan muslimin dan muslimat melayat ke pemakaman Kyai Achmad Shiddiq. Jenazah terlebih dulu disemayamkan di rumah duka (kompleks Pesantren Ashtra. Talangsari) dan keesok harinya, barulah beriring-iringan mobil yang berjumlah seratus itu mengantarkannya di tempat yang jauh, tetapi menyenangkannya. Sang Bintang Kejora itu jauh dari Jember tetapi sinarnya tetap cemerlana dari pemakaman Tambak nun jauh.

Sekitar 5 tahun setelah wafatnva, tepatnya pada tanggal 9 Nopember 1995, Kyai Achmad masih mendapatkan penghargaan "Bintang Maha Putera NARARYA, dari Pemerintah dan beliau tercatat sebagai Pahlawan Nasional Mantan Tokoh NU (Sumber ; Buku Biografi Mbah Shidd