Jumat, 01 Januari 2010

tawasul

Ketika sebagian kalangan mengartikan ‘mati’ dalam arti batas perpisahan antara dua alam, alam kehidupan (alam hayat) dan alam kematian (alam maut), yang satu hidup di dunia dan satunya mati dan kembali menjadi tanah, maka sejak saat itu berarti kedua alam tersebut dianggap tidak ada hubungan lagi. Berarti pula makhluk yang ada di dua alam tersebut tidak bisa saling memberikan kemanfaatan, tidak bisa saling berucap salam sehingga ucapan sholawat dan salam kepada baginda Nabi s.a.w dianggap sia-sia. Mendo’akan orang mati yang bukan orang tuanya dianggap batal dan tidak sampai. Tawasul dan ziarah kubur dianggap syirik, maka barangkali seperti itulah pemahaman orang-orang yang ingkar akan hari kebangkitan ketika mereka melahirkan isi hati kepada Tuhannya. Allah mengabadikan pertanyaan itu dengan firmanNya:
وَقَالُوا أَئِذَا ضَلَلْنَا فِي الْأَرْضِ أَئِنَّا لَفِي خَلْقٍ جَدِيدٍ بَلْ هُمْ بِلِقَاءِ رَبِّهِمْ كَافِرُونَ
“Dan mereka berkata: “Apakah bila kami telah lenyap (hancur) di dalam tanah, kami benar-benar akan berada dalam ciptaan yang baru?”. Bahkan (sebenarnya) mereka ingkar akan menemui Tuhannya”. (QS. as-Sajadah: 32/10)
Ayat di atas menyatakan, orang yang tidak percaya setelah mati ada kehidupan baru berarti mengingkari perjumpaan dengan Tuhannya. Sebagian dari gambaran ‘kehidupan baru’ tersebut dinyatakan Allah Ta’ala dalam sebuah ayat: “Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezki(169)Mereka dalam keadaan gembira disebabkan karunia Allah yang diberikan-Nya kepada mereka, dan mereka bergirang hati terhadap orang-orang yang masih tinggal(hidup) di belakang yang belum menyusul mereka”. (QS. Ali Imran/169-170) Orang yang mati di dunia, di alam barzah ternyata ada yang hidup. Mereka mendapat rizki dan bahkan bergirang hati terhadap orang yang masih belum mati. Yang dimaksud bergirang hati itu adalah saling memberi kegembiraan. Orang hidup dapat memberi kegembiraan kepada orang mati, demikian pula sebaliknya. (lihat tafsir Fahrur Rozi).
Sebagian teman se-agama mengira, setelah orang mati tidak ada lagi hubungan dengan orang hidup,… selesai dan bahkan orang mati itu tidak dapat dido’akan kecuali oleh anaknya sendiri. Sedangkan orang lain, sejak saat itu tidak dapat berbuat apa-apa untuk saudaranya yang mati, sehingga kematian itu dianggap sebagai batas kemanfaatan hidup. Orang tersebut memahami dari Hadits Nabi s.a.w yang artinya: “Apabila anak Adam mati maka terputuslah segala amalnya kecuali tiga hal, yaitu shodaqoh jariyah atau ilmu yang bermanfaat, atau anak yang sholeh yang mendo’akan kepadanya”. Barangkali karena mengartikan hadits ini dengan tujuan yang berlebihan, bahkan untuk melampiaskan kebencian kepada orang lain, maka mereka terjebak kepada pemahaman yang salah fatal.
Di dalam hadits tersebut, Rasulullah s.a.w menyatakan “terputus amalnya” (In qotho’a ‘amaluhu) bukan “terputus kemanfaatannya” (In qotho’a Naf’’uhu). Seandainya Nabi s.a.w mengatakan terputus kemanfaatannya, maka benar, orang mati tidak ada hubungan lagi dengan orang hidup, sehingga apapun yang dikerjakan orang hidup tidak sampai kepada orang mati. Rasul s.a.w tidak mengatakan demikian, tetapi mengatakan “terputus amalnya”. Artinya, sejak itu orang mati itu tidak dapat beribadah lagi. Mereka tidak dapat mencari pahala sebagaimana saat masih hidup di dunia.(dipetik dari pengajian minggu ke 2 yang disampaikan oleh Hadrotusy Syekh Romo KH Ahmad Asrory al Ishaqy r.a)
Jika teman-teman itu mau mencermati makna yang terkandung dalam hadits tersebut dengan hati yang selamat, sesungguhnya maksud hadits itu sebagai berikut; Dengan hadits itu justru Nabi s.a.w menganjurkan supaya orang hidup mau mendo’akan orang mati, karena sejak saat itu temannya itu sudah tidak dapat mencari pahala untuk dirinya sendiri, kecuali dari tiga hal tersebut, itu pun jika mereka memiliki ketiganya. Apabila tidak, maka hanya do’a-do’a dari temannya itulah yang sangat mereka butuhkan. Di alam kubur itu keadaan mereka seperti orang di penjara menunggu kiriman dari keluarganya. Seperti pasien yang mondok di rumah sakit merindukan temannya menjenguk.
Allah s.w.t memerintahkan agar seseorang mendo’akan orang lain dengan firman-Nya:
وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Dan mendo`alah untuk mereka. Sesungguhnya do`a kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.
(QS. at-Taubah: 9/103)
Ayat di atas menyatakan bahwa mendo’akan orang lain, baik kepada orang hidup maupun orang mati pasti sampai, yaitu berupa ketenangan di dalam batin orang yang dido’akan itu. Bahkan sudah dimaklumi, termasuk syarat syahnya shalat Jum’at, khotib wajib memohon ampunan bagi saudaranya seiman, baik yang hidup maupun yang mati. Ini menunjukkan bahwa mendo’akan orang beriman yang sudah meninggal dunia itu merupakan perintah agama.
Bahkan di dalam firman-Nya Allah menyatakan bahwa pahala orang mati dapat berkurang dan bertambah. Berkurang karena perbuatan jeleknya diikuti orang lain, bertambah karena perbuatan baiknya diikuti orang lain serta dari do’a yang dipanjatkan orang lain kepadanya. Bahkan dosa dan pahala itu tidak berhenti bertambah dan berkurang sampai hari kiamat datang. Allah berfirman:
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ وَإِنَّمَا تُوَفَّوْنَ أُجُورَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ
“Tiap-tiap jiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan”. (QS. Ali Imran: 3/185)
Hakekat tawasul atau interaksi ruhaniah adalah tercapainya sembung rasa antara ‘manusia personal’ dengan ‘manusia karakter’ yang dikondisikan dalam pelaksanaan ibadah kepada Allah s.w.t. Yang dimaksud ‘manusia personal’ adalah manusia lahir sedangkan yang dimaksud ‘manusia karakter’ adalah manusia batin. “Manusia personal” diciptakan dari debu, berbentuk jasad kasar yang terdiri dari tulang dibungkus daging, masa hidupnya terbatas, yakni sebatas usianya di dunia. Ketika ajal kematiannya tiba, sedikitpun tidak dapat dimajukan ataupun dimundurkan. Setelah matinya, kembali menjadi tanah. Adapun “manusia karakter”, ia akan hidup untuk selama-lamanya. Sejak dikeluarkan dari sulbi Nabi Adam as. di alam ruh kemudian dimasukkan di dalam janin di dalam rahim seorang ibu lalu dilahirkan di dunia. ‘Manusia karakter’ dibentuk oleh lingkungannya menjadi orang mulia atau hina. Sejak hidupnya di alam ruh, ia akan hidup selama-lamanya.
Semasa hidupnya di dunia, manusia harus merubah karakternya menjadi lebih baik. Dengan ilmu dan amal, mereka harus membentuk karakter itu menjadi mulia. Sebagai ash-shiddiq, asy-Syuhada’ atau ash-Sholihin sebagaimana yang telah digambarkan Allah s.w.t dengan firman-Nya; “Barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi kenikmatan dari Allah, yaitu para Nabi, Shiddiqin, para Syuhada’ dan para Sholihin. Dan mereka itulah teman yang baik “. (QS. 4; Ayat 69)
Setelah matinya, manusia batin itu akan dihidupkan lagi, sejak di alam barzah sampai di akherat nanti. Manakala ia mati sebagai seorang Syuhada’ atau mati syahid, maka sejak di alam barzah akan hidup merdeka di kebun-kebun surga dan mendapatkan rizki dari Tuhannya dan di alam akherat dimasukkan ke surga bahagia untuk selama-lamanya. Kalau ia mati sebagai orang kafir, maka kehidupannya akan tertahan di penjara untuk selama-lamanya.
Jadi yang dimaksud “Interaksi Ruhaniah” adalah pertemuan yang dilakukan oleh “manusia personal” dengan “manusia karakter”, pertemuan itu dirasakan secara ruhaniah. Atau dengan istilah hubungan timbal-balik atau interkoneksi antara dua orang yang berbeda dimensi, antara al-Mu’minun yang masih hidup dengan ash-shiddiq, asy-Syuhada dan ash-Sholihin yang sudah mati, pertemuan tersebut diaplikasikan dalam pelaksanaan ibadah dan mujahadah di jalan Allah. Hubungan dua alam yang berbeda itu bisa dilakukan, karena ruh orang hidup memang berpotensi bertemu secara ruhaniah dengan ruh orang lain, baik orang hidup (di alam mimpi maupun di alam jaga) maupun dengan ruh orang mati (di alam barzah). Allah menyatakan hal itu dengan firmanNya:
اللَّهُ يَتَوَفَّى الْأَنْفُسَ حِينَ مَوْتِهَا وَالَّتِي لَمْ تَمُتْ فِي مَنَامِهَا فَيُمْسِكُ الَّتِي قَضَى عَلَيْهَا الْمَوْتَ وَيُرْسِلُ الْأُخْرَى إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
“Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan memegang jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya, maka Dia tahanlah jiwa yang Dia telah tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa lain sampai waktu yang ditentukan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berfikir”. (QS.az-Zumar: 39/42)
Ketika jasmani manusia dan aktifitasnya sedang lemah karena sedang tidur, maka secara otomatis aktifitas Ruh menjadi kuat. Ruh orang tidur itu naik memasuki dimensi di atasnya, dengan izin Allah s.w.t kemudian menembus pembatas (hijab). Ruh itu menembus dua samudera yang dibatasi barzah sebagaimana yang digambarkan Allah dalam firman-Nya: “Dia membiarkan dua lautan mengalir yang keduanya kemudian bertemu – antara keduanya ada batas yang tidak dilampaui oleh masing-masing”. (QS: 55; 19-20).
Ruh orang tidur itu kemudian bertemu dengan ruh orang mati. Selanjutnya terjadilah kejadian sesuai kehendak Allah s.w.t. Kejadian tersebut kemudian direkam oleh akal, ketika orang tersebut bangun dari tidurnya, peristiwa ghaib itu terbaca lagi dalam alam sadar. Kejadian itulah yang disebut mimpi, hanya saja oleh karena peristiwa ghaib ini dialami dalam keadaan tidur, maka untuk memahaminya membutuhkan penta’wilan atau pemaknaan dari para ahlinya. Adapun seorang hamba yang ruhaninya telah hidup pada derajat tertentu (manusia karakter), ketika pengembaraan ruhaniah yang mereka lakukan telah melewati batas-batas yang telah ditentukan, dengan izin Allah s.w.t mereka dibukakan hijab-hijab yang menutupi rongga dadanya, sehingga matahatinya dapat merasakan secara langsung kejadian tersebut. Manakala pengkondisian tersebut dilakukan sebagai ibadah dan mujahadah di jalan Allah dengan melaksanakan tawasul kepada guru-guru ruhaniah yang sudah wafat, kemudian terjadi arus dzikir timbal balik antara orang yang tawasul dan yang ditawasuli, maka itulah yang dimaksud ‘Hakekat Tawasul atau ‘Interaksi Ruhaniah’. Allahu A’lam bi ash-Shawab.(malfiali, 9 Nofember 2008)
5 Komentar »

Jumat, 25 Desember 2009

ಬರು sunan

egala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan nikmat dan anugerah-nya kepada kita semua, sholawat dan salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada junjungan kita, hamba-Nya yang terkasih Rosuululloh Muhammad SAW, keluarga dan sahabatnya serta semua pengikut beliau hingga akhir zaman, amin.
Barang siapa mencintai Nabi Rosul Allah beserta Wali – Nya, berarti ia juga termasuk dalam mahabah kehadirot Allah SWT. Dengan kondisi yang seperti itu makanya kami ingin sedikit mengingat sejarah para Wali Allah di Tanah Jawa yang mengembangkan Agama Islam sebagai rohmatan lil ‘alamin.Telah menjadi sunatullah pada masa zaman Majapahit bergulirlah suatu perjalanan permasalahan aqidah dari Hindu – Budha menjadi Islam yang di awali dengan berdirinya Kerajaan Demak Bintoro yang dirajai oleh beliau Raden Patah. Berdirinya Kerajaan Islam di Demak Bintoro Insya Allah pada tahun 1403, yang di sponsori oleh Majelis Wali Songo yang mansyur dengan metode dakwahnya dan kearifan juga keramatnya. Dengan partisipasinya wali songo ini, Allah telah menentukan kehendaknya Kerajaan Islam Demak Bintoro menjadi Kerajaan Besar dan berpengaruh di bumi tanah jawa dan sekitarnya. Dari awal ini kami ingin mengutarakan mahabah kami terhadap wali Allah yang bernama Ki Cokrojoyo yang akhirnya terkenal dengan SunanGeseng. Pada zaman wali songo terkenallah seorang wali dari jawa yang bernama Raden Said yang terkenal dengan Sunan Kalijogo.
Pada saat itu Sunan Kalijogo syiar agama Islam di suatu daerah, beliau bertemu dengan seorang hamba Allah yang bernama Ki Cokrojoyo, istrinya bernama Rubiyah dan memiliki seorang putra bernama Joko Bedug, pekerjaan Ki Cokrojoyo menyadap gula kelapa, walau hanya dengan kehidupan yang sederhana keluarganya tentram dan bahagia, karena Ki Cokrojoyo dan keluarganya “ nrimo ing pandum ” dengan ketentramannya itu Ki Cokrojoyo senang bersenandung ( uro-uro ), dalam perjalanan syiarnya Kanjeng Sunan Kalijogo bertemu dengan Ki Cokrojoyo, yang akhirnya diajarkan Kalimat Dzikir yang dilantunkan dengan pujian.
Hari – hari Ki Cokrojoyo selalu pujian dengan kalimat yang diajarkan oleh Wali Allah Sunan Kalijogo, dan suatu saat keajaiban terjadi dengan amalan itu saat Ki Cokrojoyo mengambil hasil panennya yang dibuat gula kelapa tiba-tiba berobahlah gula kelapa itu menjadi emas, namun Ki Cokrojoyo tidak menjadi bangga malah beliau langsung bersiku dan berpamitan pada istri dan anaknya untuk mencari Kanjeng Sunan Kalijogo.Setelah ketemu Kanjeng Sunan Kalijogo menerima Ki Cokrojoyo di terima sebagai murid dan disuruhnya bertapa, yang insya allah dilakukan satu tahun. Setelah satu tahun Kanjeng Sunan Kalijogo teringat akan kondisi muridnya yang bertapa lalu dicarinya dalam pencarian tempat yang digunakan bertapa telah menjadi hutan alang-alang yang akhirnya dibakar oleh Kanjeng Sunan Kalijogo, setelah habis alang-alangnya barulah tampak Ki Cokrojoyo masih dalam kondisi bertapa dan gosong, karena terbakarnya dengan ilalang dan pada saat itu dibangunkannya Ki Cokrojoyo dengan ucapan salam Kanjeng Sunan Kalijogo yang akhirnya terbangun dan langsung sungkem ( sujud ) terhadap Gurunya, setelah itu Kanjeng Sunan Kalijogo memerintahkan untuk mandi dan menyuruh pulang menemui keluarganya, setelah ketemu keluarga diceritakannya segala kejadian pada istrinya dan anaknya. Istri dan anak ikut bersyukur kehadirat Allah atas diselamatkannya Ki Cokrojoyo atas bimbingan Kanjeng Sunan Kalijogo.
Dari perjalanan itu diangkatlah derajat Ki Cokrojoyo di hadapan Allah menjadi Wali Allah, maka Ki Cokrojoyo di beri nama oleh Kanjeng Sunan Kalijogo menjadi Sunan Geseng untuk mengingat laku dan ketawadukannya terhadap Guru sehingga bisa mencapai derajat mulia. Dan setelah itu di tugaskannya Sunan Geseng oleh Sunan Kalijogo untuk syiar Islam, khususnya mengajak masyarakat untuk bertauqid membaca dua kalimat syahadat yang terkenal ajakan Sunan Geseng yaitu masalah ( sasahidan ) membaca dua kalimah syahadat dan menjalankan ajaran Rosul Muhammad SAW.
Selain Sunan Geseng ada murid-murid Sunan Kalijogo yang terkenal lagi yaitu Sunan Bayat (Klaten), Syekh Jangkung (Pati) dan Ki Ageng Selo (Demak). Dari riwayat itulah maka kami jama’ah Dzikrurrohmah sedikit mengingat sejarah beliau karena beliau termasuk Wali Allah yang juga berjasa dalam pengembangan Islam di Tanah Jawa.METODE DAKWAH ” SUNAN GESENG ”
Sunan Geseng berdakwah dengan sangat santun dan arief, yaitu melakukan pendekatan budaya dengan masyarakat jawa. Seperti yang di lakukan Gurunya Kanjeng Sunan Kalijogo, Berda’wah dengan menggunakan wayang kulit, melakukan selamatan yang tujuannya untuk bersedekah dan muji syukur kehadirat Allah, serta memuliakan tamu-tamu santri, umat, masyarakat, pejabat yang diajak berdzikir dan puji-pujian. Dengan cara itulah masyarakat jawa yang tadinya hindu, budha diajak menyeberang ke Islam. Begitulah bijaknya Sunan Geseng Wali Allah tidak mematikan budaya-budaya yang baik dan luhur. Yang dilakukan dengan tidak melanggar aqidah dan syariat, tapi sangat ampuh untuk menyatukan, umat masyarakat.

Kematian di mata sunan geseng
"Banyak orang yang salah menemui ajalnya. mereka tersesat tidak menentu arahnya, pancaindera masih tetap siap, segala kesenangan sudah di tahan , nafas sudah di gulung, dan angan-angan sudah diikhlaskan, tetapi ketika lepas tirtanirmaya belum mau. maka ia menemukan serba indah."
"Dan ia anggap manusia yang luar biasa.padahal sesungguhnya ia adalah orang yang tenggelam daloam angan-angan yang menyesatkan yang tak nyata. budi dan daya hidupnya tidak mau mati, ia masih senang di dunia dengan segala sesuatu yang hidup, masih senang ia rasa dan pikirannya.baginya hidup didunia ini nikmat, itulah pendapat manusia yang masih terpikan akan keduniawian,pendapat orang gelandangan yang pergi kemana-mana tidak menentu dan tidak tahu bahwa besok ia akan hidup yang tiada kenal mati sesungguhnya dunia ini neraka

jalantrabas.

sakti

Kediri, suatu kawasan di wilayah Propinsi Jawa Timur,telah lama dikenal sebagai salah
satu tempat penggemblengan dan penggodogan, kawah candradimuka, pencetak
kader-kader handal dalam bidang keilmuan agama Islam. Hal ini tidak terlepas dari
banyaknya Pesantren yang tersebar di daerah ini, baik di wilayah Kota maupun
Kabupaten, di kota, dan terlebih lagi di kawasan pedesaannya. Sebutlah di antaranya
Pesantren Hidayatul Mubtadi-ien, atau yang lebih dikenal dengan sebutan Pesantren
Lirboyo, Pesantren Al-Falah Ploso, Pesantren Al-Ihsan Jampes dan lain sebagainya.
Pesantren-Pesantren tersebut umumnya memiliki kekhususan (dalam hal pengajaran
dan pengamalan) dalam bidang-bidang tertentu, walaupun akhirnya sama-sama
bermuara pada pendalaman Ilmu-ilmu Agama Islam.

Sementara itu, di sebelah barat alun-alun kota Kediri, setelah menyeberangi Kali Brantas,
terdapat suatu kawasan yang kental dengan nuansa Islami.Kawasan itu dikenal dengan
nama Bandarkidul. Di wilayah Bandarkidul ini,terdapat sediitnya lima Pesanrtren yang
berafiliasi pada RMI (Rabithatul Ma'ahid Al-Islamiyyah), suatu organisasi/Asosiasi
Perhimpunan Pesantren di bawah naungan NU (Nahdlatul Ulama). Salah satu diantara
lima Pesantren itu adalah Pondok Pesantren Tahfidhul Qur-an Ma'unah Sari.

Sesuai dengan nama yang disandangnya,Pesantren ini adalah merupakan suatu
Lembaga Pendidikan yang menyediakan program menghafalkan al-Qur-an (bil-Ghaib),
disamping juga tersedia program pengajian Al-Qur-an Bin-Nadhar (tidak menghafal).
Pesantren ini diharapkan mampu menelorkan alumnus-alumnus yang merupakan
generasi-generasi penghafal Al-Qur-an,yang berjiwa dan berakhlaq Qur-any.
Atau dengan kata lain, insan hafidh al-Qur-an, lafdhan wa ma'nan wa 'amalan.
Sanad / Silsilah Alqur-an-nyapun muttashil kepada Nabi Muhammad SAW.
Dari berbagai sumber informasi yang ada, Pesantren ini didirikan pada tahun 1967
oleh KH.M.Mubassyir Mundzir, seorang ulama kharismatik dan terkenal pada masa itu.
Pada awal berdirinya, Pesantren ini lebih mengkhususkan diri pada bidang Tashawwuf,
terutama peng-'Istiqomah'-an sholat berjamaah dan wirid/dzikir. Hal ini berjalan kurang lebih
selama lima tahun. Pesantren inipun pada saat itu hanya menerima santri Putera.

Barulah, pada tahun 1973, setelah beliau menikah, Pesantren ini menerima santri puteri.
Dan mulai pada tahun itu pula, Pesantren ini mulai membuka Program Pengajian Al-qur-an
Bil-Ghoib (hafalan). Hal ini adalah karena isteri beliau,ibu Nyai Hj.Zuhriyyah adalah merupakan
seorang Hafidhah(penghafal) Al-Qur-an.Lebih dari itu, beliau juga merupakan puteri dari
Ulama terkenal, KH.Munawwir Krapyak Jogjakarta,yang selain seorang Hafidh, juga termasyhur
sebagai Perintis Pesantren Tahfidh al-Qur-an di Indonesia, seorang kampiun dalam bidang
Ilmu-Ilmu Al-Qur-an dan seorang ahli Qira-ah Sab'ah.

Seiring dengan berjalannya sang waktu, Pesantren Ma'unah Sari pun terus berkembang,
baik dari segi jumlah santri, program pengajian, dan juga lingkungan pendidikan yang
semakin representatif.Namun begitu,khusus untuk Pengajian Al-Qur-an bil-Ghaib, masih terbatas
pada kalangan Santri Puteri, dibawah asuhan Ibu Nyai Hj. Zuhriyyah Mundzir.

Pada tahun 1989,muassis (pendiri) Pesantren, KH. M. Mubasyir Mundzir wafat.
Dengan iringan tangis pilu para santri dan khalayak masyarakat yang merasa sangat
kehilangan, beliau dimakamkan di belakang masjid Pesantren Ma'unah Sari.

Sebelum wafat, karena beliau tidak dikaruniai putera, beliau telah memberikan wasiat
yang berkaitan dengan regenerasi Pengasuh Pesantren. Dan sesuai dengan wasiat beliau,
yang disaksikan oleh Ulama-ulama sepuh, tongkat estafet Pengasuh diamanatkan kepada
K. R. Abdul Hamid Abdul Qadir yang saat itu dikenal dengan sebutan Gus Hamid. Beliau adalah
putera dari KHR.Abdul Qadir Munawwir, Krapyak, kakak dari Ibu Nyai Hj.Zuhriyyah.
Dengan kata lain, K. R.Abdul Hamid adalah keponakan Ibu Nyai Hj.Zuhriyyah Mundzir.
Dan dengan demikian,tercapailah cita-cita dari Pendiri,yang menginginkan Pesantren
yang didirikannya kelak tumbuh dan berkembang menjadi tempat bagi para santri yang
ingin menghafal Al-Qur-an. Hal ini adalah karena Kyai Abdul Hamid juga merupakan
seorang penghafal Al-Qur-an (Hafidh) dan menguasai pula Qira-ah Sab'ah.

Selanjutnya,dibawah asuhan dan bimbingan Kyai Abdul Hamid bersama Ibu Nyai Hj.Zuhriyyah,
Pondok Pesantren Tahfidhul Qur-an Ma'unah Sari-pun semakin tumbuh dan berkembang.
Latar belakang dan asal para santri juga terdiri dari berbagai lapisan masyarakat, dan berasal
dari berbagai pelosok Nusantara, termasuk Papua (Irian Jaya), Kalimantan, Sulawesi,
Maluku, Sumatera, dan lebih-lebih dari Pulau Jawa. Mulai saat itu pula, dibuka Program
Pengajian Al-Qur-an bil-Ghaib untuk santri Putera.

Diantara para santri ini,banyak pula diantara mereka yang merupakan alumnus Pesantren-Pesantren
kenamaan,seperti Pesantren Lirboyo dan Ploso, keduanya di Kediri , Pesantren Tegalrejo Magelang,
Pesantren Langitan Tuban, dan lain sebagainya. Dengan berkumpulnya para alumnus
Pesantren-pesantren tersebut,tidaklah mengherankan apabila selain mengikuti
kegiatan-kegiatan wajib, terutama menghafal al-Qur-an, kerapkali terjadi diskusi-diskusi
ala Bahtsul Masa-il, sebagai salah satru wujud pengembangan dari Ilmu-ilmu yang mereka
peroleh di Pesantren mereka sebelumnya. Namun begitu, bagi mereka yang kebetulan
belum pernah mengenyam pendidikan Pesantren sama sekali, tidak perlu berkecil hati,
karena dari para alumnus Pesantren tadi, mereka bisa memperoleh arahan dan bimbingan,
melalaui Madrasah Al-Mundziriyyah di Pesantren ini, yang mengajarkan pelajaran dasar
yang sangat penting, sebagai bekal kelak di kemudian hari. Kalaupun masih kurang puas,
mereka bisa mengaji di Pesantren-pesantren sekitar, termasuk di Pesantren Lirboyo.

Selain itu, diantara para santri juga tidak sedikit yang merupakan jebolan Perguruan Tinggi,
sehingga mereka bisa menularkan ilmu dan pengalaman positif kepada rekan-rekan mereka
sesama santri. Hal ini dirasa penting, terutama dalam kaitannya untuk menata dan mengatur

kiai sakti bogor

Bagi ibu-ibu atau bapak-bapak atau muda mudi yang suka jalan-jalan ke kota Jakarta, pasti kita sering menemukan beberapa pengemis mengais rizki di kota ini. Dengan kemampuan alamiah para pengemis seolah menjadi aktor di jalanan bersaing dengan pedagang asongan. Terlihat beberapa pengemis dalam menjalankan tugasnya tidak seragam dalam bertindak, mungkin ada yang seperti orang pincang, berwajah kumal, memanfaatkan anak kecil, orang buta, dan bentuk lainnya bermacam-macam ditemukan disana. Aneka peran mereka mainkan namun, sayang mereka berbuat seperti itu bukan membuat sadar untuk berpikir kreatif, malah dijadikan nafkah keseharian mereka, sepertinya tak pernah ada niatan untuk berubah atau mengubah hidupnya yang lebih mulya.

Kemiskinan yang terjadi pada penyandang cacat atau karena tak mampu mengatasi kehidupan, saya yakin bukan jalan yang dianggap mulus untuk jadi pengemis atau dianggap nasib miskin. Saya pernah menonton beberapa acara di televisi yang memuncukan ide kreatif para penyandang cacat untuk mengubah hidup dengan tidak jadi pengemis. Contoh di acara yang saya tonton namun sayang, saya lupa nama acaranya. Seorang penyandang cacat mampu menciptakan lapangan kerja dengan menciptakan home Industry membuat kaligrafi yang dibuat dari kaleng-kaleng minuman. Pera pekerja yang membatu pembuatan kaligrafi Al-Quran itu para pekerja yang keadaan fisiknya normal, dalam artian ia seorang penyandang cacat, mampu memberikan kehidupan pada orang-orang yang keadan fisiknya mungkin lebih lengkap tinimbang dia selaku bosnya.

Inilah salah satu palajaran atau hikamah pada kita bahwa, Allah memberikan kekurangan pada hambanya, tidak semata-mata ia tidak bisa berpikir untuk maju atau berubah dari keadannya pada saat itu. Mungkin lebih tepatnya kita selaku hamba Allah, kalau mau berpijak pada ayat yang berbunyi “Allah tidak akan mengubah suatu kaum kalau kaum tersebut tidak akan mengubahnya” kalimat ini bukan selogan tapi bisa menjadi sumber inspirasi bagi manusia di muka bumi ini, untuk terus inovasi dalam hidupnya, sekalipun kegagalan atau ketak mungkinan itu terjadi. Tapi satu usaha memerlukan sebuah pengorbanan yang kelak akan jadi tolak ukur, bagi manusia yang hendak merenungkan perjuangan diri dalam meraih kesuksesannya.

Saya yakin seorang penyandang cacat yang saya ceritakan di atas tidak lantas sukses menjadi pengusahan kaligrafi Al-Quran, Ia dalam awal hidupnya tidak semulus yang kita bayangkan. Ia dalam menjalankan hidupnya penuh dengan hinan, comoohan dan lain sebagainya, tapi bagi ia sendiri hal seperti itu dijadikan pembawa semangat hidupnya untuk mengubah hidupnya. Bagaimana ketika ia hidup di pesantren, ia mencoba belajar membaca, menghapal, dan menulis bahkan sampai ia mampu mefisualisasikan imajinasinya, lewat kaleng bekas minuman. Ketika hasil karyanya selesai, ternyata bisa terjual dengan harga Rp.100 ribu per kaligrafinya bahkan lebih.

Bahkan dari keteranganya ia dalam memasarkan karyanya, ia tidak sampai menjual langsungkepembeli, ada tetangganya yang bertindak sebagai penjual melalui si pemesan. Ini juga salah satu ruang kehidupan atau nafkah bagi masyarakat setempat. Sungguh indah sekali apabila kita rasakan dengan menikmati kemampuan si penyandang cacat tersebut. Ia bukan saja sanggup memberikan rizki bagi pekerjanya, tapi ia mampu memberikan rizki pada tetangganya yang bukan pekerjanya. Seandainya semua orang bisa menerima keadanya yang dianggap kurang, tapi tidak menutup ruang usaha yang lebih mulya dari orang yang apabila kita lihat lengakapn keadaan fisiknya, entah keadaan mentalnya. Disnilah kita bisa memetik hikmah tentang kedahsyatan ruang pikir manusia, sanggup menembus batas dimensi runag fisik yang lengkap. Mungkin ini keagungan Allah dalam menciptakan makhluknya yang musti direnungkan makhluknya.

Sungguh kemampuan yang sangat mulya, kemampuan yang dahsyat seorang penyandang cacat sanggup mengubah roda perekonomian orang. tapi, saya pernah menonton sebuah tayangan kebohongan pengemis yang berpura-pura menjadi orang cacat dengan berbagai teknik dan gaya ia mainkan di kota pengais rezki. Awalnya mungkin orang-orang akan memandang iba dan pasti akan memberi, tapi setelah diperlihatkan pada khalayak bahwa yang menjadi orang cacat itu, bukan orang cacat, melaikan orang yang kalau dibuka kedoknya ia adalah orang yang mempunyai fisik normal. Ini salah satu penyakit manusia yang sempit dalam menyisikapi hidup dan tak pernah berkaca pada kehidupan orang yang sukses. Walaupun sulit untuk berusaha, seharusnya belajar dari kesulitan tersebut artinya kenapa sulit? Pasti aka nada pertanyaan tentang kemudahan yang mulya dimata Allah dan makhluk Allah.

Tuna Netra Sanggup Melahirkan Para Hafizd

Di pesantren tepatnya di wilayah Bogor, dikutip di Majalah Sabili seorang ulama tunanetra. Nama pesantren adalah Mambul Furqan, sebuah pondok pesantren tradisionil yang sangat sederhana. Terletak dipematang sawah yang terbentang luas sepanjang mata memandang. Tepatnya di desa Bojong Kerekhel, Leuwiliang, Bogor, Jawa Barat. Dari pondok ini telah lahir dan bermunculan sekian banyak huffaz al-Quran ternyata hasil dari manajemen dan bibanaan langsung seorang dai tuna netra, yaitu KH. Abdullah Ma’shum.

Salah seorang santrinya, sebut saja Wahyudi, yang berasal dari Banten sudah tiga tahun mondok di pesantren ini punya kesan tersendiri pada gurunya, Abdullah Ma’shun. Santri hafizh tamatan STM ini berkomentar, “Alhamdulillah, berkat bimbingan KH. Abdullah Ma’sum saya dapat menyempurnakan hafalan al-Qur’an saya dengan baik. Sebelumnya saya beberapa kali mondok di pesantren, tapi kerap kali tidak berhasil. Di pondok ini inspirasi untuk merampungkan hafalan hingga 30 juz penuh selalu menguat”

Kepercayaan masyarakat atas kemampuan KH. Abdullah Ma’shum mencetak kader-kader dai muda semakin tumbuh. Beberapa lembaga pendidikan Islam di sekitarnya, bahkan juga dari luar kota berkali-kali meminta bantuan SDM dalam bidang penghafalan al-Qur’an. Tidak berlebihan bila dai kita yang satu ini dikatakan sebagai aset umat. Keberhasilannya dalam menjalankan roda dakwahtidak hanya sebatas internal, tapi juga eksternal. Sudah enam orang nonmuslim diislamkan olehnya. Keikhlasan dalam menjalankan kiprahnya patut dijadikan teladan.

Dai yang berusia 52 tahun ini memiliki keluarga yang sangat sederhana dengan seorang istri dan empat orang anak. Walau kondisinya cacat, ia mampu melaksanakan kewajibannya sebagai kepala rumah tangga yang bertanggung jawab dengan memberikan nafkah keluarganya dari rizki yang halal. Padahal ia tak pernah memungut bayaran dari para orang tua santri atau mendapat bantuan dari lembaga dakwah nasional maupun iternasional. Untuk menutupi kebutuhan keluarga, ia merasa cukup dengan hasil olah sebidang tanahnya yang dimanfaatkan senagai garapan sawah. Hingga kini ia tetap kuat memegang prinsip bahwa manusia harus hidup dengan izzah, tidak boleh menghinakan diri dengan meminta-minta. (dilutip utuh dari majalah Sabili tanggal 19 Juni 2003).

Olimpiade Olahraga Penyandang Cacat

Malam itu saya berkumpul di rumahnya pak Pras dalam pengayaan bisnis keling, dengan mengudang pemateri dari Jakarta. Awalnya bisa-biasa saja, karena pengayaan tersebut tak jauh dengan bisnis serupa keling lainnya, tapi ketika salah satu pemateri dari bapak-bapak menampilkan CD olimpiade penyandang cacat dunia. Saya merasa ada yang berbeda dengan tempilan CD tersebut, dalam hati. Mereka saja sanggup mengubah diri mereka sampai titik harapan mereka. Apalagi kita yang mempunyai fisik lebih lengkap tinimbang mereka.

yang membuat terenyuh penulis mengenai tampilan olimpiade tersebut, peserta olimpiade renang kalau tidak salah ada salah satu peserta yang tak memiliki kaki, tapi dia sanggup menuju finish dengan kecepatan renang melebihi orang normal. Bergitupun denga peserta olimpiade lari penulis menyaksikan penyandang cacat yang tidak bisa menatap dunia ini. Tapi ia sanggup mengcapai garis finish dengan mulus bahkan menempati urutan pertama. Penulispun sempat menonton penyandang cacat yang tak memiliki kaki satu. Dengan kaki satu ia berlari, serupa loncatan kecil persis seperti orang yang lari dalam keadaan pincang dan melompat ke galang yang begitu tinggi.

Jangan Cemas Dengan Anak Cacat

Para ibu yang diberikan amanah oleh Allah untuk mengurus anak-anaknya jangan lah kecewa, ingat pepetah Khalil Gibran “anak-anak adalah laksana panah dan para orang tua dalam cinta, keindahan, kesunyian adalah busur panah. Busur panah yang membidik an kemana anak panah akan meluncur. Namun Gibran juga mengingatkan bahwa anak-anak mu bukan sepenuhnya milikmu. Mereka akan melangkah ke mana mereka mau. Kemana mereka punya cita-cita tentunya dengan dorongan para pengasuh atau orang tuanya.

Sungguh saya menulis ini tidak ada niatan untuk menyinggung tapi, harapan saya menulis ini agar dapat dijadikan pelajaran oleh manusia yang mau berpikir maju kedepan. Saya juga mohon maaf apabila ada yang tersinggung, tapi, walaupun ada yang tersinggung, semoga ketersinggungan ini bisa menjadikan motivasi hidup kedepan.

pesantren liwiliang bogor

Bagi ibu-ibu atau bapak-bapak atau muda mudi yang suka jalan-jalan ke kota Jakarta, pasti kita sering menemukan beberapa pengemis mengais rizki di kota ini. Dengan kemampuan alamiah para pengemis seolah menjadi aktor di jalanan bersaing dengan pedagang asongan. Terlihat beberapa pengemis dalam menjalankan tugasnya tidak seragam dalam bertindak, mungkin ada yang seperti orang pincang, berwajah kumal, memanfaatkan anak kecil, orang buta, dan bentuk lainnya bermacam-macam ditemukan disana. Aneka peran mereka mainkan namun, sayang mereka berbuat seperti itu bukan membuat sadar untuk berpikir kreatif, malah dijadikan nafkah keseharian mereka, sepertinya tak pernah ada niatan untuk berubah atau mengubah hidupnya yang lebih mulya.

Kemiskinan yang terjadi pada penyandang cacat atau karena tak mampu mengatasi kehidupan, saya yakin bukan jalan yang dianggap mulus untuk jadi pengemis atau dianggap nasib miskin. Saya pernah menonton beberapa acara di televisi yang memuncukan ide kreatif para penyandang cacat untuk mengubah hidup dengan tidak jadi pengemis. Contoh di acara yang saya tonton namun sayang, saya lupa nama acaranya. Seorang penyandang cacat mampu menciptakan lapangan kerja dengan menciptakan home Industry membuat kaligrafi yang dibuat dari kaleng-kaleng minuman. Pera pekerja yang membatu pembuatan kaligrafi Al-Quran itu para pekerja yang keadaan fisiknya normal, dalam artian ia seorang penyandang cacat, mampu memberikan kehidupan pada orang-orang yang keadan fisiknya mungkin lebih lengkap tinimbang dia selaku bosnya.

Inilah salah satu palajaran atau hikamah pada kita bahwa, Allah memberikan kekurangan pada hambanya, tidak semata-mata ia tidak bisa berpikir untuk maju atau berubah dari keadannya pada saat itu. Mungkin lebih tepatnya kita selaku hamba Allah, kalau mau berpijak pada ayat yang berbunyi “Allah tidak akan mengubah suatu kaum kalau kaum tersebut tidak akan mengubahnya” kalimat ini bukan selogan tapi bisa menjadi sumber inspirasi bagi manusia di muka bumi ini, untuk terus inovasi dalam hidupnya, sekalipun kegagalan atau ketak mungkinan itu terjadi. Tapi satu usaha memerlukan sebuah pengorbanan yang kelak akan jadi tolak ukur, bagi manusia yang hendak merenungkan perjuangan diri dalam meraih kesuksesannya.

Saya yakin seorang penyandang cacat yang saya ceritakan di atas tidak lantas sukses menjadi pengusahan kaligrafi Al-Quran, Ia dalam awal hidupnya tidak semulus yang kita bayangkan. Ia dalam menjalankan hidupnya penuh dengan hinan, comoohan dan lain sebagainya, tapi bagi ia sendiri hal seperti itu dijadikan pembawa semangat hidupnya untuk mengubah hidupnya. Bagaimana ketika ia hidup di pesantren, ia mencoba belajar membaca, menghapal, dan menulis bahkan sampai ia mampu mefisualisasikan imajinasinya, lewat kaleng bekas minuman. Ketika hasil karyanya selesai, ternyata bisa terjual dengan harga Rp.100 ribu per kaligrafinya bahkan lebih.

Bahkan dari keteranganya ia dalam memasarkan karyanya, ia tidak sampai menjual langsungkepembeli, ada tetangganya yang bertindak sebagai penjual melalui si pemesan. Ini juga salah satu ruang kehidupan atau nafkah bagi masyarakat setempat. Sungguh indah sekali apabila kita rasakan dengan menikmati kemampuan si penyandang cacat tersebut. Ia bukan saja sanggup memberikan rizki bagi pekerjanya, tapi ia mampu memberikan rizki pada tetangganya yang bukan pekerjanya. Seandainya semua orang bisa menerima keadanya yang dianggap kurang, tapi tidak menutup ruang usaha yang lebih mulya dari orang yang apabila kita lihat lengakapn keadaan fisiknya, entah keadaan mentalnya. Disnilah kita bisa memetik hikmah tentang kedahsyatan ruang pikir manusia, sanggup menembus batas dimensi runag fisik yang lengkap. Mungkin ini keagungan Allah dalam menciptakan makhluknya yang musti direnungkan makhluknya.

Sungguh kemampuan yang sangat mulya, kemampuan yang dahsyat seorang penyandang cacat sanggup mengubah roda perekonomian orang. tapi, saya pernah menonton sebuah tayangan kebohongan pengemis yang berpura-pura menjadi orang cacat dengan berbagai teknik dan gaya ia mainkan di kota pengais rezki. Awalnya mungkin orang-orang akan memandang iba dan pasti akan memberi, tapi setelah diperlihatkan pada khalayak bahwa yang menjadi orang cacat itu, bukan orang cacat, melaikan orang yang kalau dibuka kedoknya ia adalah orang yang mempunyai fisik normal. Ini salah satu penyakit manusia yang sempit dalam menyisikapi hidup dan tak pernah berkaca pada kehidupan orang yang sukses. Walaupun sulit untuk berusaha, seharusnya belajar dari kesulitan tersebut artinya kenapa sulit? Pasti aka nada pertanyaan tentang kemudahan yang mulya dimata Allah dan makhluk Allah.

Tuna Netra Sanggup Melahirkan Para Hafizd

Di pesantren tepatnya di wilayah Bogor, dikutip di Majalah Sabili seorang ulama tunanetra. Nama pesantren adalah Mambul Furqan, sebuah pondok pesantren tradisionil yang sangat sederhana. Terletak dipematang sawah yang terbentang luas sepanjang mata memandang. Tepatnya di desa Bojong Kerekhel, Leuwiliang, Bogor, Jawa Barat. Dari pondok ini telah lahir dan bermunculan sekian banyak huffaz al-Quran ternyata hasil dari manajemen dan bibanaan langsung seorang dai tuna netra, yaitu KH. Abdullah Ma’shum.

Salah seorang santrinya, sebut saja Wahyudi, yang berasal dari Banten sudah tiga tahun mondok di pesantren ini punya kesan tersendiri pada gurunya, Abdullah Ma’shun. Santri hafizh tamatan STM ini berkomentar, “Alhamdulillah, berkat bimbingan KH. Abdullah Ma’sum saya dapat menyempurnakan hafalan al-Qur’an saya dengan baik. Sebelumnya saya beberapa kali mondok di pesantren, tapi kerap kali tidak berhasil. Di pondok ini inspirasi untuk merampungkan hafalan hingga 30 juz penuh selalu menguat”

Kepercayaan masyarakat atas kemampuan KH. Abdullah Ma’shum mencetak kader-kader dai muda semakin tumbuh. Beberapa lembaga pendidikan Islam di sekitarnya, bahkan juga dari luar kota berkali-kali meminta bantuan SDM dalam bidang penghafalan al-Qur’an. Tidak berlebihan bila dai kita yang satu ini dikatakan sebagai aset umat. Keberhasilannya dalam menjalankan roda dakwahtidak hanya sebatas internal, tapi juga eksternal. Sudah enam orang nonmuslim diislamkan olehnya. Keikhlasan dalam menjalankan kiprahnya patut dijadikan teladan.

Dai yang berusia 52 tahun ini memiliki keluarga yang sangat sederhana dengan seorang istri dan empat orang anak. Walau kondisinya cacat, ia mampu melaksanakan kewajibannya sebagai kepala rumah tangga yang bertanggung jawab dengan memberikan nafkah keluarganya dari rizki yang halal. Padahal ia tak pernah memungut bayaran dari para orang tua santri atau mendapat bantuan dari lembaga dakwah nasional maupun iternasional. Untuk menutupi kebutuhan keluarga, ia merasa cukup dengan hasil olah sebidang tanahnya yang dimanfaatkan senagai garapan sawah. Hingga kini ia tetap kuat memegang prinsip bahwa manusia harus hidup dengan izzah, tidak boleh menghinakan diri dengan meminta-minta. (dilutip utuh dari majalah Sabili tanggal 19 Juni 2003).

Olimpiade Olahraga Penyandang Cacat

Malam itu saya berkumpul di rumahnya pak Pras dalam pengayaan bisnis keling, dengan mengudang pemateri dari Jakarta. Awalnya bisa-biasa saja, karena pengayaan tersebut tak jauh dengan bisnis serupa keling lainnya, tapi ketika salah satu pemateri dari bapak-bapak menampilkan CD olimpiade penyandang cacat dunia. Saya merasa ada yang berbeda dengan tempilan CD tersebut, dalam hati. Mereka saja sanggup mengubah diri mereka sampai titik harapan mereka. Apalagi kita yang mempunyai fisik lebih lengkap tinimbang mereka.

yang membuat terenyuh penulis mengenai tampilan olimpiade tersebut, peserta olimpiade renang kalau tidak salah ada salah satu peserta yang tak memiliki kaki, tapi dia sanggup menuju finish dengan kecepatan renang melebihi orang normal. Bergitupun denga peserta olimpiade lari penulis menyaksikan penyandang cacat yang tidak bisa menatap dunia ini. Tapi ia sanggup mengcapai garis finish dengan mulus bahkan menempati urutan pertama. Penulispun sempat menonton penyandang cacat yang tak memiliki kaki satu. Dengan kaki satu ia berlari, serupa loncatan kecil persis seperti orang yang lari dalam keadaan pincang dan melompat ke galang yang begitu tinggi.

Jangan Cemas Dengan Anak Cacat

Para ibu yang diberikan amanah oleh Allah untuk mengurus anak-anaknya jangan lah kecewa, ingat pepetah Khalil Gibran “anak-anak adalah laksana panah dan para orang tua dalam cinta, keindahan, kesunyian adalah busur panah. Busur panah yang membidik an kemana anak panah akan meluncur. Namun Gibran juga mengingatkan bahwa anak-anak mu bukan sepenuhnya milikmu. Mereka akan melangkah ke mana mereka mau. Kemana mereka punya cita-cita tentunya dengan dorongan para pengasuh atau orang tuanya.

Sungguh saya menulis ini tidak ada niatan untuk menyinggung tapi, harapan saya menulis ini agar dapat dijadikan pelajaran oleh manusia yang mau berpikir maju kedepan. Saya juga mohon maaf apabila ada yang tersinggung, tapi, walaupun ada yang tersinggung, semoga ketersinggungan ini bisa menjadikan motivasi hidup kedepan.

Jumat, 07 Agustus 2009

kiai kholil 2

SILSILAH NASAB Kyai Kholil Bangkalan

Syekh Kholil adalah titisan beberapa wali yang tergabung dalam Walisongo, Yaitu Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Gunung Jati dan Sunan Kudus, yang mana mereka bermarga Azmatkhanâ dan bersambung pada Sayyid Alawi Ammil Faqih bin Muhammad Shahib Mirbath. Beliau juga bernasab pada keluarga Basyaiban yang bersambung pada Al-Imam Muhammad Al-Faqih Al-Muqaddam bin Ali bin Muhammad Shahib Mirbat Al-Alawi Al-Husaini.
Berikut ini adalah silsilah nasab Syekh Syekh Kholil, terlebih dahulu saya tulis silsilah jalur laki-laki yang bersambung pada Suanan Kudus, untuk menunjukkan hak beliau dalam menggunakan nama belakang (marga/fam) Azmatkhan Al-Alawi Al-Husaini, sesuai dengan adat dan istilah pernasaban bangsa Arab.

Jalur Sunan Kudus
1. Syekh Muhammad Kholil Bangkalan.
2. Kiai Abdul Lathif. Dimakamkan di Bangkalan.
3. Kiai Hamim. Dimakamkan di Tanjung Porah, Lomaer, Bangkalan.
4. Kiai Abdul Karim.
5. Kiai Muharram. Dimakamkan di Banyo Ajuh, Bangkalan.
6. Kiai Abdul Azhim. Dimakamkan di Tambak Agung, Sukalela, Labeng, Bangkalan.
7. Kiai Sulasi. Dimakamkan di Petapan, Trageh, Bangkalan.
8. Kiai Martalaksana. Dimakamkan di Banyu Buni, Gelis, Bangkalan.
9. Kiai Badrul Budur. Dimakamkan di Rabesan, Dhuwwek Buter, Kuayar, Bangkalan.
10. Kiai Abdur Rahman (Bhujuk Lek-palek). Dimakamkan di Kuanyar, Bangkalan.
11. Kiai Khatib. Ada yang menulisnya ratib. Dimakamkan di Pranggan, Sumenep.
12. Sayyid Ahmad Baidhawi (Pangeran Ketandar Bangkalan). Di makamkan di Sumenep.
13. Sayyid Shaleh (Panembahan Pakaos). Dimakamkan di Ampel Surabaya.
14. Sayyid Jaâkfar Shadiq (Sunan Kudus). Dimakamkan di Kudus.
15. Sayyid Utsman Haji (Sunan Ngudung). Di makamkan di Kudus.
16. Sayyid Fadhal Ali Al-Murtadha (Raden Santri /Raja Pandita). Dimakamkan di Gresik.
17. Sayyid Ibrahim (Asmoro). Dimakamkan di Tuban.
18. Sayyid Husain Jamaluddin. Dimakamkan di Bugis.
19. Sayyid Ahmad Syah Jalaluddin. Dimakamkan di Naseradab, India.
20. Sayyid Abdullah. Dimakamkan di Naserabad, India.
21. Sayyid Abdul Malik Azmatkhan. Dimakamkan di Naserabad, India.
22. Sayyid Alawi âkAmmil Faqih. Dimakamkan di Tarim, Hadramaut, Yaman.
23. Sayyid Muhammad Shahib Mirbath. Dimakamkan di Zhifar, Hadramaut, Yaman.
24. Sayyid Ali Khaliâ Qasam. Dimakamkan di Tarim, Hadramaut, Yaman.
25. Sayyid Alawi. Dimakamkan di Bait Jabir, Hadramaut, Yaman.
26. Sayyid Muhammad. Dimakamkan di Bait Jabir, Hadramaut, Yaman.
27. Sayyid Alawi. Dimakamkan di Sahal, Yaman.
28. Sayyid Abdullah/Ubaidillah. Dimakamkan di Hadramaut, Yaman.
29. Al-Imam Ahmad Al-Muhajir . Dimakamkan di Al-Husayyisah, Hadramaut, Yaman.
30. Sayyid Isa An-Naqib. Dimakamkan di Bashrah, Iraq.
31. Sayyid Muhammad An-Naqib. Dimakamkan di Bashrah, Iraq.
32. Al-mam Ali Al-Uradhi. Dimakamkan di Al-Madinah Al-Munawwarah.
33. Al-Imam Jaâkfar Ash-Shadiq. Dimakamkan di Al-Madinah Al-Munawwarah.
34. Al-Imam Muhammad Al-Baqir. Dimakamkan di Al-Madinah Al-Munawwarah.
35. Al-Imam Ali Zainal Abidin. Dimakamkan di Al-Madinah Al-Munawwarah.
36. Sayyidina Husain bin Ali bin Abi Thalib. Dimakamkan di Karbala, Iraq.
37. Sayyidatina Fathimah Az-Zahraâ binti Sayyidina Muhammad Rasulillah SAW.
Dimakamkan di Madinah Al-Munawwarah
Maka, dari jalur Sunan Kudus, Syekh Kholil adalah generasi ke-37 dari Rasulullah SAW.

Jalur Sunan Ampel
1. Syekh Muhammad Kholil Bangkalan.
2. Kiai Abdul Lathif. Dimakamkan di Bangkalan.
3. Kiai Hamim. Dimakamkan di Tanjung Porah, Lomaer, Bangkalan.
4. Kiai Abdul Karim.
5. Kiai Muharram. Dimakamkan di Banyo Ajuh, Bangkalan.
6. Kiai Abdul Azhim. Dimakamkan di Tambak Agung, Sukalela, Labeng, Bangkalan.
7. Nyai Tepi Sulasi (Istri Kiai Sulasi). Dimakamkan di Petapan, Trageh, Bangkalan.
8. Nyai Komala. Dimakamkan di Kuanyar, Bangkalan.
9. Sayyid Zainal Abidin (Sunan Cendana). Dimakamkan di Kuanyar, Bangkalan.
10. Sayyid Muhammad Khathib (Raden Bandardayo). Dimakamkan di Sedayu Gresik.
11. Sayyid Musa (Sunan Pakuan). Dimakamkan di Dekat Gunung Muria Kudus. Dalam sebagian catatan nama Musa ini tidak tertulis.
12. Sayyid Qasim (Sunan Drajat). Dimakamkan di Drajat, Paciran Lamongan.
13. Sayyid Ahmad Rahmatullah (Sunan Ampel). Dimakamkan di Ampel, Surabaya.
14. Sayyid Ibrahim Asmoro Tuban. Disini nasab Nyai Sulasi dan Kiai Sulasi bertemu.
Maka, melalui jalur Sunan Ampel, Syekh Kholil adalah generasi ke-34 dari Rasulullah SAW.
Jalur Sunan Giri
1. Syekh Muhammad Kholil Bangkalan.
2. Kiai Abdul Lathif. Dimakamkan di Bangkalan.
3.Kiai Hamim. Dimakamkan di Tanjung Porah, Lomaer, Bangkalan.
4. Kiai Abdul Karim.
5. Kiai Muharram. Dimakamkan di Banyo Ajuh, Bangkalan.
6. Kiai Abdul Azhim. Dimakamkan di Tambak Agung, Sukalela, Labeng, Bangkalan.
7. Nyai Tepi Sulasi (Istri Kiai Sulasi). Dimakamkan di Petapan, Trageh, Bangkalan.
8. Nyai Komala. Dimakamkan di Kuanyar, Bangkalan.
9. Sayyid Zainal Abidin (Sunan Cendana). Dimakamkan di Kuanyar, Bangkalan.
10. Nyai Gede Kedaton (istri Sayyid Muhammad Khathib). Dimakamkan di Giri, Gresik.
11. Panembahan Kulon. Dimakamkan di Giri, Gresik.
12. Sayyid Muhammad Ainul Yaqin (Sunan Giri). Dimakamkan di Giri, Gresik.
13. Maulana Ishaq. Dimakamkan di Pasai.
14. Sayyid Ibrahim Asmoro Tuban. Disini nasab Nyai Gede Kedaton dan Sayyid Muhammad Khathib bertemu.
Maka, melalui jalur Sunan Giri, Syekh Kholil adalah generasi ke-34 dari Rasulullah SAW.

Jalur Sunan Gunung Jati
1. Syekh Muhammad Kholil Bangkalan.
2. Kiai Abdul Lathif. Dimakamkan di Bangkalan.
3. Nyai Khadijah (Istri Kiai Hamim). Dimakamkan di Bangkalan.
4. Kiai Asror Karomah.
5. Sayyid Abdullah.
6. Sayyid Ali Al-Akbar.
7. Sayyid Sulaiman. Dimakamkan di Mojo Agung, Jombang.
8. Syarifah Khadijah.
9. Maulana Hasanuddin. Dimakamkan di Banten.
10. Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). Dimakamkan di Cirebon.
11. Sayyid Abdullah Umdatuddin.
12. Sayyid Ali Nuruddin/Nurul Alam.
13. Sayyid Husain Jamaluddin Bugis. Disini nasab Nyai Khadijah dan Kiai Hamim Kholil bertemu.
Maka, melalui jalur Sunan Gunung Jati, Syekh Kholil adalah generasi ke-32 dari Rasulullah SAW.

Jalur Basyaiban
1. Syekh Muhammad Kholil Bangkalan.
2. Kiai Abdul Lathif. Dimakamkan di Bangkalan.
3. Nyai Khadijah (Istri Kiai Hamim). Dimakamkan di Bangkalan.
4. Kiai Asror Karomah.
5. Sayyid Abdullah.
6. Sayyid Ali Al-Akbar.
7. Sayyid Sulaiman. Dimakamkan di Mojo Agung, Jombang.
8. Sayyid Abdurrahman (Suami Syarifah Khadijah binti Hasanuddin).
9. Sayyid Umar.
10. Sayyid Muhammad.
11. Sayyid Abdul Wahhab.
12. Sayyid Abu Bakar Basyaiban.
13. Sayyid Muhammad.
14. Sayyid Hasan At-Turabi.
15. Sayyid Ali.
16. Al-Imam Muhammad Al-Faqih Al-Muqaddam.
17. Saayid Ali.
18. Sayyid Muhammad Shahib Mirbat. Disini nasab keluarga Azmatkhan dan Basyaiban bertemu.
Maka, melalui jalur Sayyid Abdurrahman Basyaiban, Syekh Kholil adalah generasi ke-32 dari Rasulullah SAW.
Demikianlah nasab Syekh Kholil dengan berbagai jalur yang saya dapatkan sampai saat ini, bisa jadi suatu hari nanti kita menemukan nama-nama baru daripada istri-istri jalur laki-laki yang ada itu.
Dalam hal pencatatan nasab, ada satu hal yang cukup membanggakan bagi Kiai-kiai Jawa dan Madura. Berkat gabungan antara adat Arab dalam menjaga silsilah dan adat Jawa/Madura yang tidak membeda-bedakan garis laki-laki dan perempuan, akhirnya Kiai-Kiai Jawa/Madura banyak yang memliki silsilah lengkap dari berbagai jalur.
Saya pernah menunjukkan sebuah silsilah seperti ini pada seorang Syekh dari Yaman, beliau merasa kagum karena banyak jalur perempuan yang juga dicatat dalam silsilah itu selain jalur laki-laki, karena pada umumnya, orang Arab tidak tahu nama-nama kakek-buyutnya yang dari jalur ibu atau jalur nenek, mereka hanya mengenal yang jalur ayah keatas dengan garis laki-laki.
Diambil dari catatan Syekh Kholil sendiri pada akhir terjemah beliau atas kitab Alfiyah Ibnu Malik pada tahun 1294 H. Beliau menulis nama beliau dengan: Muhammad Kholil bin Hamim bin Abdul Karim bin Muharrom. Lihat lampiran Banyak orang yang tidak mencatat nama Abdul Karimâ dan Muharromâ dalam silsilah Syekh Kholil.
Padahal sudah jelas tertera pada kitab tulisan tangan Syekh Kholil. Nasab ini juga diperkuat oleh penuturan Kiai Faqih Konang (Loamer Bangkalan). Kiai Faqih meninggal pada tahun 2006 dalam usia lebih dari 120 tahun. Setahun sebelum meninggal, saya bertemu dengan beliau untuk mengambil riwayat tentang kiai-kiai keturunan Sunan Cendana Kuanyar. Kami pun berbincang-bincang selama kurang lebih empat jam dalam dua kali pertemuan, sampai membuat tamu-tamu yang lain mengantri lama di luar. Beliau sangat gembira dengan kedatagan saya, apalagi dalam rangka mengumpulkan riwayat Kiai-kiai sepuh, sehingga beliaupun memaksa untuk berbicara banyak walapun kondisi tubuh beliau sangat lemah, biasanya beliau menerima tamu hanya sekitar lima menit. Waktu itu saya ditemani oleh Kiai Khozin Bungkak.
Sebagian perbincangan itu sempat saya rekam dan saya tulis. Diantara yang beliau sebutkan adalah bahwa Nyai Sulasi (cucu Sunan Cendana) dengan Kiai Sulasi memiliki putra bernama Kiai Abdul Fattah, Kiai Abdul Fattah mempunyai beberapa putra diantaranya bernama Kiai Abdul Azhim, dan di antara putra Kiai Abdul Azhim adalah Kiai Muharrom yang menurunkan Syekh Kholil Bangkalan.
Sampai saat ini saya belum menemukan catatan yang mencantumkan nama Abdul Fattah, maka dari itu dalam silsilah ini saya tidak memasukkanya, karena saya lebih menguatkan yang ada catatannya. Malah saya punya perkiraan bahwa Abdul Fattah itu adalah nama asli Kiai Sulasi, barangkali saja Kiai Faqih salah dengar atau salah ucap. Sulasi itu bukan nama orang, melainkan nama tempat yang asalnya adalah Selase. Di juluki Kiai Sulasi karena tinggal di Selase itu.
Nah, mungkin saja Abdul Fattah adalah nama asli beliau sehingga riwayat Kiai Faqih menjadi rancu antara Kiai Sulasi dan Kiai Abdul Fattah. Riwayat Kiai Faqih tentang Kiai Muharrom ini lebih menguatkan catatan yang ada dalam kitab Syekh Kholil.
Berdasarkan riwayat Kiai Faqih.
Nama-nama mulai dari Kiai Abdul Azhim sampai ke Raden Santri saya dapatkan dari Kiai Fauzi Lomaer. Beliau mendapatkan dari catatan keluarga Bani Muqiman bin Hamim. Menurut catatan Kiai Fauzi, beliau inilah yang terkenal dengan julukan Mbah Sholeh murid Sunan Ampel.
Ada yang menulis Sunan Kudus sebagai putra Sunan Ampel, terasuk Sayyid Dhiya Syihab dalam taâkliq kitab Syams Azh-Zhahirahâ. Namun yang saya lihat dalam banyak catatan silsilah yang dipegang Kiai-kiai di berbagai tempat adalah bahwa ibu Sunan Kudus bernama Nyai Anom Manyuran binti Nayi Ageng Manyuran binti Sunan Ampel.
Sampai saat ini banyak kalangan tertentu yang terlalu fanatik dengan kitab Syams Azh-Zhahirahâ dan takliqnya, sehingga ada semacam pemahaman bahwa kalau tidak ada dalam kitab tersebut atau bertentangan dengan kitab tersebut berarti tidak sah. Padahal, saya lihat kitab itu banyak kelemahan riwayatnya ketika berbicara tentang Walisongo yang dari keluarga Azmatkhan. Hal itu sebenarnya dapat dimaklumi, karena kitab tersebut dutulis tidak berdasarkan kumpulan riwayat yang tersebar di berbagai tempat. penulis taâkliq kitab tersebut hanya menulis berdasarkan riwayat beberapa orang yang sempat beliau temui, karena beliau tidak banyak waktu untuk mengunjungi semua Kiai dan menanyai silsilah mereka.
Namun begitu, beliau telah melakukan hal yang besar dengan memperkenalkan Sunan-sunan keluarga Azmatkhan pada Alawiyyin di Arab. Hanya saja, sangat disayangkan karena kemudian tidak ada dari kalangan mereka yang menindaklanjuti langkah beliau dengan menulusuri keturunan Sunan-sunan itu.
Hal ini kemudian menimbulkan suatu asumsi yang tidak ilmiyah di kalangan awam mereka, yaitu dengan menganggap bahwa yang tidak tercatat dalam taâkliq Syams Azh-Zhahirahâ berarti tidak sah. Apalagi sering terdengar komentar sinis dari kalangan awam itu bahwa Sunan-sunan tidak punya keturunan laki-laki, karena anak-anak mereka yang laki-laki meninggal sebelum punya anak. Padahal, Sayyid Dhiyaâ Syihab dalam taâliq Syams Azh-Zhahirahâ jelas menulis nama-nama Kiai yang beliau ambil riwayatnya dengan mengatakan bahwa mereka masih keturunan Sunan.
Demikian pula dengan Sayyid HMH Al-Hamid, dalam buku Pembahasan Tuntas Tetang Khilafiahâ, beliau juga menyatakan bahwa banyak sekali Kiai-kiai yang bernasab pada Sunan-sunan Azmatkhan dengan garis laki-laki.
Dalam Taliq Syams Azh-Zhahirahâ, Sunan Ngudung ditulis sebagai putra Ali Nuruddin bin Husain Jamaluddin. Berarti Sunan Ngudung adalah saudara kandung ayah Sunan Gunung Jati. Sementara keraton Cirebon tidak mengenal nama Sunan Ngudung sebagai kerabat dekat. Seandainya Sunan Ngudung adalah paman kandung Sunan Gunung Jati, maka tentu bangsawan Cirebon akan mencatat nama beliau sebagaimana nama Falatehan yang menjadi menantu Sunan Gunung Jati. Ditambah lagi dengan riwayat masyhur dalam catatan silsilah Kiai-kiai yang menyatakan bahwa Sunan Ngudung adalah mantu cucu Sunan Ampel. Selain itu, Sunan Ngudung populer di zaman Kesultanan Demak sepeninggal Sunan Ampel, maka hitungan tahunnya lebih layak kalau Sunan Ngudung menjadi keponakan Sunan Ampel daripada menjadi paman Sunan Gunung Jati. Mengingat Taâkliq Syams Azh-Zhahirahâ tidak menyebut referensinya, maka saya lebih menguatkan silsilah yang menyebut Sunan Ngudung bin Raden Santri, karena silsilah ini ditulis dengan jelas dalam banyak catatan Kiai-Kiai. Mungkin saja, yang membuat rancu referensi Syams Azh-Zhahirahâ adalah nama Ali, karena nama Raden santri dan kakek Sunan Gunung Jati sama-sama ada Alinya. Kalau Raden Santri bernama asli âFadhal Ali Al-Murtadhaâ sedangkan kakek Sunan Gunung Jati bernama Ali Nuruddin atau yang oleh sebagian orang ditulis Ali Nurul Alam.
Nama ini sering dibuat rancu oleh banyak orang. Mereka menganggap bahwa Ibrahim ini adalah Maulana Malik Ibrahim. Adapun Maulana Malik Ibrahim adalah putra Barakat Zainul Alam bin Husain Jamaluddin.
Banyak orang menyebutnya Syekh Jumadil Kubro. Dan ada banyak makam yang dinisbatkan pada Syekh Jumadil Kubro. Maka boleh jadi Syekh Jumadil Kubro itu adalah tahrif (salah ucap) dari beberapa nama. Adapun yang paling shahih adalah makam yang di Bugis, karena di sekitar makam itu terdapat banyak keluarga bangsawan yang bernasab pada beliau.
Banyak yang menulisnya Abdullah Khana. Ini adalah suatu kesalahan. Marga Khana itu bukan marga Sayyid, melainkan marga bangsawan Pakistan yang mengadopsi dari nama belakang penguasa-penguasa Mongol. Sejarah mencatat meratanya serbuan dan perampasan bangsa Mongol di belahan Asia. Diantara nama yang terkenal dari penguasa-penguasa Mongol adalah Khubilai Khan. Setelah Mongol menaklukkan banyak bangsa, maka muncullah Raja-raja yang diangkat atau diakui oleh Mongol dengan menggunakan nama belakang Khana, termasuk Raja Naserabad, India. Ketika Sayyid Abdul Malik (ayah Sayyid Abdullah) menjadi menantu bangsawan Naserabad, mereka bermaksud memberi beliau gelar Khanâ agar dianggap sebagai bangsawan setempat sebagaimana keluarga yang lain. Hal ini persis dengan cerita Sayyid Ahmad Rahmatullah ketika diberi gelar Raden Rahmat setelah menjadi menantu bangsawan Majapahit.
Namun karena Sayyid Abdul Malik dari bangsa syarif (mulia) keturunan Nabi, maka mereka menambah kalimat Azmat yang berarti mulia (dalam bahasa Urdu India) sehingga menjadi Azmatkhan. Dengan huruf arab, mereka menulis bukan dengan huruf latin mereka menulis Azmatkhan, bukan Adhomatu Khon atau dhimat Khona seperti yang ditulis sebagian orang. Tentang sejarah keluarga Azmatkhan mulai dari leluhur Sayyid Abdul Malik hingga Sunan-sunan Walisongo, saya telah menulisnya dengan panjang lebar dalam buku Dari Kanjeng Nabi Sampai Kanjeng Sunan.
Di Madura banyak silsilah dengan nama Khathib, termasuk ayah Sunan Cendana ini. Ketika orang-orang menemukan nama Khathib dan belum dapat bin siapanya, mereka cenderung mencari-cari nama Khathib dalam silsilah lain. Hal ini mengakibatkan adanya banyak kerancuan silsilah keatas seorang Khathib, termasuk Khathib ayah Sunan Cendana ini. Saya menguatkan nasab Sunan Cendana dengan silsilah Khathib bin Musa bin Qasim (Sunan Drajat), karena silsilah yang ini dipegang oleh banyak keluarga dari bani Sunan Cendana. Setahu saya, ada dua Khathib yang pernah terselip pada silsilah Sunan Cendana selain yang dipegang juru kunci, yaitu Khathib bin Syaab bin Sunan Ampel dan Khathib Panjang bin Panembahan Kidul bin Sunan Giri.
Kemudian ada satu hal yang perlu saya bicarakan mengenai silsilah antara Sunan Cendana dan Sunan Drajat. Ada seorang Arab yang dikenal ahli nasab dan kemudian mengusik nasab Sunan Cendana. Hal ini saya anggap perlu dibahas agar pembaca mengerti persoalannya kalau-kalau suatu saat mendengar omongan miring itu.
Awalanya begini, suatu ketika saya menunjukkan nasab seseorang yang bersambung pada Sunan Cendana. Ia pun merasa keberatan melihat catatan silsilah itu menunjukkan bahwa pemiliknya adalah keturunan ke-35 dari Rasulullah SAW. Sementara dia sendiri (si ahli nasab) yang lebih tua dari pemilik silsilah itu adalah keturunan ke-40. Kemudian si ahli nasab itu mengatakan bahwa silsilah itu meragukan sehingga sulit untuk menembus pengesahan Rabithah Alawiyah (Persatuan Alawiyyin keturuan Al-Hasan dan Al-Husain), karena saksi-saksi yang mengetahui langsung hubungan anak-beranak dari nama-nama dalam silsilah itu sudah meninggal semua. Tidak beberapa lama kemudian saya bertemu dengan Kiai Hannan (juru kunci makam Sunan Cendana). Ketika berbincang-bincang tentang nasab Sunan Cendana, Kiai Hannan berkata bahwa beberapa bulan yang lalu beliau berbincang-bincang dengan si ahli nasab itu, dia bilang bahwa antara Sunan Cendana dan Sunan Drajat itu ada sekitar empat nama yang hilang, mestinya bukan Sunan Cendana bin Khathib bin Sunan Drajat, melainkan setidaknya Sunan Cendana bin Khathib bin fulan bin fulan bin fulan bin fulan bin Sunan Drajat. Dengan cerita Kiai Hannan itu, saya baru paham mengapa si ahli nasab itu keberatan dengan silsilah keturunan Sunan Cendana, yaitu karena nasab keturunan Sunan Cendana kebanyakan sangat tinggi dibanding si ahli nasab, nampaknya ia keberatan untuk kalah tinggi dengan keturunan Sunan Cendana, sehingga ia pun berani berbohong meyakini ada sedikitnya empat nama yang hilang. Untuk itu saya kemukakan beberapa hal berikut:
1. Megenai saksi-saksi yang diminta itu, saya rasa itu adalah sangat berlebihan. Itsbat (membenarkan) nasab itu tidak harus ada saksi yang tahu langsung hubungan anak-beranak antara seseorang dengan ayahnya. Jangankan untuk orang lain, untuk kakek saya sendiri saja saya tidak bisa mendatangkan saksi yang tahu langsung bahwa kakek adalah putra buyut saya, saksi yang tahu langsung sudah meninggal semua, saya tahu itu dari ayah dan keluarga saya lainnya yang pernah bertemu kakek, sebagaimana mereka tahu tentang buyut mereka dari kakek. Itsbat itu cukup dengan riwayat, bahwa apabila ada riwayat tentang sebuah nasab yang diriwayatkan oleh orang-orang yang tsiqah (bisa dipercaya) secara turun temurun, apalagi sampai ada catatannya, maka hal itu sudah sangat cukup untuk itsbat nasab. Sedangkan catatan silsilah atas-bawah Sunan Cendana tersebar pada ratusan keluarga keturunan beliau yang rata-rata keluarga ulama besar.
Apakah kita masih menyangsikan catatan yang dipegang oleh semisal keluarga Syekh Kholil Bangkalan, Syekh Syamsuddin Ombhul (Sampang), Kiai Asad Syamsul Arifin (Asembagus), Kiai Hasan Genggong (Probolinggo), Kiai Abdur Rahim Sarang (Rembang Jawa Tengah) dan yang lain-lain? Mereka semua adalah ulama-ulama besar. Mereka adalah keturunan Sunan Cendana dan masing-masing memegang silsilah yang diterima turun temurun.
2. Kesimpulannya, silsilah antara keturunan Sunan Cendana yang sekarang hingga Sunan Cendana sama sekali tidak ada masalah. Maka masalahnya tinggal antara Sunan Cendana dan Sunan Drajat. Tadi disebutkan bahwa si ahli nasab menuduh ada sekitar empat nama yang hilang antara Sunan Cendana dan Sunan Derajat. Coba kita perhatikan berikut ini: Sejarah mencatat bahwa Sunan Derajat lahir sekitar tahun 1470 M. (+ 930 H.) Sedangkan menurut catatan turun temurun, Sunan Cendana hidup pada zaman Cakraningrat I Bangkalan, kira-kira tahun 1625. Berarti jarak antara Sunan Cendana dan Sunan Drajat sekitar 155 tahun. Nah, jarak itu sangat layak untuk diisi empat generasi, yaitu Sayyid Musa, Sayyid Muhammad Khathib, Sayyid Zainal Abidin dan putra-putra beliau, karena beliau berusia panjang.
Dari pernyataan dan kesimpulan itu, saya kemudian menarik kesimpulan bahwa keberatan yang dikemukakan oleh si ahli nasab itu hanya karena keberatan untuk dianggap nasabnya kalah tinggi dengan keturunan Sunan Cendana. Iapun beruasaha untuk menciptakan kesangsian terhadap silsilah keluarga Sunan Cendana.
Mengingat dari Sunan Cendana kebawah tidak ada celah untuk dituduh kurang nama, karena kebanyakan keturunan Sunan Cendana telah menjaga silaturrahim, maka iapun melemparkan tuduhan itu pada antara Sunan Cendana dan Sunan Drajat. Sayangnya, ia tidak memperhatikan tahun kelahiran mereka, sehingga tuduhan itupun berbalik menjadi hal yang memalukan bagi dirinya.
Hendaknya dipahami, bahwa ketaqwaan itu lebih mendekatkan seseorang pada leluhurnya yang shaleh, bukan hitungan nasabnya. Cucu Siti Fathimah yang ke-33 tidak lebih mulia daripada cucu yang ke-40. Apabila lebih bertaqwa dan lebih berprestasi, maka cucu ke-40 akan lebih dekat dengan Siti Fathimah daripada cucu ke-33. Kesalahpahaan mengenai hal ini cenderung membuat orang merasa gengsi untuk mengakui kedekatan nasab orang lain, apalagi ketika yang bernasab lebih dekat itu lebih muda atau dianggap orang biasa.
Ada yang menulisnya Hasyim, seperti Takliq Syams Azh-Zhahirah. Saya menguatkan Qasim karena nama itu yang saya temukan dalam semua catatan yang saya temui di tangan Kiai-kiai keturunan Sunan Drajat.
Ada yang menulisnya Ali Rahmatullah, seperti Takliq Syams Azh-Zhahirah. Saya menguatkan Ahmad Rahmatullah karena nama itu yang saya temukan dalam semua catatan yang saya temui di tangan Kiai-kiai keturunan Sunan Ampel.
Kiai Hamim adalah menantu Kiai Asror. Sebagian silsilah mencatat Hamim bin Asror. Kerancuan itu sebenarnya berawal dari kalimat Syekh Kholil putra Kiai Hamim dan cucu Kiai Asror. Orang yang tidak tahu persis menjadi salah paham. Adapun lebih menisbatkan Syekh Kholil sebagai cucu Kiai Asror daripada sebagai cucu Kiai Abdul Karim (ayah Kiai Hamim) itu berawal dari adat orang Jawa dan Madura yang tidak membeda-bedakan garis laki-laki dan perempuan, sehingga ketika memilih kakek, mereka akan memilih kakek yang paling keramat walaupun dari garis ibu. Syekh Kholil dinisbatkan sebagai cucu Kiai Asror karena Kiai Asror lebih terkenal daripada Kiai Abdul Karim. Akibat Syekh Kholil lebih dikenal sebagai cucu Kiai Asror, maka beliaupun lebih dikenal sebagai cucu Sunan Gunung Jati, padahal Kiai Asror juga cucu Sunan Gunung Jati dari garis perempuan. Sebelum ini, jarang orang yang tahu bahwa nasab Syekh Kholil yang garis laki-laki bersambung pada Sunan Kudus, sedangkan beberapa jalur perempuan beliau juga bersambung pada Sunan Ampel dan Sunan Giri.
Banyak catatan yang saya temukan kehilangan nama ini. Padahal nama ini sudah masyhur di kalangan keluarga Basyaiban dan telah disahkan Robithoh Alawiyah.
Sebagian silsilah yang tidak mencatat nama ini. Mungkin kelewatan itu berangkat dari kalimat Sayyid Sulaiman adalah keturunan Sunan Gunung Jati dari pihak ibu. Keturunan bisa cucu dan bisa cicit. Ketika kalimat itu dimaksudkan cicit, maka yang mendengar mengira cucu, sehingga langsung saja ia menyimpulkan Sulaiman bin putri Sunan Gunung Jati. Wallahu alam.
Ada yang menulis bahwa Hidayatullah adalah nama lain dari Fatahillah yang berasal dari aceh, termasuk HAMKA yang kemudian dinukil oleh kitab Syams Azh-Zhahirah. Adapun yang benar adalah bahwa Hidayatullah dan Fatahillah itu dua orang yang berbeda. Adapun Fatahillah adalah putra Sayyid Ibrahim bin Abdul Ghafur bin Barakat bin Husain Jamaluddin. Fatahillah dikenal dengan panggilan Falatehan, pernah menjadi Panglima Perang Kerajaan Demak, kemudian menjadi Panglima Perang Kesultanan Cirebon di masa Sunan Gunung Jati dan menaklukkan Sunda Kelapa. Setelah itu beliau menikah dengan putri Sunan Gunung Jati.
PESANTREN DEMANGAN
Pada tahun 1280 (+1863), lahirlah putri Syekh Kholil yang bernama Nyai Khotimah. Sementara itu Nyai Maryam (kakak Syekh Kholil) dengan Kiai Kaffal memiliki putra bernama Kiai Muntaha yang lahir pada tahun 1266 H. Saat Nyai Khotimah lahir, Kiai Muntaha berusia 14 tahun. Muntaha muda diberangkatkan ke Makkah untuk menuntut ilmu. Pada tahun 1288, Kiai Muntaha yang telah berubah nama menjadi Muhammad Thoha pulang ke Madura, saat itu beliau berusia 22 tahun. Maka Syekh Kholil menikahkan Kiai Thoha dengan Nyai Khotimah yang masih berusia 8 tahun. Namun Kiai Thoha dan Nyai Khotimah tidak langsung dipertemukan, melainkan Kiai Thoha berangkat lagi ke Makkah untuk melanjutkan pendidikan hingga tujuh tahun lamanya. Ada yang mengatakan hingga sembilan tahun.
Setelah Kiai Thoha pulang, beliau telah menjadi seorang ulama muda yang mumpuni dalam berbagai bidang ilmu keislaman. Maka Syekh Kholilpun menyerahkan Pesantren Jangkibuan pada Kiai Thoha, sementara Syekh Kholil sendiri pindah dan mendirikan pesantren di Demangan.
Dalam buku Surat Kepada Anjing Hitam, Saifur Rahcman menulis: Dari Pesantren Demangan inilah Kiai Kholil bertolak menyebarkan agama Islam di Madura hingga Jawa. Kiai Kholil mula-mula membina agama Islam di sekitar Bangkalan. Baru setelah dirasa cukup baik, mulailah merambah ke pelosok-pelosok jauh, hingga menjangkau ke seluruh Madura secara merata.
Pulau Jawa yang merupakan pulau terdekat dengan pulau Madura menjadi sasaran dakwah Kiai Kholil. Jawa yang telah dirintis oleh pendahulunya yaitu Sunan Giri, dilanjutkan oleh Kiai Kholil dengan metode dakwah yang sistematis. Tidak jarang Kiai Kholil dalam dakwahnya terjun langsung ke masyarakat lapisan terbawah di pedesaan Jawa. Saat ini masih nyata bekas peninggalan dakwah Kiai Kholil baik berupa naskah-naskah, kitab Al-Quran, maupun monument atau tugu yang pernah dibangunnya. Sebuah tugu penunjuk arah kiblat dan tanda masuknya sholat lima waktu masih dapat dilihat sampai sekarang di Desa Pelalangan, Bondowoso. Demikian juga beberapa kenangan berupa hadiah tasbih kepada salah satu masyarakat di daerah Bondowoso.
Masih banyak bekas jejak dakwah yang dapat kita temui sekarang, seperti musholla, sumur, sorban, tongkat Kiai Kholil.
MURID-MURID SYEKH KHOLIL
Berikut saya nukil tulisan Saifur Rachman dalam buku Surat Kepada Anjing Hitam:
Hampir ulama besar di Madura dan Jawa adalah murid Kiai Kholil. Selain itu, murid Kiai Kholil rata-rata berumur panjang, banyak diatas 100 tahun. Berikut ini sebagian murid Kiai Kholil yang mudah dikenal saat ini :
1. KH. Hasyim Asyari : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Tebu Ireng Jombang. Beliau juga dikenal sebagai pendiri organisasi Islam Nahdlatul Ulama (NU) Bahkan beliau tercatat sebagai Pahlawan Nasional.
2. KHR. Asad Syamsul Arifin : Pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah, Sukorejo Asembagus, Situbondo. Pesantren ini sekarang memiliki belasan ribu orang santri.
3. KH. Wahab Hasbullah: Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Tambak Beras Jombang. Pernah menjabat sebagai Rais Aam NU (1947 1971).
4.KH. Bisri Syamsuri: Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Denanyar, Jombang.
5.KH. Maksum : Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Rembang, Jawa Tengah
6. KH. Bisri Mustofa : Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Rembang, Beliau juga dikenal sebagai mufassir Al Quran. Kitab tafsirnya dapat dibaca sampai sekarang, berjudul Al-Ibriz sebanyak 3 jilid tebal berhuruf jawa pegon.
7. KH. Muhammad Siddiq : Pendiri, Pengasuh Pesantren Siddiqiyah, Jember.
8. KH. Muhammad Hasan Genggong : Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Zainul Hasan, Genggong. Pesantren ini memiliki ribuan santri dari seluruh penjuru Indonesia.
9. KH. Zaini Munim : Pendiri, Pengasuh Pesantren Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo. Pesantren ini juga tergolong besar, memiliki ribuan santri dan sebuah Universitas yang cukup megah.
10. KH. Abdullah Mubarok : Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Suryalaya, kini dikenal juga menampung pengobatan para morphinis.
11. KH. Asyari : Pendiri, pengasuh pondok Pesantren Darut Tholabah, Wonosari Bondowoso.
12. KH. Abi Sujak : Pendiri, pengasuh pondok Pesantren Astatinggi, Kebun Agung, Sumenep.
13. KH. Ali Wafa : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Temporejo, Jember. Pesantren ini mempunyai ciri khas yang tersendiri, yaitu keahliannya tentang ilmu nahwu dan sharaf.
14. KH. Toha : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Bata-bata, Pamekasan.
15. KH. Mustofa : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Macan Putih, Blambangan.
16. KH Usmuni : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Pandean Sumenep.
17. KH. Karimullah : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Curah Damai, Bondowoso.
18. KH. Manaf Abdul karim : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo Kediri.
19. KH. Munawwir : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta.
20. KH. Khozin : Pendiri, pengasuh pondok Pesantren Buduran, Sidoarjo.
21. KH. Nawawi : Pendiri, pengasuh pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan. Pesantren ini sangat berwibawa. Selain karena prinsip salaf tetap dipegang teguh, juga sangat hati-hati dalam menerima sumbangan. Sering kali menolak sumbangan kalau patut diduga terdapat subhat.
22. KH. Abdul Hadi : Lamongan.
23. KH. Zainudin : Nganjuk
24. KH. Maksum : Lasem jawa tengah
25. KH. Abdul Fatah : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Al Fattah, Tulungagung
26. KH. Zainul Abidin : Kraksan Probolinggo.
27. KH. Munajad : Kertosono
28. KH. Romli Tamim : Rejoso jombang
29. KH. Muhammad Anwar : Pacul Bawang, Jombang
30. KH. Abdul Madjid : Bata-bata, Pamekasan, Madura
31. KH. Abdul Hamid bin Itsbat, banyuwangi
32. KH. Muhammad Thohir jamaluddin : Sumber Gayam, Madura.
33. KH. Zainur Rasyid : Kironggo, Bondowoso
34. KH. Hasan Mustofa : Garut Jawa Barat
35. KH. Raden Fakih Maskumambang : Gresik
36. KH. Sayyid Ali Bafaqih : Pendiri, pengasuh Pesantren Loloan Barat, Negara, Bali.

SEPULANG DARI MAKKAH
Saya membaca catatan Syekh Kholil dalam kitab Hasyiyah Al-Bajuri tulisan tangan beliau yang ada pada Kiai Thoha Kholili Jangkibuan, di situ tertulis pernyataan berbahasa Arab yang artinya: Aku membaca (mengaji) kitab ini pada tahun 1274 H pada. Nama guru ngaji beliau tidak jelas karena tulisannya rusak seperti terkena basah.
Kemudian, dalam catatan Kiai Kholili Jangkibuan, tertulis bahwa Syekh Kholil menikah dengan Nyai Assek binti Ludrapati pada tahun 1278. Maka kita bisa memastikan bahwa kepulangan Syekh kholil dari Makkah adalah antara tahun 1274 dan 1278 (+ 1857-1861).
Sepulang dari Makkah, Syekh Kholil tidak langsung mengajar, beliau baru mulai berpikir bagaimana caranya agar dapat mengajarkan ilmunya pada masyarakat. Beliau masih tinggal bersama kakak beliau, Nyai Maryam, di Keramat. Sambil mencari peluang untuk mengamalkan ilmunya, Syekh Kholil mengisi waktu dengan bekerja di kantor pejabat Adipati Bangkalan. Selain untuk mencari nafkah, sepertinya beliau juga bermaksud untuk mencari banyak teman dan kenalan, karena hanya dengan begitulah beliau dapat bergaul.
Di kantor pejabat Adipati Bangkalan itu, Syekh Kholil diterima sebagai penjaga dan kebagian jaga malam. Maka setiap bertugas malam, Syekh Kholil selalu membawa kitab, beliau rajin membaca di sela-sela tugas beliau. Akhirnya beliaupun oleh para pegawai Adipati dikenal ahli membaca kitab, sehingga berita itupun sampai pada Kanjeng Adipati. Kebetulan, leluhur Adipati sebenarnya adalah orang-orang alim, mereka memang keturunan Syarifah Ambami Ratu Ibu yang bersambung nasab pada Sunan Giri.
Maka tidak aneh kalau di rumah Adipati banyak terdapat kitab-kitab berbahasa Arab warisan leluhur, walaupun Adipati sendiri tidak dapat mebaca kitab berbahasa Arab. Adipatipun mengizinkan Syekh Kholil untuk membaca kitab-kitab itu di perpustakaan beliau. Syekh Kholil merasa girang bukan main, karena pada zaman itu tidak mudah untuk mendapatkan kitab, apalagi sebanyak itu.
Setelah yakin bahwa Syekh Kholil betul-betul ahli dalam ilmu keislaman dan bahasa Arab, maka Kanjeng Adipati mengganti tugas Syekh Kholil, dari tugas menjaga kantor berubah tugas mengajar keluarga Adipati. Pucuk dicinta ulampun tiba, demikianlah yang dirasa oleh Syekh Kholil, beliaupun memanfaatkan kesempatan itu untuk mengembangkan ilmunya dengan mengajar keluarga bangsawan. Beliaupun telah memiliki profesi baru sebagai pengajar ilmu agama.
Sejak saat itu, Syekh Kholil memiliki tempat yang terhormat di hati Kanjeng Adipati dan keluarga bangsawan lainnya. Mereka mulai menghormati dan mencintai beliau sebagai ulama. Maka tertariklah seorang kerabat Adipati untuk bermenantukan Syekh Kholil, yaitu Raden Ludrapati yang memiliki anak gadis bernama Nyai Assek. Setelah proses pendekatan, maka diputuskanlah sebuah kesepakatan untuk menikahkan Syekh Kholil dengan Nyai Assek. Pernikahanpun berlangsung pada tanggal 30 Rajab 1278 H (+1861 M).
Setelah menikah dengan Nyai Assek, Syekh Kholil mendapatkan hadiah dari sang mertua, Ludrapati, berupa sebidang tanah di desa Jangkibuan. Beliaupun membangun rumah dan pesantren di tanah itu. Beliau mulai menerima santri sambil masih mengajar di keraton Adipati. Tidak ada riwayat tentang sampai kapan Syekh Kholil mengajar di keraton Adipati, namun yang pasti, Pesantren Jangkibuan semakin hari semakin ramai, banyak santri berdatangan dari berbagai penjuru, baik dari sekitar Bangkalan maupun daerah lain di Madura dan Jawa.
Syekh Kholil mengukir prestasi dengan cepat, nama beliau cepat dikenal oleh masyarakat, khususnya masyarakat pesantren, baik di Madura maupun di Jawa. Cepatnya nama beliau terkenal membuat banyak teman mondok beliau tidak percaya. Diantara mereka ada seseorang yang pernah berteman dengan beliau sewaktu mondok di Cangaan, orang ini tidak percaya bahwa Kholil yang ia kenal telah menjadi ulama besar.
Ketika ia mendengar bahwa Syekh Kholil itu adalah Kholil temannya di Cangaan, maka iapun berkata: Masa, sih, dia Kholil yang dulu suka main kelereng dengan saya itu?. Karena penasaran, orang itupun datang ke Bangkalan. Setibanya di bangkalan, orang itu bertanya pada seseorang, mana rumah Syekh Kholil? Orang yang ditanya menunjukkan arah rumah Syekh Kholil, namun ternyata orang Jawa itu justru melihat banyak binatang buas di tempat yang ditunjuk itu. Iapun kembali menemui orang yang ditanya tadi, tapi tetap saja ia menunjuk tempat yang sama. Demikian sampai tiga kali.
Tapi tempat itu bukan rumah, kok, pak. Di situ saya lihat banyak binatang buasnya. Ah, masa? Baiklah, mari saya antar.
Setelah ketiga kalinya, orang Jawa itupun diantar dan begitu tiba di tempat ternyata ia melihat sebuah rumah yang dikerumuni binatang buas, bersamaan dengan itu keluarlah Syekh Kholil dan binatang-binatang itupun langsung pergi. Melihat yang keluar adalah benar-benar Kholil yang ia kenal, maka orang Jawa itupun langsung mencium tangan Syekh Kholil dan meminta maaf. Sejak saat itu, orang Jawa yang dulunya berteman dengan Syekh Kholil di Cangaan itupun kemudian berguru pada Syekh Kholil.