Jumat, 25 Desember 2009

pesantren liwiliang bogor

Bagi ibu-ibu atau bapak-bapak atau muda mudi yang suka jalan-jalan ke kota Jakarta, pasti kita sering menemukan beberapa pengemis mengais rizki di kota ini. Dengan kemampuan alamiah para pengemis seolah menjadi aktor di jalanan bersaing dengan pedagang asongan. Terlihat beberapa pengemis dalam menjalankan tugasnya tidak seragam dalam bertindak, mungkin ada yang seperti orang pincang, berwajah kumal, memanfaatkan anak kecil, orang buta, dan bentuk lainnya bermacam-macam ditemukan disana. Aneka peran mereka mainkan namun, sayang mereka berbuat seperti itu bukan membuat sadar untuk berpikir kreatif, malah dijadikan nafkah keseharian mereka, sepertinya tak pernah ada niatan untuk berubah atau mengubah hidupnya yang lebih mulya.

Kemiskinan yang terjadi pada penyandang cacat atau karena tak mampu mengatasi kehidupan, saya yakin bukan jalan yang dianggap mulus untuk jadi pengemis atau dianggap nasib miskin. Saya pernah menonton beberapa acara di televisi yang memuncukan ide kreatif para penyandang cacat untuk mengubah hidup dengan tidak jadi pengemis. Contoh di acara yang saya tonton namun sayang, saya lupa nama acaranya. Seorang penyandang cacat mampu menciptakan lapangan kerja dengan menciptakan home Industry membuat kaligrafi yang dibuat dari kaleng-kaleng minuman. Pera pekerja yang membatu pembuatan kaligrafi Al-Quran itu para pekerja yang keadaan fisiknya normal, dalam artian ia seorang penyandang cacat, mampu memberikan kehidupan pada orang-orang yang keadan fisiknya mungkin lebih lengkap tinimbang dia selaku bosnya.

Inilah salah satu palajaran atau hikamah pada kita bahwa, Allah memberikan kekurangan pada hambanya, tidak semata-mata ia tidak bisa berpikir untuk maju atau berubah dari keadannya pada saat itu. Mungkin lebih tepatnya kita selaku hamba Allah, kalau mau berpijak pada ayat yang berbunyi “Allah tidak akan mengubah suatu kaum kalau kaum tersebut tidak akan mengubahnya” kalimat ini bukan selogan tapi bisa menjadi sumber inspirasi bagi manusia di muka bumi ini, untuk terus inovasi dalam hidupnya, sekalipun kegagalan atau ketak mungkinan itu terjadi. Tapi satu usaha memerlukan sebuah pengorbanan yang kelak akan jadi tolak ukur, bagi manusia yang hendak merenungkan perjuangan diri dalam meraih kesuksesannya.

Saya yakin seorang penyandang cacat yang saya ceritakan di atas tidak lantas sukses menjadi pengusahan kaligrafi Al-Quran, Ia dalam awal hidupnya tidak semulus yang kita bayangkan. Ia dalam menjalankan hidupnya penuh dengan hinan, comoohan dan lain sebagainya, tapi bagi ia sendiri hal seperti itu dijadikan pembawa semangat hidupnya untuk mengubah hidupnya. Bagaimana ketika ia hidup di pesantren, ia mencoba belajar membaca, menghapal, dan menulis bahkan sampai ia mampu mefisualisasikan imajinasinya, lewat kaleng bekas minuman. Ketika hasil karyanya selesai, ternyata bisa terjual dengan harga Rp.100 ribu per kaligrafinya bahkan lebih.

Bahkan dari keteranganya ia dalam memasarkan karyanya, ia tidak sampai menjual langsungkepembeli, ada tetangganya yang bertindak sebagai penjual melalui si pemesan. Ini juga salah satu ruang kehidupan atau nafkah bagi masyarakat setempat. Sungguh indah sekali apabila kita rasakan dengan menikmati kemampuan si penyandang cacat tersebut. Ia bukan saja sanggup memberikan rizki bagi pekerjanya, tapi ia mampu memberikan rizki pada tetangganya yang bukan pekerjanya. Seandainya semua orang bisa menerima keadanya yang dianggap kurang, tapi tidak menutup ruang usaha yang lebih mulya dari orang yang apabila kita lihat lengakapn keadaan fisiknya, entah keadaan mentalnya. Disnilah kita bisa memetik hikmah tentang kedahsyatan ruang pikir manusia, sanggup menembus batas dimensi runag fisik yang lengkap. Mungkin ini keagungan Allah dalam menciptakan makhluknya yang musti direnungkan makhluknya.

Sungguh kemampuan yang sangat mulya, kemampuan yang dahsyat seorang penyandang cacat sanggup mengubah roda perekonomian orang. tapi, saya pernah menonton sebuah tayangan kebohongan pengemis yang berpura-pura menjadi orang cacat dengan berbagai teknik dan gaya ia mainkan di kota pengais rezki. Awalnya mungkin orang-orang akan memandang iba dan pasti akan memberi, tapi setelah diperlihatkan pada khalayak bahwa yang menjadi orang cacat itu, bukan orang cacat, melaikan orang yang kalau dibuka kedoknya ia adalah orang yang mempunyai fisik normal. Ini salah satu penyakit manusia yang sempit dalam menyisikapi hidup dan tak pernah berkaca pada kehidupan orang yang sukses. Walaupun sulit untuk berusaha, seharusnya belajar dari kesulitan tersebut artinya kenapa sulit? Pasti aka nada pertanyaan tentang kemudahan yang mulya dimata Allah dan makhluk Allah.

Tuna Netra Sanggup Melahirkan Para Hafizd

Di pesantren tepatnya di wilayah Bogor, dikutip di Majalah Sabili seorang ulama tunanetra. Nama pesantren adalah Mambul Furqan, sebuah pondok pesantren tradisionil yang sangat sederhana. Terletak dipematang sawah yang terbentang luas sepanjang mata memandang. Tepatnya di desa Bojong Kerekhel, Leuwiliang, Bogor, Jawa Barat. Dari pondok ini telah lahir dan bermunculan sekian banyak huffaz al-Quran ternyata hasil dari manajemen dan bibanaan langsung seorang dai tuna netra, yaitu KH. Abdullah Ma’shum.

Salah seorang santrinya, sebut saja Wahyudi, yang berasal dari Banten sudah tiga tahun mondok di pesantren ini punya kesan tersendiri pada gurunya, Abdullah Ma’shun. Santri hafizh tamatan STM ini berkomentar, “Alhamdulillah, berkat bimbingan KH. Abdullah Ma’sum saya dapat menyempurnakan hafalan al-Qur’an saya dengan baik. Sebelumnya saya beberapa kali mondok di pesantren, tapi kerap kali tidak berhasil. Di pondok ini inspirasi untuk merampungkan hafalan hingga 30 juz penuh selalu menguat”

Kepercayaan masyarakat atas kemampuan KH. Abdullah Ma’shum mencetak kader-kader dai muda semakin tumbuh. Beberapa lembaga pendidikan Islam di sekitarnya, bahkan juga dari luar kota berkali-kali meminta bantuan SDM dalam bidang penghafalan al-Qur’an. Tidak berlebihan bila dai kita yang satu ini dikatakan sebagai aset umat. Keberhasilannya dalam menjalankan roda dakwahtidak hanya sebatas internal, tapi juga eksternal. Sudah enam orang nonmuslim diislamkan olehnya. Keikhlasan dalam menjalankan kiprahnya patut dijadikan teladan.

Dai yang berusia 52 tahun ini memiliki keluarga yang sangat sederhana dengan seorang istri dan empat orang anak. Walau kondisinya cacat, ia mampu melaksanakan kewajibannya sebagai kepala rumah tangga yang bertanggung jawab dengan memberikan nafkah keluarganya dari rizki yang halal. Padahal ia tak pernah memungut bayaran dari para orang tua santri atau mendapat bantuan dari lembaga dakwah nasional maupun iternasional. Untuk menutupi kebutuhan keluarga, ia merasa cukup dengan hasil olah sebidang tanahnya yang dimanfaatkan senagai garapan sawah. Hingga kini ia tetap kuat memegang prinsip bahwa manusia harus hidup dengan izzah, tidak boleh menghinakan diri dengan meminta-minta. (dilutip utuh dari majalah Sabili tanggal 19 Juni 2003).

Olimpiade Olahraga Penyandang Cacat

Malam itu saya berkumpul di rumahnya pak Pras dalam pengayaan bisnis keling, dengan mengudang pemateri dari Jakarta. Awalnya bisa-biasa saja, karena pengayaan tersebut tak jauh dengan bisnis serupa keling lainnya, tapi ketika salah satu pemateri dari bapak-bapak menampilkan CD olimpiade penyandang cacat dunia. Saya merasa ada yang berbeda dengan tempilan CD tersebut, dalam hati. Mereka saja sanggup mengubah diri mereka sampai titik harapan mereka. Apalagi kita yang mempunyai fisik lebih lengkap tinimbang mereka.

yang membuat terenyuh penulis mengenai tampilan olimpiade tersebut, peserta olimpiade renang kalau tidak salah ada salah satu peserta yang tak memiliki kaki, tapi dia sanggup menuju finish dengan kecepatan renang melebihi orang normal. Bergitupun denga peserta olimpiade lari penulis menyaksikan penyandang cacat yang tidak bisa menatap dunia ini. Tapi ia sanggup mengcapai garis finish dengan mulus bahkan menempati urutan pertama. Penulispun sempat menonton penyandang cacat yang tak memiliki kaki satu. Dengan kaki satu ia berlari, serupa loncatan kecil persis seperti orang yang lari dalam keadaan pincang dan melompat ke galang yang begitu tinggi.

Jangan Cemas Dengan Anak Cacat

Para ibu yang diberikan amanah oleh Allah untuk mengurus anak-anaknya jangan lah kecewa, ingat pepetah Khalil Gibran “anak-anak adalah laksana panah dan para orang tua dalam cinta, keindahan, kesunyian adalah busur panah. Busur panah yang membidik an kemana anak panah akan meluncur. Namun Gibran juga mengingatkan bahwa anak-anak mu bukan sepenuhnya milikmu. Mereka akan melangkah ke mana mereka mau. Kemana mereka punya cita-cita tentunya dengan dorongan para pengasuh atau orang tuanya.

Sungguh saya menulis ini tidak ada niatan untuk menyinggung tapi, harapan saya menulis ini agar dapat dijadikan pelajaran oleh manusia yang mau berpikir maju kedepan. Saya juga mohon maaf apabila ada yang tersinggung, tapi, walaupun ada yang tersinggung, semoga ketersinggungan ini bisa menjadikan motivasi hidup kedepan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar