Kamis, 14 Mei 2009

muhammadiyah

Bagi orang Muhammadiyah, nama tokoh Islam, perintis organisasi Muhammadiyah ini tidak akan ada yang belum mengenalnya. Apalagi bagi mereka yang pernah mengenyam pendidikan Muhammadiyah. Di setiap lembaga pendidikan Muhammadiyah diberikan mata pelajaran atau mata kuliah Ke-Muhammadiyahan. Dalam materi mata pelajaran itu di antaranya diperkenalkan pendiri dan pertis Muhammadiyah, yaitu KH.Achmad Dahlan. Selain itu, biasanya di gedung atau kantor amal usaha Muhammadiyah dan bahkan juga di rumah-rumah para pimpinan Muhammadiyah di pasang photo pimpinan organisasi ini. Tidak beda dengan itu, di sekolah-sekolah yang dirintis dan dibina oleh Nahdlatul Ulama’ dipasang gambar KH.Hasyim Asy’ari, tokoh pendiri organisasi Islam ini.
Ada cerita menarik, dari pendidikan yang dikembangkan oleh KH.Achmad Dahlan. Cerita itu menggambarkan bagaimana KH Achmad Dahlan ingin menjadikan pelajaran agama Islam yang diberikan kepada para siswa relevan dengan kehidupan nyata sehari-hari. Dalam cerita itu, KH Achmad Dahlan sedemikian telaten dan tekun memberikan pelajaran kepada para siswanya tentang surat Ma’un. Surat itu diajarkan berbulan-biulan tidak pernah ganti. Setiap Kyai datang ke tempat belajar bagi anak-anak, hanya mengajarkan surat kesenangan Kyai itu, hingga para santri-santrinya pun bosan.
Di mana-mana kiranya sama, apa saja yang diulang-ulang menjadikan para murid bosan. Demikian juga santri-santri Kyai pendiri Muhammadiyah ini, merasakan bosan tatkala pada setiap hari, dalam waktu yang lama hanya diberikan mata pelajaran itu. Sampai-sampai, menurut cerita yang pernah saya dapatkan, apa yang dilakukan oleh Kyai Dahlan itu menjadi bahan mainan para santrinya. Sebelum Kyai datang, para santri menebak apa yang akan diajarkan, yakni surat al Ma’un, dan ternyata betul. Kyai mengajarkan lagi surat al Ma’un itu.
Apa yang dilakukan oleh para santri itu, ternyata pada suatu ketika ditangkap oleh Kyai. Sudah barang tentu Kyai tidak menjadi marah, apalagi menghukumnya. Kyai tidak pernah mengukum para santri yang mengakibatkan para santri meningalkan para gurunya. Mendengar nada bosan yang diungkap oleh santri, tentang bahan yang diajarkan tetap sama----surat al Ma’un, lalu kemudian kyai justru mengajak dialog para santrinya.
Kyai setelah mendengar gejala kebosanan yang dialami oleh para santri, kemudian menanyakan kepada para santri, apakah surat al Ma’un yang dimaksud itu sudah dihafal dan diamalkan. Para santri menjawab, bahwa surat itu telah dihafal dan diamalkan. Para santri menjelaskan bahwa salah satu surat pendek dalam al Qur’an itu telah dijadikan bahan bacaan pada setiap kali sholat. Atas jawaban itu, kyai lalu menjelaskan maksud daripada istilah mengamalkan itu. Yaitu melaksanakan isi pesan surat itu dalam kehidupan sehari-hari.
Selanjutnya, agar jelas maksudnya, dan tidak salah paham lagi, maka Kyai Dahlan mengajak para santrinya agar besuk hari ke sekolah membawa apa saja yang bisa diberikan kepada orang miskin di kota Yogyakarta. Misalnya, uang, pakaian, sembako, dan lain-lain. Selanjutnya, besuk harinya itu juga, tidak sebagaimana sehari-hari santri harus belajar tentang Surat al Ma’un, tetapi dengan barang berharga yang telah dikumpulkan itu, bersama-sama menemui orang miskin, pengemis atau gelandangan di sekitar kota. Kemudian, apa yang dibawa para santri itu diserahkan kepada mereka.
Setelah mengajak para santri membagi-bagikan apa yang telah dikumpulan bersama itu, maka Kyai menjelaskan bahwa itulah sesungguhnya yang dimaksud telah mengamalkan surat al Ma’un tersebut. Istilah mengamalkan bukan saja sebatas memnghafal dan menjadikan surat pendek dalam al Qur’an itu dibaca dalam setiap sholat, melainkan menjadikannya sebagai pedoman dan sekaligus dijalankan dalam kehidupan sehari-hari.
Cerita pendek tentang bagaimana pendiri Muhammadiyah itu mengajarkan para santrinya, rasanya masih sangat relevan dengan tuntutan sekarang ini. Pada saat ini, betapa sudah semakin semarak ayat-ayat al Qur’an dijadikan bahan pelajaran, didiskusikan dan bahkan juga dijadikan bahan kajian di kampus-kampus. Tetapi ternyata, selepas kegiatan itu belum tampak gerakan secara signifikan untuk mengimplementasikan. Misalnya, dalam bentuk pengentasan kemiskinan sebagaimana dilakukan oleh Kyai Aschmad Dahlan tersebut. Memang, boleh-boleh saja ayat al Qur’an dan hadits Nabi dijadikan bahkan diskusi, wacana atau kajian, tetapi lebih dari itu, semestinya harus ditindak lanjuti dengan bentuk pengamalan secara nyata.
Memang Islam itu harus disampaikan kepada siapapun dan selanjutnya agar melahirkan kebahagiaan yang sebenarnya harus diamalkan. Mengajarkannya lewat penjelasan, perintah, pesan-pesan memang penting. Tetapi agar lebih efektif hal itu memang harus diajarkan melalui uswah hasanah. Islam tidak cukup dijadikan bahan ceramah, diskusi atau apa saja namanya, tetapi harus diamalkan. Apa yang dicontohkan oleh Kyai Dahlan tatkala mengajarkan Surat al Ma’un, yakni sebuah surat pendek dalam juz terakhir dari al Qur’an., rasanya masih sangat relevan, yakni mengajarkan lewat cont

jiwa besar

Bukti-bukti bahwa Islam mengajarkan agar umatnya berpikir dan berjiwa besar sesungguhnya bisa dilihat dari berbagai aspek, baik dari doktrin yang bersumber dari ajaran Islam, yakni al QAur’an, sejarah kehidupoan rasul maupun sejarah hidup para pemimpin dan umatnya, termasuk juga dari bacaan-bacaan spiritualnya.

Seseorang disebut sebagai telah berjiwa dan berpikir besar manakala yang bersangkutan pada aktivitasnya tidak saja diorientasikan untuk kepentingan diri sendiri melainkan juga untuk pihak-pihak lain, dan tidak saja untuk mereka yang disini malainkan untuk yang di sana, serta bukan saja untuk mereka yang hidup sekarang, melainkan juga yang hidup pada masa yang akan datang.

Melalui al Qur’an, Islam berbicara tentang keselamatan, keadilan, kedamaian, kemenangan, kebahagiaan baik di dunia maupun di akherat. Seseorang dipandang sudah masuk menjadi muslim, tatkala yang bersangkutan telah bersedia melakukan kesaksian terhadap dua hal, yaitu kesaksian atau bersyahadah terhadap Ke-Maha Esa-an Allah dan kesaksian bahwa Muhammad adalah Rasul Nya. Sebagai konsekuensi dari kesaksiannya itu, maka yang bersangkutan telah mengakui atas kebenaran apa yang diucapkan itu, tanpa ragu sedikit pun.

Kekuatan syahadah itu mestinya mampu menjadikan seseorang memulai berpikir dan berjiwa besar. Dengan bersyahadah seseorang mengenal Dzat Yang Maha Agung, Maha Pengasih dan Penyayang, Maha Adil, Maha Mulia dan seterusnya. Kesaksiannya itu semestinya melahirkan pandangan besar dan luas tentang dunia ini. Dengan bersyahadah, seseorang telah mengenal siapa sesungguhnya pencipta dirinya, serta berbagai macam sifat mulia yang disandang oleh Sang Maha Pencipta itu. Selain Dzat Yang Maha Pencipta, maka seluruh jagad raya dan seisinya adalah makhluk, termasuk dirinya. Semua makhluk adalah berkedudukan sama, kecuali manusia yang telah dimuliakan oleh-Nya. Kemuliaan itu tetap diberikan karena keimanan, akhlak dan amal sholehnya.

Pandangan seperti ini, membawa pikiran dan jiwa pemeluk Islam menjadi besar. Kebesaran pikiran dan jiwa itu semestinya tidak boleh berkurang, apalagi hilang oleh hal-hal yang sederhana sifatnya. Pandangan Islam seperti itu, dalam sejarah telah melahirkan manusia-manusia besar yang mampu menggerakkan dunia. Manusia-manusia yang telah meraih pikiran dan jiwa besar yang tumbuh karena ajaran Islam, ada dan hidup di mana-mana dan berkarya atau beramal sholeh di berbagai bidang kehidupan.

Dengan Islam, manusia diharapkan menjadi abdun sekaligus khalifah di muka bumi. Manusia boleh menjadi abdi, tetapi hanya terhadap Allah swt. Kaum muslimin tidak boleh mengabdi kepada selain kepada Allah. Ketaatan dan loyalitas dalam sebuah komunitas, bukan ditujukan kepada orang yang kebetulan menjadi pemimpinnya, melainkan terhadap komitmen sebagai bagian bentuk dari pengabdiannya terhadap Tuhan. Sebagai khalifah, manusia dalam konsep Islam, adalah pihak yang mendapatkan amanah untuk mengatur dan memakmurkan bumi. Mengikuti konsep ini, posisi manusia adalah sangat mulia, melebihi posisi makhluk lain manapun.

Namun aneh, di hadapan umat lainnya, selama ini kaum muslimin masih belum menemukan kemuliaannya itu. Dalam berbagai bidang kehidupan, baik politik, ekonomi, social dan juga ilmu pengetahuan, masih kalah dan bahkan tertinggal dari umat lainnya. Kekalahan itu bukan karena mereka memeluk Islam, melainkan disebabkan karena dalam memahami dan memposisikan Islam, tampak kurang sempurna. Dalam sejarahnya Islam pernah mengalami kejayaan, sejak kepemimpinan Rasulullah saat itu. Rasulullah pernah membangun masyarakat yang benar-benar damai. Masyarakat itu dibangun di atas sendi tauhid, kejujuran, keadilan kesetaraan, memuliakan orang-orang berilmu dan beriman, beramal sholeh dan berakhkul karimah. Sebaliknya, bukan menindas dan menganiaya, melainkan sebaliknya justru menolong, dan memberdayakan terhadap siapapun baik terkait kehidupan social, ekonomi maupun ilmu pengetahuan.

Tidak pernah habis berbicara tentang keindahan Islam sebagai konsep kehidupan manusia baik secara individu maupun bermasyarakat. Terkait dengan perbincangan Islam dan kaitannya membangun pikiran dan jiwa besar, dalam artikel pendek ini, saya hanya ingin mengajak pembaca membayangkan bagaimana dalam kegiatan ritual sekalipun, Islam mengajak umatnya berpikir dan berjiwa besar itu.

Kegiatan ritual yang bersifat rutin dan harus dilakukan oleh kaum muslimin, berisi kalimat atau kata tentang kebesaran, kesucian, puji-pujian, kasih sayang, jalan lurus, hari akhir, dan sejarah kemanusiaan. Berapa kali sehari semalam, kaum muslimin diwajibkan untuk mengucapkan kalimah Allahu akbar, subhanallah, alhamdulillah dan kalimat-kalimat lain yang mulia. Kalimat-kalimat yang harus diucapkan dari waktu ke waktu, dari hari-ke hari selamanya tanpa putus, sepanjang waktu, memberikan kesadaran dan training tentang sifat-sifat itu yang seharusnya kemudian dimiliki dan bahkan merasuk dalam relung-relung pribadi kaum muslimin.

Di pagi buta, kaum muslimin sejak saat bangun tidur, dibiasakan mendengar kalimah suci itu, melalui adzan dan iqomah, bacaan-bacaan mulia di dalam sholat, semuanya itu, jika dilihat dari perspektif pendidikan atau tarbiyah, merupakan cara Islam menjadikan umatnya menyandang pribadi yang mulia, yakni di antaranya berpikir dan berjiwa besar itu. Hanya kemudian, pertanyaannya adalah benarkah seluruh kaum muslimin, telah memahami dan menyadari bahwa kegiatan ritual dengan mengucap kalimah-kalimah mulia itu, sesungguhnya adalah sebagai bagian dari proses menjadikan dirinya meraih kemuliaan itu. Atau, kegiatan ritual itu hanya dipandang dan dirasakan sebagai beban, karena semua yang dilakukan bukan untuk kesempurnaan dirinya, yakni sebagai abdun dan sekaligus sebagai khalifah, melainkan untuk selainnya itu.

Selama ini, saya belum pernah menemukan suatu ajaran yang sedemikian sempurna, selain Islam. Ajaran yang jika dikaji secara mendalam baik melalui kitab suci al Qur’an maupun tauladan kehidupan rasulullah, sungguh benar mengantarkan pemeluknya menjadi selamat. Keselamatan itu diraih karena yang bersangkutan menyandang keyakinan yang kokoh, atau keimanan, berpegang pada Islam dan ikhsan. Berangkat dari konsep itu kemudian melahirkan amal sholeh dan akhlakul karimah sebagai dasar dalam membangun masyarakat yang dihiasi oleh pikiran-pikiran dan jiwa besar. Agar menjadi lebih jelas, bandingkan dengan berbagai ajaran yang berseliweran di dunia ini, yang semuanya itu hanya memperbincangkan tentang perebutan ekonomi dan kekuasaan yang tidak pernah mengenal henti. Ekonomi dan kekuasaan bagi Islam, dipandang penting. Tetapi dua hal itu bukan untuk diperebutkan melainkan untuk kemaslahatan dan kebaikan bagi seluruh umat manusia. Konsep rahmatan lil alamien, yakni kesediaan menebarkan sifat kasih sayang kepada semua, ------termasuk ekonomi dan kekuasaan, adalah menggambarkan adanya pikiran dan jiwa besar it

etos kerja

Dalam abstraksi disertasinya, Guru MAN Salatiga, Drs. Badaruddin, M. Ag. (58 tahun) menyatakan, setiap agama mengajarkan umat manusia untuk selalu bekerja dengan etos kerja yang tinggi. Etos kerja merupakan mekanisme yang bersifat batin, yang akan menggerakkan ruh untuk rela bekerja keras dan pantang menyerah bersumber pada keimanan. Tanpa pencerahan iman, etos kerja akan mendorong manusia pada perbuatan-perbuatan yang berlawanan dengan moralitas. Orang-orang Protestan misalnya, memiliki etos kerja yang bersumber pada etika Protestan, yang menganggap kerja adalah panggilan suci. Etika Protestan terbukti bisa memberikan spirit bagi orang-orang Protestan untuk selalu bekerja keras, melakukan inovasi-inovasi sebagai upaya pencapaian kemakmuran hidup dan kesejahteraan spiritual. Etika Protestan merupakan hasil penelitian yang dilakukan Max Weber terhadap sekelompok penganut sekte Protestan Calvinist. Hasil penelitian Max Weber dibukukan dalam bukunya yang berjudul ”The Protestant Ethic and The Spirit Capitalsim” Berpijak pada hasil penelitian Max Weber, salah satu penelitian terhadap sekelompok masyarakat di Jerman menunjukkan bahwa, tokoh bisnis modern, , pemilik modal, para karyawan perusahaan yang memiliki keahlian tinggi, para staf terdidik yang memiliki keahlian profesional, baik di bidang teknis maupun komersial dalam sampel penelitia tersebut sebagian besar adalah orang-orang protestan.
Sementara, realitas dalam perkembangan peradaban dunia menunjukkan bahwa masih banyak umat Islam di belahan dunia yang dianggap sebagai umat yang lemah dalam kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Padahal Islam juga memiliki falsafah hidup terkait dengan kerja yang bersumber dari al Qur’an, yakni : Bekerja bertujuan meraih ridha Allah SWT (inilah yang disebut etos kerja muslim). Berpijak pada realita tersebut, Badaruddin mengangkat permasalahan mengapa masih banyak umat Islam yang dalam realitas kehidupannya terlihat menyerah pada takdir (lepas dari upaya-upaya melakukan kerja keras dan berinovasi)? Permasalahan itu diangkat dalam disertasinya, dengan melakukan penelitian terhadap para wirausahawan muslim cor logam yang ada di wilayah kecamatan Batur, Kabupaten. Klaten. Hasil penelitian disertasi untuk memperoleh gelar Doktor Bidang Ilmu Agama Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga yang berjudul ”Etos Kerja Wirausahawan Muslim di Batur Klaten” dipresentasikan, Senin, 4 April kemarin di ruang promosi kampus setempat.
Hasil Penelitian putra kelahiran Wonogiri ini dipresentasikan di hadapan Promotor : Prof. Dr. H. Musya asy’arie da Prof. Dr. H. Djam’annuri, MA., serta tim penguji : Dr. Munrochim Misanam, M. Ec., Ph.D., Dr. Ahmad Janan Asifuddin, MA., Prof. Dr. H. Syamsul Anwar, MA., Prof. Dr. H. Nasrudin Harahap, SU. Sidang promosi dipimpin Prof. Dr. H.M. Amin Abdullah, dengan sekretaris Dr. H. Sukamto, MA.
Menurut promovendus, dari hasil penelitiannya dengan metode kualitatif dan pendekatan antropologi agama, terhadap 325 pengusaha cor logam di Batur yang mempekerjakan tidak kurang dari 3.187 pekerja, bisa digeneralisasikan bahwa masih banyak umat Islam yang memahami ibadah terbatas pada ibadah mahdah. Mereka berkecenderungan memisahkan antara kewajiban ibadah dengan kerja. Ibadah menurut mereka sebatas pada salat, zakat, puasa dan haji, tidak termasuk bekerja. Pemahaman seperti ini, kata promovendus, akan membentuk etos kerja umat Islam menjadi rendah dan keadaan jiwa yang pasrah pada takdir. Etos kerja umat Islam (dilihat dari etos kerja para wirausahawan) yang memahami ibadah dalam arti sempit ini berpengaruh negatif terhadap kultur kerja. Akibatnya perusahaan mereka juga sangat sulit untuk berkembang.
Sementara mereka yang memahami makna bahwa bekerja adalah suatu perjuangan untuk meraih ridha Allah SWT, akan tercermin juga pada etos kerja mereka yang bisa menyatukan makna ”manusia sebagai khalifah” di bumi yang harus berjuang untuk memakmurkan bumi dan seisinya, dengan makna ”manusia sebagai ’Abd” yang harus tunduk - patuh kepada pencipta-Nya melalui bekerja dan berfikir.
Umat Islam yang bisa memaknai ibadah dalam arti luas inilah yang ternyata juga memiliki etos kerja yang tinggi, mampu bekerja keras pantang menyerah, penuh tanggungjawab, giat belajar sehingga memiliki kecerdasan yang lebih, bisa melahirkan inovasi-inovasi baru, mampu mensinergikan antara daya pikir dan dzikir untuk mengekplorasi alam. Etos kerja yang berdasarkan keimanan dan pemahaman agama secara holistik proporsional ini pula yang ternyata bisa semakin memajukan perusahaan-perusahaan dimana mereka berkecimpung.
Paparan di atas bermakna bahwa al Qur’an sebagai pedoman hidup umat Islam hendaknya tidak hanya dilafalkan dan dimengerti maknanya, tetapi juga harus menjadi spirit dan sumber inspirasi ilmiah dalam mengeksplorasi bumi dan seisinya untuk meraih kemakmuran lahiriah dan kesejahteraan ruhaniah, demikian jelas promovendus. Oleh tim penguji Drs. Badaruddin, M. Ag., dinyatakan lulus dengan predikat ”Memuaskan” dan dirinya merupakan Doktor ke-221 yang telah berhasil diluluskan Program Pascasarjana UIN Sunan K

gender

hmad Badaowi, S.Ag., M.si. (40 tahun), mengatakan dewasa ini kaum feminis muslim giat melakukan perjuangan kesetaraan gender melalui rekonstruksi penafsiran al-Qur’an dan menumbuhkannya dalam konteks kekinian. Bagi feminis muslim, al-Qur’an sejak dini, sesungguhnya sudah mengapresiasi kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Namun pembacaan (penafsiran) yang dikembangkan oleh para mufassir konserfatif dinilai oleh para feminis muslim hanya dilakukan secara literal dan cenderung memperkuat peneguhan pemahaman yang bervisi patriarki. Dengan mengawinkan kajian hermeneutik al-Qur’an dan feminisme, para feminis muslim berhasil mengubah persepsi tentang perempuan yang sangat berbeda secara diametral dari pemahaman para mufasir konserfatif tentang perempuan. Amina Wadud dan Nasr Hamid Abu Zaid adalah salah satu pejuang feminis muslim yang melakukan penafsiran ulang al-Qur’an terkait tentang kesetaraan gender.
Hal tersebut disampaikan oleh Dosen Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga saat mempresentasikan disertasinya untuk memperoleh gelar doktor dalam bidang Ilmu Agama Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Jumat,17 April 2009 di Ruang Promosi kampus setempat. Disertasi yang berjudul “Tafsir Feminis (Studi Pemikiran Amina Wadud dan Nasr Hamid Abu Zaid)” dipertahankan dihadapan promotor Prof. Dr. H. Khoiruddin Nasution, M.A. dan Dr. Phil H.M Nur Kholis Setiawan, M.A., dengan Tim Penguji: Dr. Siti Syamsiyatun, M.A., Prof. Dr. Hj. Chamamah Soeratno, Dr. Hamim Ilyas, M.A., Dr. Phil Sahiron Syamsuddin, M.A. Sidang promosi dipimpin oleh Prof. Dr. H.M. Amin Abdullah dan Dr. H. Sukamta, M.A.
Menurut Ahmad Baidowi disertasinya ini bermaksud menguraikan gagasan Amina Wadud dan Nasr Hamid Abu Zaid dengan menggunakan pendekatan filosofis hermeneutis untuk mengungkap asumsi-asumsi filosofis mengenai penafsiran feminis. Dari analisis disertasinya, promovendus mengungkap bahwa kedua tokoh feminis muslim ini memahami tafsir bukan sebagai tindakan menjelaskan teks-teks al-Qur’an secara aktual sebagaimana yang lazim dilakukan para penafsir tradisional. Keduanya memahami penafsiran sebagai upaya mengaitkan teks al-Qur’an dengan problem realitas kontemporer dalam rangka menemukan solusi yang Qur’ani atas berbagai problem masyarakat saat ini, terutama yang sangat menyudutkan eksistensi wanita.
Dari pemahaman terhadap pemikiran Amina Wadud dan Nasr Hamid Abu Zaid, Ahmad Baidowi berpendapat bahwa untuk membangun pemahaman al-Qur’an yang berkeadilan gender hendaknya disepakati prinsip depatriarkalisasi (membuang pemahaman yang bersifat patriarkhis dan membangun penafsiran yang adil), prinsip pembebasan perempuan serta prinsip empati terhadap pengalaman perempuan. Dari prinsip ini kata Baidowi, pemikiran Amina Wadud dan Nasr Hamid Abu Zaid mengenai feminis, dalam batas tertentu memang relevan dengan gagasan penegakan hak asasi manusia dan sejalan dengan kritik terhadap ideologi patriarkhi. Namun gagasan baru kedua tokoh ini perlu juga dikritisi sehingga terbentuk pemikiran-pemikiran yang benar-benar adil antara eksistensi laki-laki dan perempuan. Karena animo Wadud dalam penafsirannya, diliputi kecurigaan berat yang menganggap penafsiran-penafsiran al-Qur’an yang bias gender dilakukan oleh mufasir laki-laki sehingga penafsiran yang dibangun pun bernuansa kelaki-lakian, menempatkan kaum laki-laki sebagai superior dan sebaliknya perempuan sebagai imperior. Laki-laki menjadi diri (the self), sedangkan perempuan menjadi liyan (the other). Untuk mengatasi penafsiran yang dinilai patriarki, Anima Wadud menawarkan gagasan perlunya suara perempuan untuk menafsirkan al-Qur’an. Pemikiran Anima Wadud ini, menurut promovendus dikelompokkan dalam pemikiran yang subyektif ideoligis. Sementara Nasr Hamid Abu Zaid justru mengkhawatirkan terjadinya talwin, bila dalam penafsiran nilai-nilai feminis dalam al-Qur’an menekankan perlunya melibatkan pengalaman perempuan. Karena bisa saja apa yang dianggap pengalaman perempuan tidak dipahami oleh laki-laki bahkan tidak bisa ditranfer ke dalam pemikiran laki-laki, sehingga laki-laki juga tidak mampu berempati terhadap apa yang dialami perempuan berupa ketidakadilan, penindasan, marginalisasi, dan sebagainya. Abu Zaid menegaskan , sesungguhnya problem perempuan bukanlah problem perempuan an sich, namun problem sosial kemanusian yang tidak bisa dipisahkan dari problem laki-laki juga. Pembebasan perempuan oleh karenanya tidak terpisahkan dari pembebasan laki-laki secara menyeluruh. Menurut promovendus pemikiran Abu Zaid seperti ini dikelompokkan ke dalam pemikiran kritis-obyektif. Terlepas dari perbedaan dan persamaan pemikiran kedua tokoh ini, kajian-kajiannya telah memunculkan madzhab baru dalam penafsiran al-Qur’an yang menjadi salah satu alternatif bagi perjuangan kesetaraan gender di kalangan umat Islam. Namun tentunya masih perlu ujian-ujian lebih lanjut mengenai penerapannya. Mengingat situasi dan kondisi masyarakat kontemporer yang sangat beragam dan memerlukan penafsiran-penafsiran yang komprehensif, sehingga benar-benar mengayomi rasa keadilan gender kedua belah pihak (laki-laki dan perempuan), jelas Baidowi.
Oleh Tim Penguji, Ayah 1 putra dari Istri Yuni Ma’rufaf, S. Ag, MA., ini dinyatakan lulus dengan predikat ‘cumlaude’ dan merupakan Dok

sufi qodiri

Ainul Gani, S. Ag., SH., M. Ag. (36 tahun) mengatakan, ajaran tasawuf Syaikh ’Abd. al-Qadir al-Jailani sampai saat ini masih berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat Indonesia. Selain masih diajarkan dan dikembangkan di Pondok-pondok Pesantren (Ponpes Suryalaya di Tasikmalaya, Ponpes Mranggen di Semarang, Ponpes Rejoso dan Ponpes Tebu Ireng di Jombang, Ponpes Pagentongan di Bogor), banyak juga masyarakat menjadikan ajaran tasawuf al-Jailani sebagai tradisi keagamaan. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya kelompok kelompok tarekat Qadiriyyah wa Naqsabandiyyah, kelompok-kelompok tausiyah, kelompok-kelompok khataman, dzikir bersama dan sebagainya. Dalam moment-moment tertentu pemerintah juga sering menggandeng para ulama dan masyarakat untuk mengadakan dzikir bersama atau istighasah berjamaah yang bertujuan untuk menyelamatkan bangsa dan negara dari krisis dan bencana.
Dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Raden Intan Bandar Lampung ini menyampaikan saat mempertahankan disertasinya untuk untuk memperoleh gelar Doktor bidang Ilmu Agama Program Pascasarjana UIN Sunan kalijaga, di ruang Promosi Doktor kampus setempat, Jum’at, 1 Mei 2009. Disertasinya yang berjudul ”Ajaran Tasawuf Syaikh ”Abd. al-Qadir al-Jailani (470-561 H/1077-1166 M)” dipresentasikan di hadapan Promotor Prof. Dr. H. Djam’annuri, MA., dan Dr. Syaifan Nur, MA., serta Tim Penguji antara lain : Prof. Dr. H. Agussalim Sitompul, Prof. Dr. H. Djoko Suryo, Dra. Syafa’atun al-Mirzanah, MA., Ph.D., Dr. Sekar Ayu Aryani, MA. Sidang Promosi dipimpin Prof. Dr. H.M. Amin Abdullah, dengan sekretaris Dr. H. Sukamto, MA. Menurut Gani, dari penelitian disertasinya melalui studi kepustakaan (Library Risearch) yang mengambil teknik analisa isi (Content analaysis), menunjukkan bahwa praktek-praktek tarekat yang bersifat massif, diikuti secara berjamaah dan terstruktur/terorganisasi dengan baik, ternyata sesuai dengan ajaran al-Jailani. Karena sebelum al-Jailani, spiritualitas Islam masih bersifat individual dan belum terstruktur.
Menurut promovendus, secara historis, di kalangan kaum sufi, Syaikh ’Abd. Al-Qadir al-Jailani memang diakui sebagai sosok yang menempati hirarki mistik tertinggi (al-Ghawts al-A’zham) yang menduduki tingkap kewalian tertinggi. Karena masuknya Islam di Indonesia ditengarai disebarkan oleh para sufi yang berfaham tasawuf Syaikh ’Abd. Al-Qadir al-Jailani yakni tarekat Qadiriyyah. Al-Jailani juga dianggap memiliki garis keturunan yang dekat dengan Nabi Muhammad SAW. Kata Gani, hakekat tasawuf yang diajarkan al-Jailani berpuncak pada ajaran ma’rifatullah. Untuk menuju pada tataran ma’rifatullah setiap orang harus berupaya menjadi ahli ibadah, ahli dzikir, ahli riadlah, ahli mujahadah. Sementara prosesnya melalui fase-fase magamat dan ahwal, taubat, zuhud, tawakal, syukur, ridha, shidiq, wara dan istiqamah. Sementara itu, terdapat empat dimensi dalam ma’rifatullah versi al-Jailani yakni: Memperteguh keimanan (tauhid), melaksanakan syari’at Islam dengan baik, melaksanakan thareqat dengan lurus dan bersih, serta selalu mengkaji hakekat dari setiap pelaksanaan syari’at Islam. Corak ajaran tasawuf al-Jailani bertumpu pada aliran Ghazalian (sunni), dilihat dari konsep spiritualitas yang berpuncak pada tataran ma’rifatullah, yakni pendekatan diri kepada Allah SWT, tanpa harus merasa menjadi satu dengan-Nya/tanpa diikuti penyatuan dengan-Nya, tetapi selalu melakukan upaya-upaya yang memadukan ilmu dan amal.
Mengapa ajaran al-jailani diminati dan masih sangat berpengaruh di kalangan masyarakat modern? Menurut putra kelahiran Lampung ini, di satu sisi ajaran tasawuf al-Jailani yang berfaham fatalisme seperti taubat, zuhud, tawakal, syukur, ridha, shidiq, wara, dan istiqamah bisa menjadi obat bagi masyarakat yang mengalami kegersangan batin akibat kesenangan hedonisme yang tanpa batas. Di sisi lain, al-Jailani mengembangkan ajaran neo-sufisme yang mempertautkan antara syari’ah dengan tasawuf dan memberi kemudahan kepada masyarakat dalam menyelaminya. Al-Jailani juga memberi ruang gerak bagi individu dan masyarakat untuk senantiasa aktif, kreatif, selalu melakukan andil usaha, melakukan perbuatan-perbuatan produktif-dinamis untuk kepentingan duniawi dan tanggungjawab sosial.
Minat dan pengaruh ajaran tasawuf Syaikh Abd. Al-Qadir al-Jailani ini menunjukkan perkembangan yang cukup meningkat, bila dilihat dari banyaknya penyebaran karya-karya tertemahan al-Jailani dari para penerbit di negeri ini yang selalu best seller dan mengalami cetak ulang. Disamping itu semakin banyak kelompok-kelompok masyarakat yang mengembangkan langkah-langkah ajarannya dengan membentuk gerakan organisasi dzikir (tarekat) secara sistematis dan komprehensif. Malihat fenomena ini, promovendus berharap, hendaknya ajaran al-Jailani tidak mengalami pemaknaan yang sempit dalam fungsinya. Maksud Gani, memahami kitab-kitab asli Syaikh ’Abd. Al-Qadir al-Jailani berarti memahami ajaran tasawufnya dan mengambil suri tauladan sosok al-Jailani, kemudian menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Bukan menjadikannya hanya sebagai alat rutinitas ritual keagamaan dengan segala implikasinya seperti pemujaan wali dan pengkultusan individu, yang justru akan membatasi kerinduan kita kepada Rusulullah dan Sang Khaliq, Jelas Gani.
Oleh Tim Penguji, promovendus dinyatakan lulus dengan predikat ‘sangat memuaskan’ dan merupakan Doktor Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga ke-220