Jumat, 25 Desember 2009

ಬರು sunan

egala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan nikmat dan anugerah-nya kepada kita semua, sholawat dan salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada junjungan kita, hamba-Nya yang terkasih Rosuululloh Muhammad SAW, keluarga dan sahabatnya serta semua pengikut beliau hingga akhir zaman, amin.
Barang siapa mencintai Nabi Rosul Allah beserta Wali – Nya, berarti ia juga termasuk dalam mahabah kehadirot Allah SWT. Dengan kondisi yang seperti itu makanya kami ingin sedikit mengingat sejarah para Wali Allah di Tanah Jawa yang mengembangkan Agama Islam sebagai rohmatan lil ‘alamin.Telah menjadi sunatullah pada masa zaman Majapahit bergulirlah suatu perjalanan permasalahan aqidah dari Hindu – Budha menjadi Islam yang di awali dengan berdirinya Kerajaan Demak Bintoro yang dirajai oleh beliau Raden Patah. Berdirinya Kerajaan Islam di Demak Bintoro Insya Allah pada tahun 1403, yang di sponsori oleh Majelis Wali Songo yang mansyur dengan metode dakwahnya dan kearifan juga keramatnya. Dengan partisipasinya wali songo ini, Allah telah menentukan kehendaknya Kerajaan Islam Demak Bintoro menjadi Kerajaan Besar dan berpengaruh di bumi tanah jawa dan sekitarnya. Dari awal ini kami ingin mengutarakan mahabah kami terhadap wali Allah yang bernama Ki Cokrojoyo yang akhirnya terkenal dengan SunanGeseng. Pada zaman wali songo terkenallah seorang wali dari jawa yang bernama Raden Said yang terkenal dengan Sunan Kalijogo.
Pada saat itu Sunan Kalijogo syiar agama Islam di suatu daerah, beliau bertemu dengan seorang hamba Allah yang bernama Ki Cokrojoyo, istrinya bernama Rubiyah dan memiliki seorang putra bernama Joko Bedug, pekerjaan Ki Cokrojoyo menyadap gula kelapa, walau hanya dengan kehidupan yang sederhana keluarganya tentram dan bahagia, karena Ki Cokrojoyo dan keluarganya “ nrimo ing pandum ” dengan ketentramannya itu Ki Cokrojoyo senang bersenandung ( uro-uro ), dalam perjalanan syiarnya Kanjeng Sunan Kalijogo bertemu dengan Ki Cokrojoyo, yang akhirnya diajarkan Kalimat Dzikir yang dilantunkan dengan pujian.
Hari – hari Ki Cokrojoyo selalu pujian dengan kalimat yang diajarkan oleh Wali Allah Sunan Kalijogo, dan suatu saat keajaiban terjadi dengan amalan itu saat Ki Cokrojoyo mengambil hasil panennya yang dibuat gula kelapa tiba-tiba berobahlah gula kelapa itu menjadi emas, namun Ki Cokrojoyo tidak menjadi bangga malah beliau langsung bersiku dan berpamitan pada istri dan anaknya untuk mencari Kanjeng Sunan Kalijogo.Setelah ketemu Kanjeng Sunan Kalijogo menerima Ki Cokrojoyo di terima sebagai murid dan disuruhnya bertapa, yang insya allah dilakukan satu tahun. Setelah satu tahun Kanjeng Sunan Kalijogo teringat akan kondisi muridnya yang bertapa lalu dicarinya dalam pencarian tempat yang digunakan bertapa telah menjadi hutan alang-alang yang akhirnya dibakar oleh Kanjeng Sunan Kalijogo, setelah habis alang-alangnya barulah tampak Ki Cokrojoyo masih dalam kondisi bertapa dan gosong, karena terbakarnya dengan ilalang dan pada saat itu dibangunkannya Ki Cokrojoyo dengan ucapan salam Kanjeng Sunan Kalijogo yang akhirnya terbangun dan langsung sungkem ( sujud ) terhadap Gurunya, setelah itu Kanjeng Sunan Kalijogo memerintahkan untuk mandi dan menyuruh pulang menemui keluarganya, setelah ketemu keluarga diceritakannya segala kejadian pada istrinya dan anaknya. Istri dan anak ikut bersyukur kehadirat Allah atas diselamatkannya Ki Cokrojoyo atas bimbingan Kanjeng Sunan Kalijogo.
Dari perjalanan itu diangkatlah derajat Ki Cokrojoyo di hadapan Allah menjadi Wali Allah, maka Ki Cokrojoyo di beri nama oleh Kanjeng Sunan Kalijogo menjadi Sunan Geseng untuk mengingat laku dan ketawadukannya terhadap Guru sehingga bisa mencapai derajat mulia. Dan setelah itu di tugaskannya Sunan Geseng oleh Sunan Kalijogo untuk syiar Islam, khususnya mengajak masyarakat untuk bertauqid membaca dua kalimat syahadat yang terkenal ajakan Sunan Geseng yaitu masalah ( sasahidan ) membaca dua kalimah syahadat dan menjalankan ajaran Rosul Muhammad SAW.
Selain Sunan Geseng ada murid-murid Sunan Kalijogo yang terkenal lagi yaitu Sunan Bayat (Klaten), Syekh Jangkung (Pati) dan Ki Ageng Selo (Demak). Dari riwayat itulah maka kami jama’ah Dzikrurrohmah sedikit mengingat sejarah beliau karena beliau termasuk Wali Allah yang juga berjasa dalam pengembangan Islam di Tanah Jawa.METODE DAKWAH ” SUNAN GESENG ”
Sunan Geseng berdakwah dengan sangat santun dan arief, yaitu melakukan pendekatan budaya dengan masyarakat jawa. Seperti yang di lakukan Gurunya Kanjeng Sunan Kalijogo, Berda’wah dengan menggunakan wayang kulit, melakukan selamatan yang tujuannya untuk bersedekah dan muji syukur kehadirat Allah, serta memuliakan tamu-tamu santri, umat, masyarakat, pejabat yang diajak berdzikir dan puji-pujian. Dengan cara itulah masyarakat jawa yang tadinya hindu, budha diajak menyeberang ke Islam. Begitulah bijaknya Sunan Geseng Wali Allah tidak mematikan budaya-budaya yang baik dan luhur. Yang dilakukan dengan tidak melanggar aqidah dan syariat, tapi sangat ampuh untuk menyatukan, umat masyarakat.

Kematian di mata sunan geseng
"Banyak orang yang salah menemui ajalnya. mereka tersesat tidak menentu arahnya, pancaindera masih tetap siap, segala kesenangan sudah di tahan , nafas sudah di gulung, dan angan-angan sudah diikhlaskan, tetapi ketika lepas tirtanirmaya belum mau. maka ia menemukan serba indah."
"Dan ia anggap manusia yang luar biasa.padahal sesungguhnya ia adalah orang yang tenggelam daloam angan-angan yang menyesatkan yang tak nyata. budi dan daya hidupnya tidak mau mati, ia masih senang di dunia dengan segala sesuatu yang hidup, masih senang ia rasa dan pikirannya.baginya hidup didunia ini nikmat, itulah pendapat manusia yang masih terpikan akan keduniawian,pendapat orang gelandangan yang pergi kemana-mana tidak menentu dan tidak tahu bahwa besok ia akan hidup yang tiada kenal mati sesungguhnya dunia ini neraka

jalantrabas.

sakti

Kediri, suatu kawasan di wilayah Propinsi Jawa Timur,telah lama dikenal sebagai salah
satu tempat penggemblengan dan penggodogan, kawah candradimuka, pencetak
kader-kader handal dalam bidang keilmuan agama Islam. Hal ini tidak terlepas dari
banyaknya Pesantren yang tersebar di daerah ini, baik di wilayah Kota maupun
Kabupaten, di kota, dan terlebih lagi di kawasan pedesaannya. Sebutlah di antaranya
Pesantren Hidayatul Mubtadi-ien, atau yang lebih dikenal dengan sebutan Pesantren
Lirboyo, Pesantren Al-Falah Ploso, Pesantren Al-Ihsan Jampes dan lain sebagainya.
Pesantren-Pesantren tersebut umumnya memiliki kekhususan (dalam hal pengajaran
dan pengamalan) dalam bidang-bidang tertentu, walaupun akhirnya sama-sama
bermuara pada pendalaman Ilmu-ilmu Agama Islam.

Sementara itu, di sebelah barat alun-alun kota Kediri, setelah menyeberangi Kali Brantas,
terdapat suatu kawasan yang kental dengan nuansa Islami.Kawasan itu dikenal dengan
nama Bandarkidul. Di wilayah Bandarkidul ini,terdapat sediitnya lima Pesanrtren yang
berafiliasi pada RMI (Rabithatul Ma'ahid Al-Islamiyyah), suatu organisasi/Asosiasi
Perhimpunan Pesantren di bawah naungan NU (Nahdlatul Ulama). Salah satu diantara
lima Pesantren itu adalah Pondok Pesantren Tahfidhul Qur-an Ma'unah Sari.

Sesuai dengan nama yang disandangnya,Pesantren ini adalah merupakan suatu
Lembaga Pendidikan yang menyediakan program menghafalkan al-Qur-an (bil-Ghaib),
disamping juga tersedia program pengajian Al-Qur-an Bin-Nadhar (tidak menghafal).
Pesantren ini diharapkan mampu menelorkan alumnus-alumnus yang merupakan
generasi-generasi penghafal Al-Qur-an,yang berjiwa dan berakhlaq Qur-any.
Atau dengan kata lain, insan hafidh al-Qur-an, lafdhan wa ma'nan wa 'amalan.
Sanad / Silsilah Alqur-an-nyapun muttashil kepada Nabi Muhammad SAW.
Dari berbagai sumber informasi yang ada, Pesantren ini didirikan pada tahun 1967
oleh KH.M.Mubassyir Mundzir, seorang ulama kharismatik dan terkenal pada masa itu.
Pada awal berdirinya, Pesantren ini lebih mengkhususkan diri pada bidang Tashawwuf,
terutama peng-'Istiqomah'-an sholat berjamaah dan wirid/dzikir. Hal ini berjalan kurang lebih
selama lima tahun. Pesantren inipun pada saat itu hanya menerima santri Putera.

Barulah, pada tahun 1973, setelah beliau menikah, Pesantren ini menerima santri puteri.
Dan mulai pada tahun itu pula, Pesantren ini mulai membuka Program Pengajian Al-qur-an
Bil-Ghoib (hafalan). Hal ini adalah karena isteri beliau,ibu Nyai Hj.Zuhriyyah adalah merupakan
seorang Hafidhah(penghafal) Al-Qur-an.Lebih dari itu, beliau juga merupakan puteri dari
Ulama terkenal, KH.Munawwir Krapyak Jogjakarta,yang selain seorang Hafidh, juga termasyhur
sebagai Perintis Pesantren Tahfidh al-Qur-an di Indonesia, seorang kampiun dalam bidang
Ilmu-Ilmu Al-Qur-an dan seorang ahli Qira-ah Sab'ah.

Seiring dengan berjalannya sang waktu, Pesantren Ma'unah Sari pun terus berkembang,
baik dari segi jumlah santri, program pengajian, dan juga lingkungan pendidikan yang
semakin representatif.Namun begitu,khusus untuk Pengajian Al-Qur-an bil-Ghaib, masih terbatas
pada kalangan Santri Puteri, dibawah asuhan Ibu Nyai Hj. Zuhriyyah Mundzir.

Pada tahun 1989,muassis (pendiri) Pesantren, KH. M. Mubasyir Mundzir wafat.
Dengan iringan tangis pilu para santri dan khalayak masyarakat yang merasa sangat
kehilangan, beliau dimakamkan di belakang masjid Pesantren Ma'unah Sari.

Sebelum wafat, karena beliau tidak dikaruniai putera, beliau telah memberikan wasiat
yang berkaitan dengan regenerasi Pengasuh Pesantren. Dan sesuai dengan wasiat beliau,
yang disaksikan oleh Ulama-ulama sepuh, tongkat estafet Pengasuh diamanatkan kepada
K. R. Abdul Hamid Abdul Qadir yang saat itu dikenal dengan sebutan Gus Hamid. Beliau adalah
putera dari KHR.Abdul Qadir Munawwir, Krapyak, kakak dari Ibu Nyai Hj.Zuhriyyah.
Dengan kata lain, K. R.Abdul Hamid adalah keponakan Ibu Nyai Hj.Zuhriyyah Mundzir.
Dan dengan demikian,tercapailah cita-cita dari Pendiri,yang menginginkan Pesantren
yang didirikannya kelak tumbuh dan berkembang menjadi tempat bagi para santri yang
ingin menghafal Al-Qur-an. Hal ini adalah karena Kyai Abdul Hamid juga merupakan
seorang penghafal Al-Qur-an (Hafidh) dan menguasai pula Qira-ah Sab'ah.

Selanjutnya,dibawah asuhan dan bimbingan Kyai Abdul Hamid bersama Ibu Nyai Hj.Zuhriyyah,
Pondok Pesantren Tahfidhul Qur-an Ma'unah Sari-pun semakin tumbuh dan berkembang.
Latar belakang dan asal para santri juga terdiri dari berbagai lapisan masyarakat, dan berasal
dari berbagai pelosok Nusantara, termasuk Papua (Irian Jaya), Kalimantan, Sulawesi,
Maluku, Sumatera, dan lebih-lebih dari Pulau Jawa. Mulai saat itu pula, dibuka Program
Pengajian Al-Qur-an bil-Ghaib untuk santri Putera.

Diantara para santri ini,banyak pula diantara mereka yang merupakan alumnus Pesantren-Pesantren
kenamaan,seperti Pesantren Lirboyo dan Ploso, keduanya di Kediri , Pesantren Tegalrejo Magelang,
Pesantren Langitan Tuban, dan lain sebagainya. Dengan berkumpulnya para alumnus
Pesantren-pesantren tersebut,tidaklah mengherankan apabila selain mengikuti
kegiatan-kegiatan wajib, terutama menghafal al-Qur-an, kerapkali terjadi diskusi-diskusi
ala Bahtsul Masa-il, sebagai salah satru wujud pengembangan dari Ilmu-ilmu yang mereka
peroleh di Pesantren mereka sebelumnya. Namun begitu, bagi mereka yang kebetulan
belum pernah mengenyam pendidikan Pesantren sama sekali, tidak perlu berkecil hati,
karena dari para alumnus Pesantren tadi, mereka bisa memperoleh arahan dan bimbingan,
melalaui Madrasah Al-Mundziriyyah di Pesantren ini, yang mengajarkan pelajaran dasar
yang sangat penting, sebagai bekal kelak di kemudian hari. Kalaupun masih kurang puas,
mereka bisa mengaji di Pesantren-pesantren sekitar, termasuk di Pesantren Lirboyo.

Selain itu, diantara para santri juga tidak sedikit yang merupakan jebolan Perguruan Tinggi,
sehingga mereka bisa menularkan ilmu dan pengalaman positif kepada rekan-rekan mereka
sesama santri. Hal ini dirasa penting, terutama dalam kaitannya untuk menata dan mengatur

kiai sakti bogor

Bagi ibu-ibu atau bapak-bapak atau muda mudi yang suka jalan-jalan ke kota Jakarta, pasti kita sering menemukan beberapa pengemis mengais rizki di kota ini. Dengan kemampuan alamiah para pengemis seolah menjadi aktor di jalanan bersaing dengan pedagang asongan. Terlihat beberapa pengemis dalam menjalankan tugasnya tidak seragam dalam bertindak, mungkin ada yang seperti orang pincang, berwajah kumal, memanfaatkan anak kecil, orang buta, dan bentuk lainnya bermacam-macam ditemukan disana. Aneka peran mereka mainkan namun, sayang mereka berbuat seperti itu bukan membuat sadar untuk berpikir kreatif, malah dijadikan nafkah keseharian mereka, sepertinya tak pernah ada niatan untuk berubah atau mengubah hidupnya yang lebih mulya.

Kemiskinan yang terjadi pada penyandang cacat atau karena tak mampu mengatasi kehidupan, saya yakin bukan jalan yang dianggap mulus untuk jadi pengemis atau dianggap nasib miskin. Saya pernah menonton beberapa acara di televisi yang memuncukan ide kreatif para penyandang cacat untuk mengubah hidup dengan tidak jadi pengemis. Contoh di acara yang saya tonton namun sayang, saya lupa nama acaranya. Seorang penyandang cacat mampu menciptakan lapangan kerja dengan menciptakan home Industry membuat kaligrafi yang dibuat dari kaleng-kaleng minuman. Pera pekerja yang membatu pembuatan kaligrafi Al-Quran itu para pekerja yang keadaan fisiknya normal, dalam artian ia seorang penyandang cacat, mampu memberikan kehidupan pada orang-orang yang keadan fisiknya mungkin lebih lengkap tinimbang dia selaku bosnya.

Inilah salah satu palajaran atau hikamah pada kita bahwa, Allah memberikan kekurangan pada hambanya, tidak semata-mata ia tidak bisa berpikir untuk maju atau berubah dari keadannya pada saat itu. Mungkin lebih tepatnya kita selaku hamba Allah, kalau mau berpijak pada ayat yang berbunyi “Allah tidak akan mengubah suatu kaum kalau kaum tersebut tidak akan mengubahnya” kalimat ini bukan selogan tapi bisa menjadi sumber inspirasi bagi manusia di muka bumi ini, untuk terus inovasi dalam hidupnya, sekalipun kegagalan atau ketak mungkinan itu terjadi. Tapi satu usaha memerlukan sebuah pengorbanan yang kelak akan jadi tolak ukur, bagi manusia yang hendak merenungkan perjuangan diri dalam meraih kesuksesannya.

Saya yakin seorang penyandang cacat yang saya ceritakan di atas tidak lantas sukses menjadi pengusahan kaligrafi Al-Quran, Ia dalam awal hidupnya tidak semulus yang kita bayangkan. Ia dalam menjalankan hidupnya penuh dengan hinan, comoohan dan lain sebagainya, tapi bagi ia sendiri hal seperti itu dijadikan pembawa semangat hidupnya untuk mengubah hidupnya. Bagaimana ketika ia hidup di pesantren, ia mencoba belajar membaca, menghapal, dan menulis bahkan sampai ia mampu mefisualisasikan imajinasinya, lewat kaleng bekas minuman. Ketika hasil karyanya selesai, ternyata bisa terjual dengan harga Rp.100 ribu per kaligrafinya bahkan lebih.

Bahkan dari keteranganya ia dalam memasarkan karyanya, ia tidak sampai menjual langsungkepembeli, ada tetangganya yang bertindak sebagai penjual melalui si pemesan. Ini juga salah satu ruang kehidupan atau nafkah bagi masyarakat setempat. Sungguh indah sekali apabila kita rasakan dengan menikmati kemampuan si penyandang cacat tersebut. Ia bukan saja sanggup memberikan rizki bagi pekerjanya, tapi ia mampu memberikan rizki pada tetangganya yang bukan pekerjanya. Seandainya semua orang bisa menerima keadanya yang dianggap kurang, tapi tidak menutup ruang usaha yang lebih mulya dari orang yang apabila kita lihat lengakapn keadaan fisiknya, entah keadaan mentalnya. Disnilah kita bisa memetik hikmah tentang kedahsyatan ruang pikir manusia, sanggup menembus batas dimensi runag fisik yang lengkap. Mungkin ini keagungan Allah dalam menciptakan makhluknya yang musti direnungkan makhluknya.

Sungguh kemampuan yang sangat mulya, kemampuan yang dahsyat seorang penyandang cacat sanggup mengubah roda perekonomian orang. tapi, saya pernah menonton sebuah tayangan kebohongan pengemis yang berpura-pura menjadi orang cacat dengan berbagai teknik dan gaya ia mainkan di kota pengais rezki. Awalnya mungkin orang-orang akan memandang iba dan pasti akan memberi, tapi setelah diperlihatkan pada khalayak bahwa yang menjadi orang cacat itu, bukan orang cacat, melaikan orang yang kalau dibuka kedoknya ia adalah orang yang mempunyai fisik normal. Ini salah satu penyakit manusia yang sempit dalam menyisikapi hidup dan tak pernah berkaca pada kehidupan orang yang sukses. Walaupun sulit untuk berusaha, seharusnya belajar dari kesulitan tersebut artinya kenapa sulit? Pasti aka nada pertanyaan tentang kemudahan yang mulya dimata Allah dan makhluk Allah.

Tuna Netra Sanggup Melahirkan Para Hafizd

Di pesantren tepatnya di wilayah Bogor, dikutip di Majalah Sabili seorang ulama tunanetra. Nama pesantren adalah Mambul Furqan, sebuah pondok pesantren tradisionil yang sangat sederhana. Terletak dipematang sawah yang terbentang luas sepanjang mata memandang. Tepatnya di desa Bojong Kerekhel, Leuwiliang, Bogor, Jawa Barat. Dari pondok ini telah lahir dan bermunculan sekian banyak huffaz al-Quran ternyata hasil dari manajemen dan bibanaan langsung seorang dai tuna netra, yaitu KH. Abdullah Ma’shum.

Salah seorang santrinya, sebut saja Wahyudi, yang berasal dari Banten sudah tiga tahun mondok di pesantren ini punya kesan tersendiri pada gurunya, Abdullah Ma’shun. Santri hafizh tamatan STM ini berkomentar, “Alhamdulillah, berkat bimbingan KH. Abdullah Ma’sum saya dapat menyempurnakan hafalan al-Qur’an saya dengan baik. Sebelumnya saya beberapa kali mondok di pesantren, tapi kerap kali tidak berhasil. Di pondok ini inspirasi untuk merampungkan hafalan hingga 30 juz penuh selalu menguat”

Kepercayaan masyarakat atas kemampuan KH. Abdullah Ma’shum mencetak kader-kader dai muda semakin tumbuh. Beberapa lembaga pendidikan Islam di sekitarnya, bahkan juga dari luar kota berkali-kali meminta bantuan SDM dalam bidang penghafalan al-Qur’an. Tidak berlebihan bila dai kita yang satu ini dikatakan sebagai aset umat. Keberhasilannya dalam menjalankan roda dakwahtidak hanya sebatas internal, tapi juga eksternal. Sudah enam orang nonmuslim diislamkan olehnya. Keikhlasan dalam menjalankan kiprahnya patut dijadikan teladan.

Dai yang berusia 52 tahun ini memiliki keluarga yang sangat sederhana dengan seorang istri dan empat orang anak. Walau kondisinya cacat, ia mampu melaksanakan kewajibannya sebagai kepala rumah tangga yang bertanggung jawab dengan memberikan nafkah keluarganya dari rizki yang halal. Padahal ia tak pernah memungut bayaran dari para orang tua santri atau mendapat bantuan dari lembaga dakwah nasional maupun iternasional. Untuk menutupi kebutuhan keluarga, ia merasa cukup dengan hasil olah sebidang tanahnya yang dimanfaatkan senagai garapan sawah. Hingga kini ia tetap kuat memegang prinsip bahwa manusia harus hidup dengan izzah, tidak boleh menghinakan diri dengan meminta-minta. (dilutip utuh dari majalah Sabili tanggal 19 Juni 2003).

Olimpiade Olahraga Penyandang Cacat

Malam itu saya berkumpul di rumahnya pak Pras dalam pengayaan bisnis keling, dengan mengudang pemateri dari Jakarta. Awalnya bisa-biasa saja, karena pengayaan tersebut tak jauh dengan bisnis serupa keling lainnya, tapi ketika salah satu pemateri dari bapak-bapak menampilkan CD olimpiade penyandang cacat dunia. Saya merasa ada yang berbeda dengan tempilan CD tersebut, dalam hati. Mereka saja sanggup mengubah diri mereka sampai titik harapan mereka. Apalagi kita yang mempunyai fisik lebih lengkap tinimbang mereka.

yang membuat terenyuh penulis mengenai tampilan olimpiade tersebut, peserta olimpiade renang kalau tidak salah ada salah satu peserta yang tak memiliki kaki, tapi dia sanggup menuju finish dengan kecepatan renang melebihi orang normal. Bergitupun denga peserta olimpiade lari penulis menyaksikan penyandang cacat yang tidak bisa menatap dunia ini. Tapi ia sanggup mengcapai garis finish dengan mulus bahkan menempati urutan pertama. Penulispun sempat menonton penyandang cacat yang tak memiliki kaki satu. Dengan kaki satu ia berlari, serupa loncatan kecil persis seperti orang yang lari dalam keadaan pincang dan melompat ke galang yang begitu tinggi.

Jangan Cemas Dengan Anak Cacat

Para ibu yang diberikan amanah oleh Allah untuk mengurus anak-anaknya jangan lah kecewa, ingat pepetah Khalil Gibran “anak-anak adalah laksana panah dan para orang tua dalam cinta, keindahan, kesunyian adalah busur panah. Busur panah yang membidik an kemana anak panah akan meluncur. Namun Gibran juga mengingatkan bahwa anak-anak mu bukan sepenuhnya milikmu. Mereka akan melangkah ke mana mereka mau. Kemana mereka punya cita-cita tentunya dengan dorongan para pengasuh atau orang tuanya.

Sungguh saya menulis ini tidak ada niatan untuk menyinggung tapi, harapan saya menulis ini agar dapat dijadikan pelajaran oleh manusia yang mau berpikir maju kedepan. Saya juga mohon maaf apabila ada yang tersinggung, tapi, walaupun ada yang tersinggung, semoga ketersinggungan ini bisa menjadikan motivasi hidup kedepan.

pesantren liwiliang bogor

Bagi ibu-ibu atau bapak-bapak atau muda mudi yang suka jalan-jalan ke kota Jakarta, pasti kita sering menemukan beberapa pengemis mengais rizki di kota ini. Dengan kemampuan alamiah para pengemis seolah menjadi aktor di jalanan bersaing dengan pedagang asongan. Terlihat beberapa pengemis dalam menjalankan tugasnya tidak seragam dalam bertindak, mungkin ada yang seperti orang pincang, berwajah kumal, memanfaatkan anak kecil, orang buta, dan bentuk lainnya bermacam-macam ditemukan disana. Aneka peran mereka mainkan namun, sayang mereka berbuat seperti itu bukan membuat sadar untuk berpikir kreatif, malah dijadikan nafkah keseharian mereka, sepertinya tak pernah ada niatan untuk berubah atau mengubah hidupnya yang lebih mulya.

Kemiskinan yang terjadi pada penyandang cacat atau karena tak mampu mengatasi kehidupan, saya yakin bukan jalan yang dianggap mulus untuk jadi pengemis atau dianggap nasib miskin. Saya pernah menonton beberapa acara di televisi yang memuncukan ide kreatif para penyandang cacat untuk mengubah hidup dengan tidak jadi pengemis. Contoh di acara yang saya tonton namun sayang, saya lupa nama acaranya. Seorang penyandang cacat mampu menciptakan lapangan kerja dengan menciptakan home Industry membuat kaligrafi yang dibuat dari kaleng-kaleng minuman. Pera pekerja yang membatu pembuatan kaligrafi Al-Quran itu para pekerja yang keadaan fisiknya normal, dalam artian ia seorang penyandang cacat, mampu memberikan kehidupan pada orang-orang yang keadan fisiknya mungkin lebih lengkap tinimbang dia selaku bosnya.

Inilah salah satu palajaran atau hikamah pada kita bahwa, Allah memberikan kekurangan pada hambanya, tidak semata-mata ia tidak bisa berpikir untuk maju atau berubah dari keadannya pada saat itu. Mungkin lebih tepatnya kita selaku hamba Allah, kalau mau berpijak pada ayat yang berbunyi “Allah tidak akan mengubah suatu kaum kalau kaum tersebut tidak akan mengubahnya” kalimat ini bukan selogan tapi bisa menjadi sumber inspirasi bagi manusia di muka bumi ini, untuk terus inovasi dalam hidupnya, sekalipun kegagalan atau ketak mungkinan itu terjadi. Tapi satu usaha memerlukan sebuah pengorbanan yang kelak akan jadi tolak ukur, bagi manusia yang hendak merenungkan perjuangan diri dalam meraih kesuksesannya.

Saya yakin seorang penyandang cacat yang saya ceritakan di atas tidak lantas sukses menjadi pengusahan kaligrafi Al-Quran, Ia dalam awal hidupnya tidak semulus yang kita bayangkan. Ia dalam menjalankan hidupnya penuh dengan hinan, comoohan dan lain sebagainya, tapi bagi ia sendiri hal seperti itu dijadikan pembawa semangat hidupnya untuk mengubah hidupnya. Bagaimana ketika ia hidup di pesantren, ia mencoba belajar membaca, menghapal, dan menulis bahkan sampai ia mampu mefisualisasikan imajinasinya, lewat kaleng bekas minuman. Ketika hasil karyanya selesai, ternyata bisa terjual dengan harga Rp.100 ribu per kaligrafinya bahkan lebih.

Bahkan dari keteranganya ia dalam memasarkan karyanya, ia tidak sampai menjual langsungkepembeli, ada tetangganya yang bertindak sebagai penjual melalui si pemesan. Ini juga salah satu ruang kehidupan atau nafkah bagi masyarakat setempat. Sungguh indah sekali apabila kita rasakan dengan menikmati kemampuan si penyandang cacat tersebut. Ia bukan saja sanggup memberikan rizki bagi pekerjanya, tapi ia mampu memberikan rizki pada tetangganya yang bukan pekerjanya. Seandainya semua orang bisa menerima keadanya yang dianggap kurang, tapi tidak menutup ruang usaha yang lebih mulya dari orang yang apabila kita lihat lengakapn keadaan fisiknya, entah keadaan mentalnya. Disnilah kita bisa memetik hikmah tentang kedahsyatan ruang pikir manusia, sanggup menembus batas dimensi runag fisik yang lengkap. Mungkin ini keagungan Allah dalam menciptakan makhluknya yang musti direnungkan makhluknya.

Sungguh kemampuan yang sangat mulya, kemampuan yang dahsyat seorang penyandang cacat sanggup mengubah roda perekonomian orang. tapi, saya pernah menonton sebuah tayangan kebohongan pengemis yang berpura-pura menjadi orang cacat dengan berbagai teknik dan gaya ia mainkan di kota pengais rezki. Awalnya mungkin orang-orang akan memandang iba dan pasti akan memberi, tapi setelah diperlihatkan pada khalayak bahwa yang menjadi orang cacat itu, bukan orang cacat, melaikan orang yang kalau dibuka kedoknya ia adalah orang yang mempunyai fisik normal. Ini salah satu penyakit manusia yang sempit dalam menyisikapi hidup dan tak pernah berkaca pada kehidupan orang yang sukses. Walaupun sulit untuk berusaha, seharusnya belajar dari kesulitan tersebut artinya kenapa sulit? Pasti aka nada pertanyaan tentang kemudahan yang mulya dimata Allah dan makhluk Allah.

Tuna Netra Sanggup Melahirkan Para Hafizd

Di pesantren tepatnya di wilayah Bogor, dikutip di Majalah Sabili seorang ulama tunanetra. Nama pesantren adalah Mambul Furqan, sebuah pondok pesantren tradisionil yang sangat sederhana. Terletak dipematang sawah yang terbentang luas sepanjang mata memandang. Tepatnya di desa Bojong Kerekhel, Leuwiliang, Bogor, Jawa Barat. Dari pondok ini telah lahir dan bermunculan sekian banyak huffaz al-Quran ternyata hasil dari manajemen dan bibanaan langsung seorang dai tuna netra, yaitu KH. Abdullah Ma’shum.

Salah seorang santrinya, sebut saja Wahyudi, yang berasal dari Banten sudah tiga tahun mondok di pesantren ini punya kesan tersendiri pada gurunya, Abdullah Ma’shun. Santri hafizh tamatan STM ini berkomentar, “Alhamdulillah, berkat bimbingan KH. Abdullah Ma’sum saya dapat menyempurnakan hafalan al-Qur’an saya dengan baik. Sebelumnya saya beberapa kali mondok di pesantren, tapi kerap kali tidak berhasil. Di pondok ini inspirasi untuk merampungkan hafalan hingga 30 juz penuh selalu menguat”

Kepercayaan masyarakat atas kemampuan KH. Abdullah Ma’shum mencetak kader-kader dai muda semakin tumbuh. Beberapa lembaga pendidikan Islam di sekitarnya, bahkan juga dari luar kota berkali-kali meminta bantuan SDM dalam bidang penghafalan al-Qur’an. Tidak berlebihan bila dai kita yang satu ini dikatakan sebagai aset umat. Keberhasilannya dalam menjalankan roda dakwahtidak hanya sebatas internal, tapi juga eksternal. Sudah enam orang nonmuslim diislamkan olehnya. Keikhlasan dalam menjalankan kiprahnya patut dijadikan teladan.

Dai yang berusia 52 tahun ini memiliki keluarga yang sangat sederhana dengan seorang istri dan empat orang anak. Walau kondisinya cacat, ia mampu melaksanakan kewajibannya sebagai kepala rumah tangga yang bertanggung jawab dengan memberikan nafkah keluarganya dari rizki yang halal. Padahal ia tak pernah memungut bayaran dari para orang tua santri atau mendapat bantuan dari lembaga dakwah nasional maupun iternasional. Untuk menutupi kebutuhan keluarga, ia merasa cukup dengan hasil olah sebidang tanahnya yang dimanfaatkan senagai garapan sawah. Hingga kini ia tetap kuat memegang prinsip bahwa manusia harus hidup dengan izzah, tidak boleh menghinakan diri dengan meminta-minta. (dilutip utuh dari majalah Sabili tanggal 19 Juni 2003).

Olimpiade Olahraga Penyandang Cacat

Malam itu saya berkumpul di rumahnya pak Pras dalam pengayaan bisnis keling, dengan mengudang pemateri dari Jakarta. Awalnya bisa-biasa saja, karena pengayaan tersebut tak jauh dengan bisnis serupa keling lainnya, tapi ketika salah satu pemateri dari bapak-bapak menampilkan CD olimpiade penyandang cacat dunia. Saya merasa ada yang berbeda dengan tempilan CD tersebut, dalam hati. Mereka saja sanggup mengubah diri mereka sampai titik harapan mereka. Apalagi kita yang mempunyai fisik lebih lengkap tinimbang mereka.

yang membuat terenyuh penulis mengenai tampilan olimpiade tersebut, peserta olimpiade renang kalau tidak salah ada salah satu peserta yang tak memiliki kaki, tapi dia sanggup menuju finish dengan kecepatan renang melebihi orang normal. Bergitupun denga peserta olimpiade lari penulis menyaksikan penyandang cacat yang tidak bisa menatap dunia ini. Tapi ia sanggup mengcapai garis finish dengan mulus bahkan menempati urutan pertama. Penulispun sempat menonton penyandang cacat yang tak memiliki kaki satu. Dengan kaki satu ia berlari, serupa loncatan kecil persis seperti orang yang lari dalam keadaan pincang dan melompat ke galang yang begitu tinggi.

Jangan Cemas Dengan Anak Cacat

Para ibu yang diberikan amanah oleh Allah untuk mengurus anak-anaknya jangan lah kecewa, ingat pepetah Khalil Gibran “anak-anak adalah laksana panah dan para orang tua dalam cinta, keindahan, kesunyian adalah busur panah. Busur panah yang membidik an kemana anak panah akan meluncur. Namun Gibran juga mengingatkan bahwa anak-anak mu bukan sepenuhnya milikmu. Mereka akan melangkah ke mana mereka mau. Kemana mereka punya cita-cita tentunya dengan dorongan para pengasuh atau orang tuanya.

Sungguh saya menulis ini tidak ada niatan untuk menyinggung tapi, harapan saya menulis ini agar dapat dijadikan pelajaran oleh manusia yang mau berpikir maju kedepan. Saya juga mohon maaf apabila ada yang tersinggung, tapi, walaupun ada yang tersinggung, semoga ketersinggungan ini bisa menjadikan motivasi hidup kedepan.