Kamis, 14 Mei 2009

gender

hmad Badaowi, S.Ag., M.si. (40 tahun), mengatakan dewasa ini kaum feminis muslim giat melakukan perjuangan kesetaraan gender melalui rekonstruksi penafsiran al-Qur’an dan menumbuhkannya dalam konteks kekinian. Bagi feminis muslim, al-Qur’an sejak dini, sesungguhnya sudah mengapresiasi kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Namun pembacaan (penafsiran) yang dikembangkan oleh para mufassir konserfatif dinilai oleh para feminis muslim hanya dilakukan secara literal dan cenderung memperkuat peneguhan pemahaman yang bervisi patriarki. Dengan mengawinkan kajian hermeneutik al-Qur’an dan feminisme, para feminis muslim berhasil mengubah persepsi tentang perempuan yang sangat berbeda secara diametral dari pemahaman para mufasir konserfatif tentang perempuan. Amina Wadud dan Nasr Hamid Abu Zaid adalah salah satu pejuang feminis muslim yang melakukan penafsiran ulang al-Qur’an terkait tentang kesetaraan gender.
Hal tersebut disampaikan oleh Dosen Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga saat mempresentasikan disertasinya untuk memperoleh gelar doktor dalam bidang Ilmu Agama Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Jumat,17 April 2009 di Ruang Promosi kampus setempat. Disertasi yang berjudul “Tafsir Feminis (Studi Pemikiran Amina Wadud dan Nasr Hamid Abu Zaid)” dipertahankan dihadapan promotor Prof. Dr. H. Khoiruddin Nasution, M.A. dan Dr. Phil H.M Nur Kholis Setiawan, M.A., dengan Tim Penguji: Dr. Siti Syamsiyatun, M.A., Prof. Dr. Hj. Chamamah Soeratno, Dr. Hamim Ilyas, M.A., Dr. Phil Sahiron Syamsuddin, M.A. Sidang promosi dipimpin oleh Prof. Dr. H.M. Amin Abdullah dan Dr. H. Sukamta, M.A.
Menurut Ahmad Baidowi disertasinya ini bermaksud menguraikan gagasan Amina Wadud dan Nasr Hamid Abu Zaid dengan menggunakan pendekatan filosofis hermeneutis untuk mengungkap asumsi-asumsi filosofis mengenai penafsiran feminis. Dari analisis disertasinya, promovendus mengungkap bahwa kedua tokoh feminis muslim ini memahami tafsir bukan sebagai tindakan menjelaskan teks-teks al-Qur’an secara aktual sebagaimana yang lazim dilakukan para penafsir tradisional. Keduanya memahami penafsiran sebagai upaya mengaitkan teks al-Qur’an dengan problem realitas kontemporer dalam rangka menemukan solusi yang Qur’ani atas berbagai problem masyarakat saat ini, terutama yang sangat menyudutkan eksistensi wanita.
Dari pemahaman terhadap pemikiran Amina Wadud dan Nasr Hamid Abu Zaid, Ahmad Baidowi berpendapat bahwa untuk membangun pemahaman al-Qur’an yang berkeadilan gender hendaknya disepakati prinsip depatriarkalisasi (membuang pemahaman yang bersifat patriarkhis dan membangun penafsiran yang adil), prinsip pembebasan perempuan serta prinsip empati terhadap pengalaman perempuan. Dari prinsip ini kata Baidowi, pemikiran Amina Wadud dan Nasr Hamid Abu Zaid mengenai feminis, dalam batas tertentu memang relevan dengan gagasan penegakan hak asasi manusia dan sejalan dengan kritik terhadap ideologi patriarkhi. Namun gagasan baru kedua tokoh ini perlu juga dikritisi sehingga terbentuk pemikiran-pemikiran yang benar-benar adil antara eksistensi laki-laki dan perempuan. Karena animo Wadud dalam penafsirannya, diliputi kecurigaan berat yang menganggap penafsiran-penafsiran al-Qur’an yang bias gender dilakukan oleh mufasir laki-laki sehingga penafsiran yang dibangun pun bernuansa kelaki-lakian, menempatkan kaum laki-laki sebagai superior dan sebaliknya perempuan sebagai imperior. Laki-laki menjadi diri (the self), sedangkan perempuan menjadi liyan (the other). Untuk mengatasi penafsiran yang dinilai patriarki, Anima Wadud menawarkan gagasan perlunya suara perempuan untuk menafsirkan al-Qur’an. Pemikiran Anima Wadud ini, menurut promovendus dikelompokkan dalam pemikiran yang subyektif ideoligis. Sementara Nasr Hamid Abu Zaid justru mengkhawatirkan terjadinya talwin, bila dalam penafsiran nilai-nilai feminis dalam al-Qur’an menekankan perlunya melibatkan pengalaman perempuan. Karena bisa saja apa yang dianggap pengalaman perempuan tidak dipahami oleh laki-laki bahkan tidak bisa ditranfer ke dalam pemikiran laki-laki, sehingga laki-laki juga tidak mampu berempati terhadap apa yang dialami perempuan berupa ketidakadilan, penindasan, marginalisasi, dan sebagainya. Abu Zaid menegaskan , sesungguhnya problem perempuan bukanlah problem perempuan an sich, namun problem sosial kemanusian yang tidak bisa dipisahkan dari problem laki-laki juga. Pembebasan perempuan oleh karenanya tidak terpisahkan dari pembebasan laki-laki secara menyeluruh. Menurut promovendus pemikiran Abu Zaid seperti ini dikelompokkan ke dalam pemikiran kritis-obyektif. Terlepas dari perbedaan dan persamaan pemikiran kedua tokoh ini, kajian-kajiannya telah memunculkan madzhab baru dalam penafsiran al-Qur’an yang menjadi salah satu alternatif bagi perjuangan kesetaraan gender di kalangan umat Islam. Namun tentunya masih perlu ujian-ujian lebih lanjut mengenai penerapannya. Mengingat situasi dan kondisi masyarakat kontemporer yang sangat beragam dan memerlukan penafsiran-penafsiran yang komprehensif, sehingga benar-benar mengayomi rasa keadilan gender kedua belah pihak (laki-laki dan perempuan), jelas Baidowi.
Oleh Tim Penguji, Ayah 1 putra dari Istri Yuni Ma’rufaf, S. Ag, MA., ini dinyatakan lulus dengan predikat ‘cumlaude’ dan merupakan Dok

Tidak ada komentar:

Posting Komentar