Sabtu, 28 Maret 2009

kh ಹಮಿದ್ ಪಸುರುಯನ್

njing pun diperlakukan baik
Siapa pun (orang Islam) tidak suka bila melihat anjing berada di sekitarnya. Bahkan orang akan mengusirnya dengan cara kasar. Melemparinya dengan batu, memukuli dan hal-hal lain yang menjurus pada perlakuan kasar.

Perbuatan ini bertolak belakang dengan kiai Hamid. Di samping beliau menebar cinta ke semua orang, beliau juga menebar cinta kepada binatang. Termasuk anjing yang oleh orang awam tadi dipandang dengan kebencian karena najis mughallazhahnya. Berkali-kali anjing datang, duduk-duduk diteras rumah beliau atau bermain ditempat wudlu pondok. Oleh beliau, binatang itu dibiarkan, malah tak boleh diusir.
Suatu kali ada seekor anjing masuk ke dalam pesantren. Karuan saja para santri segera mengepungnya, memukulinya dan menjerat lehernya. Keesokan harinya, dalam pengajian ahad, Kiai Hamid marah besar. “Anjing itu juga mahkluk Allah, tidak boleh diperlakukan semena-mena,” katanya dengan penuh tekanan.
Sumber: H. Misbah (Miskat), Pasuruan

Pencuri datang, dihormati sebagai tamu
Kiai Hamid adalah sosok yang halus pembawaannya. Suaranya pelan, sangat lirih, nyaris berbisik. Pelan ketika mengajar, pelan ketika membaca kitab, pelan ketika salat, pelan ketika berzikir, pelan juga ketika bercakap-cakap. Baik bercakap dengan tamu, dengan santri, maupun dengan keluarganya sendiri. “sejak dulu, Kiai Hamid kalau membaca Qur’an sendiri tak pernah terdengar suaranya,” kata KH. Zaki Ubaid, yang sejak kecil sudah mendampingi Kiai Hamid, “hanya kalau tadarus terdengar suaranya.”

Gus Zaki Ubaid bercerita, jemuran di pekerangan belakang rumah beliau sering raib. Setelah berhari-hari melakukan pengintaian bersama sejumlah santri, akhirnya sang pencuri tertangkap basah. Maka digelandanglah sang pencuri itu ke halaman depan, untuk menjadikan bancakan, pesta bogem mentah. Tapi sial, begitu keluar dari pintu lorong, mereka kepergok Kiai Hamid. “O, ada tamu ya. Silakan, silakan“ kata beliau. Maling dibilang tamu. Urusan pun berpindah tangan, sementara ”pesta besar” batal dilaksanakan. Gus Zaki Ubaid dkk. Tak bisa berbuat apa-apa.
Akan halnya Kiai Hamid, beliau memperlakukan si pencuri seperti layaknya tamu. Disuguhi minuman , diberi makan, diajak bercengkrama. Ketika pulang, diantar hingga ke halaman, sambil berpesan agar mampir lagi kalau ada waktu.1

Sumber: KH. Zaki Ubaid (al Marhum), Pasuruan
Sepuluh Ribu Untuk Kyai Hamid
Kota Pasuruan merupakan salah satu kota di Jawa Timur yang menyimpan banyak nilai religi dan kental dengan aroma keislamannya. Berbagai kegiatan islami di kota yang terkenal dengan sebutan “ kota santri” ini sangat beragam dan tak terhitung jumlahnya. Namun dibalik itu, siapa sangka kota yang banyak para kekasih Allah tersebut, menyimpan segudang cerita unik yang cukup menggelitik hati yang justru muncul dari para tokoh agama di kota itu.

Alkisah di kota Pasuruan dahulu hidup seorang kyai yang terkenal dengan kewaliannya dan memilki kharismatik tinggi di mata masyarakat Pasuruan. Ya, siapa lagi kalau bukan KH. Abdul Hamid atau yang lebih akrabnya biasa dipanggil romo kyai Hamid . Pada suatu hari ada seorang pengusaha bernama Sukir yang hendak sowan kepada kyai Hamid yang terkenal dengan sikap tawadlu’ dan lemah lembutnya itu. Sukir-pun akhirnya mendatangi temannya terlebih dahulu sambl bertanya, ”biasanya kalu sowan kepada kyai Hamid perlu memberi “salam templek” apa tidak ?”
Temannya pun menjawab:
“kadang ya, kadang juga tidak.” Jawabnya singkat.
Merasa belum puas, sang pengusaha tadi kembali bertanya:
“kalau memberi salam templek, kira-kira berapa ya ?” tanyanya dengan nada penasaran.
“ah...... saya tidak tahu, karena saya sendiri tidak pernah memberi salam templek. Malahan kyai Hamid sendiri yang sering memberi tamunya.” Jelasnya cukup panjang lebar.
Mendengar keterangan dari temannya tersebut, akhirnya Sukir memutuskan untuk memberi salam templek, karena ia tahu biasanya kalu sowan kepada kyai-kyai manapun, kebanyakan memberi salam templek, meskipun jumlahnya nggak terlalu besar. Sesaat kemudian ia pun bingung karena berapa jumlah uang yang pantas untuk diberikan kepada kyai Hamid. Tanpa panjang lebar ia pun merogoh sakunya dan mengambil uang sebesar sepuluh ribu, lalu dimasukkan ke dalam amplop dan ditutupnya rapat-rapat. Dalam benaknya ia berfikir, kalau nanti banyak orang yang sowan sementara yang diberikannya itu kurang “kan tidak tahu kalu itu dari saya.”
Selang beberapa saat, Sukir pun berangkat menemui sang kyai di Ponpes Salafiyah Pasuruan. Setibanya di sana ia langsung bertemu dengan kyai Hamid, dan Sukir pun bersalaman sambil menyelipkan amplop yang dibawanya ke tangan kyai Hamid.
“sepuluh ribu juga boleh,” kata kyai Hamid dengan nada datar.
Pengusaha itupun spontan merasa heran yang dibarengi dengan keluarnya keringat dingin dari sekujur tubuhnya, ia merasa malu karena merasa tertebak isi amplop yang diberikannya kepada kyai Hamid. (Jar)

Melarang Memakai Cincin Pun Dengan Halus
Dalam pemahaman kiai Hamid, kegiatan ajar-mengajar adalah kegiatan dakwah, bukan sekedar transfer ilmu dari guru ke murid. Dengan demikian, mengajar adalah suatu kegiatan untuk mengubah perilaku dari yang menyalahi syariat, menjadi sesuai dengan syariat.

Dalam dakwahnya, beliau kalau mengingatkan atau menasehati orang caranya harus sekali. Beliau lebih mengutamakan harmoni, diusahakan hal itu tidak akan menimbulkan kejutan.
Seperti ketika ada tamu pria dari Kalimantan yang memakai cincin emas. Beliau tak suka melihat hal ini karena pria dilarang (haram) memakai aksesori dari emas. Tapi beliau tak langsung mengingatkan, hanya mengamati dengan seksama.
"Cincinnya bagus, saya ambil boleh?" Tanya beliau.
"Oh ya, silahkan," jawab si pemakai sambil melepaskan cincinya, dan menyerahkannya kepada beliau.
"Sekarang cincin ini saya titipkan sampeyan untuk diberikan kepada istri sampeyan," kata beliau sambil mengembalikan cincin tersebut. "Masukkan ke sapu sampeyan," ujar beliau lagi. Orang tersebut menurut.
Tapi ketika keluar dari rumah beliau, cincin itu dipakainya lagi. Ketika bersua lagi di musholla, beliau melihat cincin tesebut melingkar manis di jari orang tersebut. "Lho, kok dipakai lagi?" kata beliau. "Lepas saja, masukkan ke saku, kasihkan pada istri sampeyan." Sebuah dakwah yang halus, dan tidak merugikan. Coba kalau cincin itu langsung dibuang atau disita.

Menjadi Bapak Dari Masyarakat
Sebagai seorang pengasuh pondok, beliau bukan hanya menjadi bapak dari santri-santrinya. Tetapi beliau juga menjadi bapak dari masyarakat. Seorang bapak yang merasa punya tanggung jawab untuk melayani mereka di kala mereka sedih ataupun ditimpa masalah.

Kholil yang berusia hampir 70 tahun warga kebonsari, adalah pemilik warung kaki lima yang menyediakan minuman dan makanan kecil. Warung ini bka tiap malam hari, sehabis isya' sam'pai subuh, di pinggir jalan dekat langgar arghob (jalan jawa). Setiap malam, sambil membangunkan orang pada pukul 3 dini hari, beliau selalu menyempatkan diri untuk mampir di warung tersebut. Bukan untuk makan minum, melainkan bercengkrama dengan pemiliknya. Terkadang beliau juga memberi saran-saran untuk perbaikan. Misalnya, beliau menyarankan kholil untuk agar mengganti tiang warungnya yang terbuat dari bamboo. "Ini diganti besi saja biar tak mudah roboh," kata beliau sambil memegang tiang tersebut. Kholil menuruti nasehat tersebut.
Betapa besar perhatian beliau pada individu. Besar pula perhaian beliau pada masyarakat. Cerita berikut ini memperlihatkan orientsi beliau kepada umat. Pada 1975 ta'mir Masjid Jami' Al-Anwar sepakat bahwa menara lama harus dirobohkan karena kondisinya mengkhawatirkan. Maka diputuskan menara itu akan dibongkar dan diganti yang baru. Mengenai yang baru, rapat ta'mir sepakat lokasinya agak ke barat, artinya menempel ke bangunan induk. Tapi ada satu peserta rapat yang tidak sutuju yaitu gus Zaki saya ngotot agar ditaruh dekat jalan raya ujar gus zaki maksudnya bagaimana kira-kira orang lewat itu yang dilihat pertama kali bukan tugu di alun-alun depan masjid tapi menara pokoknya bagaimana menara itu bisa menonjol usul ini akhirnya disetujui peserta rapat hasil rapat seperti biasa dilaporkan pada kyai hamid beliau nerkata begini ki penduduk itu jumlahnya tambah lama tambah banyak kalau orang bertambah banyak ya butuh rumah yang besar ya butuh jalan yang lebar lha kalau sekarang (menara) ditaruh di sana kalau kelak jalan dilebarkan bagaimana?" mendengar jawaban itu kontan gus zaki merasa malu sekali betapa tidak saya yang biasa lewat di jalan raya kok tidak pernah berpikir tentang kebutuhan masyarakat akan jalan kiai Hamid yang tidak pernah lewat jalan raya (kalau ke masjid beliau lewat gang pen.) kok bisa mikir sampai ke sana," kata gus zaki. (Abd)

Mana kulit pisangnya?
Salah satu bukti kekasyafan (ilmu waskita; weruh sakdurunge winarah) Kiai Hamid adalah satu cerita dari Bapak H. Misykat.

Suatu hari Misykat diberi pisang oleh kiai Hamid. "ini makan , kulitnya kasihkan kambing," katanya. Padahal tak ada kambing, ta kulitnya dia buang.
Setelah Asar, dia dipanggil.
"Mana kulit pisangnya?" tanyanya.
"Saya buang, Yai."
"Lho, dusuruh kasihkan kambing, dibuang."
Ternyata tak lama kemudian ada orang mengantar kambing.
(Sumber: H. Misykat Kebonsari Pasuruan)

Mengajari Umat Untuk Membiasakan Sholat
Keheningan dan kedamaian di komplek Pondok Pesantren Salafiyah hari itu masih terasa dan begitu menyentuh hati para santri yang ada di dalamnya. Tak terkecuali santri yang beranama Zuhdi asal Kota Pasuruan. Zuhdi yang saat itu masih berstatus santri dan menjadi khodam dari KH. Abdul Hamid, pada satu kesempatan didatangi tamu dari Banyuwangi, kota yang terletak di ujung timur propinsi Jawa-Timur.
Tamu tersebut jauh-jauh datang ke Pasuruan hanya ingin bersilaturrahmi atau sowan kepada KH. Abdul Hamid yang berada di Pon-Pes Salafiyah. Sebelumnya Zuhdi tidak menyangka bakal kedatangan tamu, namun dengan kekaromahan yang dimilki romo Kyai Hamid (sapaan akrab yang digunakan orang Pasuruan untuk memanggil beliau), Zuhdi ditimbali (dipanggil) sang kyai di pintu gerbang timur pondok sebelum tamu tersebut datang. Perlahan zuhdi melangkahkan kaki untuk menghampiri panggilan gurunya, tanpa ngomong panjang lebar, KH. Hamid berkata kepada Zuhdi: “Di…..,maringene onok tamu soko Banyuwangi, tolong yo! omongno Aku ndak gelem nyalami (Di….., sebentar lagi ada tamu dari Banyuwangi, tolong ya! Katakan saya tidak mau menyalami). Setelah itu, kyai meninggalkan Zuhdi, dapat tiga langkah dari tempat Zuhdi, kyai bergumang: “lha wong omae pinggir menara masjid, tapi ndak tau gelem jama’ah neng masjid” ( rumahnya di pinggir menara masjid, tapi kok tidak pernah berjama’ah di masjid). Tanpa komentar si Zuhdi hanya mengatakan “iya” dengan isyarat menganggukkan kepala. Setelah itu Kyai Hamid masuk ke dalam dan Zuhdi pun meninggalkan tempat tersebut. Dalam benaknya, Zuhdi berkata. “Siapa ya, kira-kira tamu yang dimaksud Kyai tadi, Ah … sebentar lagi aku pasti tahu siapa tamu yang dimaksud”.
Semilirnya angin ketika itu terus berlalu-lalang dan senantiasa menyapa tubuh Zuhdi dengan kedamaian. Selang beberapa saat, ternyata apa yang dikatakan kyai sungguhan. Zuhdi kedatangan seseorang. Dalam ingatan Zuhdi. “Ah… mungkin ini tamu yang dimaksud Romo Kyai (KH. Abdul Hamid).” Setelah itu tamu tersebut langsung mendatangi Zuhdi dan menanyakan apakah KH. Abdul Hamid ada dan bisakah ia menemuinya? dengan ramah Zuhdi menjawabnya: maaf mas! KH. Abdul Hamid memang ada, namun beliau tidak bisa menemui dan bersalaman dengan anda Dengan langkah gontai si tamu-pun pergi tanpa menanyakan mengapa KH. Abdul Hamid tidak bisa menemuinya? Zuhdi pun ingat pesan gurunya, supaya mengantar tamu sampai ke gang menuju jalan raya. Nah di tengah-tengah perjalanan inilah si Zuhdi mencoba menghibur si tamu atas rasa kekecewaannya karena tidak bisa bertemu KH. Abdul Hamid. Dengan sikap sok akrap, Zuhdi menanyakan di mana rumah tamu tersebut? Tamu itupun menjawab: saya dari kota Banyuwangi mas! Spontan si Zuhdi heran, karena asal kota pria tersebut sesuai dengan apa yang di katakan Kyai kepadanya. Sembari demikian si Zuhdi-pun kembali menanyakan apakah rumah sampean dekat menara masjid? Orang tersebut kembali menjawab: iya mas !, lalu Zuhdi bertanya kembali, apakah sampean sering jama’ah di sana? Tamu itu menjawab: rumah saya memang berdekatan dengan masjid, tapi saya tidak pernah jama’ah di sana. Kembali si Zuhdi menimpali pernyataan dari tamu tersebut dengan mengatakan: “lha … ! itu sebabnya mas, mengapa kyai tidak kerso dan tidak mau menemui sampean !!.” dengan perasan malu dan menyesal, tamu tadi undur diri kepada Zuhdi untuk pulang.
Selang beberapa hari, lelaki yang berasal dari Banyuwangi tersebut kembali lagi dengan menata niatnya berangkat ke kota santri yakni Pasuruan untuk menemui KH. Abdul Hamid. Ia optimis kedatangnnya kali ini pasti akan di terima oleh kyai yang di masa kecilnya bernama Abdul Mu’thi. Ia mempunyai keyakinan seperti itu karena dia berfikir kedatangannya dahulu ke Pon-Pes Salafiyah untuk silaturrahmi ke KH. Abdul Hamid ditolak/tidak ditemui lantaran ia tidak pernah shalat di rumah Allah (Masjid) didekat rumahnya, alias tidak pernah jama’ah di sana. Maka dari itu, Kyai enggan untuk menemuinya, dari peristiwa itulah, seseorang tersebut sadar atau insyaf akan tindakannya yang kurang pantas dan kini ia pun telah membalik atau merubah keadaan drinya dengan rajin berjama’ah di masjid. Nah… dengan perubahan seperti itulah KH. Abdul Hamid pasti mau menerimanya dan alhamdulillah, ternyata omongan dan firasatnya mujarab, ia datang ke KH. Abdul Hamid dan ternyata beliau pun mau menemuinya sebagai tamu.
Sumber: Ustadz Khodlori- Pasuruan)

Disembuhkan Dengan Cara yang Aneh
Suatu ketika Gus Zaki (KH. Zaki Ubaid) diserang sakit maag yang parah. Serasa tidaka kuat, dia sampai menggelepar-gelepar. Semua anggota keluarga pada datang, mendoakan. Kiai Aqib, Nyai Nafisah Hamid, Nyai Maryam Ahmad Sahal. Semua sudah membesuk, kecuali Kiai Hamid. Dr. Han pun sudah dipanggil. Karena sakitnya masih tak ketulungan, Gus Zaki menyuruh orang untuk memanggil Dr. Han lagi. "Buat apa? Suntik sudah, obat sudah, sekarang sabar saja," kata dr. Han. Dia tak mau datang. Lalu Gus Zaki minta Kiai Hamid di-aturi datang, diundang. Ternyata beliau tak ada di rumah.
Sekitar pukul 23.30, Maimunah, istrinya yang setia menunggui, pergi ke dapur untuk menjerang air. Sebab, air yang di botol sudah dingin. (Oh ya, untuk mengurangi rasa sakit, botol yang berisi air hangat ditempelkan di perut.)
Ketika ditinggal sendirian itulah, Gus Zaki dikejutkan oleh kehadiran Kiai Hamid yang begitu tiba-tiba di dalam kamar. Entah dari mana masuknya. Setelah mengubah posisi kursi dan bantal, beliau memperlihatkan telapak tangannya, Gus Zaki melihat di telapak tangannya itu seperti ada kabel-kabel. "Ini biar saya ganti saja, ya, sudah lapuk," katanya. Entah apa maksudnya. Lantas telapak tangan kanan itu ditempelkan di perut si pasien. Tiba-tiba dia merasakan perutnya enakan, hingga hilang rasa sakitnya. Dia disuruh duduk, eh, tak apa-apa. Padahal sebelumnya, jangankan duduk, bergerak sedikitpun sudah sakit.
"Keburu ada orang. Ini biarkan saja, Ki, nanti nyambung sendiri," kata beliau sambil menunjuk ke perut Gus Zaki, sebelum bergegas pergi. Setelah ditinggal pergi, barulah Gus Zaki merasakan kejanggalan. Dari mana masuknya? pikir dia. Apa betul itu Kyai Hamid? "Kalau betul Kyai Hamid, kok nggak ngasih uang?". Sebab, biasanya Kyai Hamid tidak pernah absent memberi uang.
Sejurus kemudian, Neng Muna masuk kamar. Dia kaget melihat suaminya sudah duduk. "Sampean ini bagaimana, kok duduk?!" tegurnya. Dia lebih sewot lagi melihat posisi kursi dan bantal yang sudah tak karuan. Kalau jatuh bagaimana? Pikirnya. "ini siapa yang mindah?" tanyanya. Gus Zaki yang masih terlongong-longong tak menggubris kata-kata istrinya. "Coba kamu lihat pintu depan dan belakang." Katanya dengan penuh tanda Tanya. Neng Muna menurut. "Semua terkunci! Memangnya ada apa?" tanyanya begitu kembali. "Barusan ada Kyai Hamid" jawab Gus Zaki sembari menceritakan semua yang dialaminya.
Esoknya, habis shalat subuh Kyai Hamid datang "Bagaimana keadaanmu?" Tanya beliau. "Alhamdulillah, sudah baik. Ya tadi malam ….". Sampai di situ kata-katanya dipotong "sudah-sudah" kata beliau sembari meletakkan telunjuk tangannya di mulut. Beliau kemudian memberi Gus Zaki uang Rp 500.- lantas pergi lagi.
(Sumber: KH. Zaki Ubaid)

Dibenak Ingin diberi Makan, Kiai Hamid pun Menyediakan
Kiai Hamid adalah orang yang kasyaf (ilmu Waskita; weruh sak durunge winarah). Salah satunya adalah cerita Sa'id Amdad dari Pasuruan yang dulunya tidak percaya pada wali. Dia orang rasional. Mendengar kewalian Kiai Hamid yang tersohor di mana-mana, dia jadi penasaran. Suatu kali ia mengetes. "Saya ingin diberi makan Kiai Hamid". Coba, dia tahu apa tidak," katanya dalam hati, ketika plang dari Surabya. Setiba dari Surabaya, dia langsung ke pondok Salafiyah.
Waktu itu pas mau jam'ah shalat Isya'. Usai shalat Isya', dia tak langsung keluar, membaac wirid dulu. Sekitar pukul setengah sembilan, jamaah sudah pulang semua. Lampu teras Kiai Hamidpu sudah dipadamkan. Dia melangkahkan kaki keluar. Dia melihat ada yang melambai dari rumah Kiai Hamid. Diapun menghampirinya. Ternyata yang melambai adalah tuan rumah alias Kiai Hamid. "makan di sini ya," kata beliau.
Di ruang tengah, hidangan sudah ditata. "maaf ya, lauknya seadanya saja. Sampeyan tidak bilang dulu sih," kata kia Hamid dengan ramahnya. Said merasa disindir. Sejak itu dia pe

Tidak ada komentar:

Posting Komentar